Jumat, 09 Desember 2011

TENTANG SITUS INI


Seorang  berumur  tujuh puluhan. Pernahkah Anda membayangkan bagaimana orang seusia ini menilai hidupnya?
Jika ada yang ia ingat tentang hidupnya, tentunya berupa suatu "kehidupan yang cepat berlalu".
Ia akan berkomentar bahwa hidupnya tidaklah "panjang" sebagaimana impiannya di usia belasan. Mungkin tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari ia akan menjadi begitu tua. Namun kini, ia dicekam oleh kenyataan bahwa ia telah meninggalkan tujuh puluh tahun di belakangnya. Ketika muda, mungkin tak pernah terpikir olehnya bahwa kebeliaan dengan segala gairahnya akan berlalu begitu cepat.
Bila pada usia senja ia diminta untuk menceritakan kisah hidupnya, kenangannya akan terangkum dalam pembicaraan selama lima atau enam jam saja. Hanya itulah yang tersisa dari yang disebutnya sebagai "masa tujuh puluh tahun yang panjang".
Daya pikir seseorang, yang melemah sesuai usia, dipenuhi banyak pertanyaan. Berbagai pertanyaan ini sungguh penting untuk direnungkan, dan menjawabnya secara jujur sangat mendasar untuk memahami seluruh aspek kehidupan: "Apakah tujuan dari hidup yang berlalu begitu cepat ini? Mengapa aku harus terus bersikap positif dengan semua masalah kerentaan yang kumiliki? Apa yang akan terjadi di masa depan?"
Jawaban yang mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaan ini terbagi dalam dua kategori utama: dari orang-orang yang mengimani Allah dan dari orang-orang yang tidak mengimani-Nya.
Seseorang yang tidak mengimani Allah akan mengatakan, "Saya telah menghabiskan hidup mengejar hal yang sia-sia. Saya telah meninggalkan tujuh puluh tahun di belakang saya, namun sebenarnya, saya masih belum dapat memahami untuk apa saya hidup. Ketika masih anak-anak, orang tua adalah pusat kehidupan saya. Saya mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam cinta mereka. Kemudian, sebagai seorang wanita muda, saya mengabdikan diri kepada suami dan anak-anak. Pada masa itu, saya membuat banyak cita-cita untuk diri saya. Namun ketika tercapai, semuanya seperti sesuatu yang cepat berlalu. Saat bergembira dalam keberhasilan, saya melangkah menuju cita-cita lain yang menyibukkan, sehingga saya tidak memikirkan makna hidup yang sesungguhnya. Kini pada usia tujuh puluh tahun, dalam ketenangan usia senja, saya mencoba menemukan apa gerangan tujuan masa lalu saya. Apakah saya hidup untuk orang-orang yang kini hanya samar-samar saya ingat? Untuk orang tua saya? Untuk suami saya yang telah berpulang bertahun-tahun yang lalu? Atau anak-anak yang kini jarang saya lihat karena telah memiliki keluarga masing-masing? Saya bingung. Satu-satunya kenyataan adalah bahwa saya merasa dekat dengan kematian. Saya akan segera meninggal dan menjadi kenangan yang redup dalam benak orang-orang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Saya benar-benar tidak tahu. Bahkan memikirkannya saja sudah menakutkan!"
Tentunya ada alasan mengapa ia begitu berputus asa. Ini semata karena ia tidak dapat memahami bahwa alam semesta, seluruh makhluk hidup dan manusia memiliki tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan harus dipenuhi dalam hidup. Adanya tujuan-tujuan ini berasal dari fakta bahwa segalanya telah diciptakan. Orang yang berakal dapat melihat hadirnya perencanaan, perancangan, dan kearifan dalam setiap detail dunia yang penuh variasi. Hal ini membawanya pada pengenalan terhadap sang Pencipta. Selanjutnya ia akan menyimpulkan bahwa, karena seluruh makhluk hidup tidaklah disebabkan oleh suatu proses acak atau tanpa sadar; mereka semua menjalankan tujuan yang penting. Dalam Al Quran, pedoman asli terakhir yang diturunkan untuk manusia, Allah berulang kali mengingatkan kita akan tujuan hidup kita, suatu hal yang cenderung kita lupakan, dan dengannya membimbing kita pada kejelasan pemikiran dan kesadaran.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Huud, 11: 7)
Ayat ini memberikan pemahaman penuh akan tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengetahui bahwa hidup ini adalah tempat mereka diuji dan dicoba oleh Pencipta mereka. Karenanya, mereka berharap untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta kesenangan yang baik dari Allah.
Akan tetapi, demi kejelasan, ada sebuah poin penting untuk dipikirkan: mereka yang mempercayai 'keberadaan' Allah tidak lantas memiliki keyakinan yang benar; jika mereka tidak meletakkan kepercayaan kepada Allah. Kini, banyak orang menerima bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah; namun, mereka kurang memahami dampak fakta ini terhadap hidup mereka. Karenanya, mereka tidak menjalankan hidup mereka sebagaimana yang seharusnya. Apa yang dianggap orang-orang ini sebagai kebenaran adalah, bahwa pada awalnya Allah menciptakan alam semesta ini, kemudian meninggalkannya.
Dalam Al Quran, Allah menunjukkan kesalahpahaman ini dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman, 31: 25)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Surat az-Zukhruf: 87)
Karena kesalahpahaman ini, manusia tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa mereka memiliki Pencipta. Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu. Prinsip-prinsip ini sebenarnya berfungsi sebagai "petunjuk hidup" hingga datangnya kematian. Manusia yang menaati nilai-nilai mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam harapan bahwa setiap tindakan yang salah akan dihukum sementara dalam neraka. Pemikiran sejenis menyimpulkan bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti masa penyiksaan ini. Pemikiran tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan hukuman yang memilukan di akhir kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak, bahkan tidak merenungkan hal ini. Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia selanjutnya dan "memanfaatkan hidup sebaik-baiknya".
Bagaimanapun, hal di atas tidak benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam keputusasaan yang dalam. Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut:
Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.
(QS. Ar-Ruum, 30: 7)
Tentulah, orang-orang ini hanya memahami sedikit saja mengenai keberadaan dan tujuan sesungguhnya dunia ini, dan mereka tidak pernah berpikir bahwa kehidupan dalam dunia ini tidaklah kekal.
Ada beberapa ungkapan yang umum dipergunakan manusia mengenai pendeknya kehidupan ini:
"Manfaatkanlah hidupmu sebaik-baiknya selagi sempat", "hidup itu pendek", "manusia tidak hidup selamanya"
adalah ungkapan yang selalu dirujuk dalam mendefinisikan sifat dasar dunia ini. Namun, ungkapan-ungkapan ini mengandung keterikatan yang terselubung kepada hidup ini, dibandingkan kepada hidup setelahnya. Ungkapan-ungkapan itu mencerminkan perilaku umum manusia terhadap kehidupan dan kematian. Karena kecintaan akan hidup yang demikian besarnya, pembicaraan tentang kematian selalu diselingi dengan lelucon atau hal lain yang mengurangi keseriusan permasalahan tersebut. Selingan ini selalu memiliki tujuan, sebagai upaya sengaja untuk mereduksi permasalahan penting tersebut menjadi hal yang remeh.
Kematian sesungguhnya merupakan topik yang penting untuk direnungkan. Hingga saat seperti ini dalam kehidupannya, seseorang mungkin tidak menyadari betapa berarti kenyataan ini. Namun, karena kini ia punya kesempatan untuk memahami pentingnya hal tersebut, ia harus mempertimbangkan kembali kehidupan dan segenap harapannya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk bertobat kepada Allah serta mengarahkan kembali seluruh perilaku dan melanjutkan kehidupan seseorang dalam kepatuhan akan kehendak Allah. Hidup itu pendek; jiwa manusia kekal. Dalam masa yang pendek ini, seseorang seharusnya tidak membiarkan keinginan yang sementara mengendalikannya. Seseorang seharusnya melawan godaan dan menjauhkan dirinya dari segala hal yang memperkuat ikatannya terhadap dunia ini. Sungguh tidak bijaksana untuk mengabaikan dunia yang selanjutnya, hanya demi kesenangan yang sementara ini.
Meski demikian, orang-orang yang tidak beriman dan tidak dapat memahami kenyataan ini menghabiskan hidup mereka dalam kesia-siaan dengan melupakan Allah. Lebih lanjut, mereka mengetahui bahwa tidaklah mungkin mereka mencapai keinginan-keinginan ini. Mereka selalu merasakan ketidakpuasan yang dalam dan menginginkan lebih daripada apa yang mereka miliki kini. Mereka memiliki harapan dan keinginan yang tidak berakhir. Namun, dunia bukanlah tempat yang sesuai untuk memuaskan keinginan-keinginan ini.
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Waktu berlaku pada hal-hal yang bagus dan baru. Sebuah mobil baru akan segera ketinggalan jaman begitu model lain dirancang, diproduksi, dan dipasarkan. Sama halnya, seseorang mungkin menginginkan rumah besar milik orang lain atau rumah mewah dengan ruangan yang lebih banyak daripada penghuninya dan dengan perlengkapan yang dilapisi emas, yang pernah dilihat sebelumnya, akan kehilangan selera terhadap rumahnya sendiri dan tidak dapat menghindari hal-hal tersebut dengan rasa iri.
Sebuah pencarian tak berakhir untuk sesuatu yang baru dan lebih baik tidak memberikan nilai ketika ia telah dicapai, celaan terhadap sesuatu yang lama, dan meletakkan seluruh harapan pada yang baru: ini adalah lingkaran setan yang telah dialami manusia di mana pun sepanjang sejarah. Namun, seorang manusia yang berilmu pengetahuan seharusnya berhenti dan bertanya pada diri sendiri untuk sesaat: mengapa ia mengejar ambisi yang sementara dan sudahkah ia dapatkan keuntungan dari upaya itu? Akhirnya, ia seharusnya menarik kesimpulan bahwa "ada masalah mendasar pada pandangan ini". Namun manusia, yang sedikit sekali memikirkan hal ini, terus mengejar mimpi yang sepertinya tidak akan dapat mereka capai.
Tidak ada seorang pun, bagaimanapun juga, mengetahui apa yang akan terjadi bahkan dalam beberapa jam mendatang: setiap saat seseorang mungkin mengalami kecelakaan, terluka parah, atau menjadi cacat. Lebih jauh lagi, waktu berlalu dalam perhitungan menuju kematian seseorang. Setiap hari membawa hari yang telah ditakdirkan tersebut lebih dekat. Kematian pastilah menghapus seluruh ambisi, keserakahan, dan keinginan terhadap dunia ini. Di dalam tanah, baik harta benda maupun status tidak berlaku. Setiap harta benda yang membuat kita kikir, begitupun tubuh kita, akan menghilang dan meluruh di dalam tanah. Apakah seseorang itu kaya atau miskin, cantik atau jelek, suatu saat ia akan dibungkus dalam kafan yang sederhana.
Kami percaya bahwa Fakta-Fakta yang Mengungkap Hakikat Hidup menawarkan sebuah penjelasan mengenai sifat yang sesungguhnya dari kehidupan manusia. Sebuah kehidupan pendek dan penuh tipuan yang didalamnya keinginan duniawi terlihat menarik dan penuh janji, namun kenyataannya bertolak belakang. Buku ini akan memungkinkan Anda merasakan hidup Anda dan seluruh kenyataannya, dan membantu Anda memikirkan kembali tujuan Anda dalam hidup, bila Anda menginginkannya.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mengingatkan manusia lain akan fakta-fakta ini, dan menyuruh mereka hidup hanya untuk memenuhi keinginan-Nya, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam ayat berikut:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan penipu memperdayakan kamu dalam Allah. (QS. Luqman, 31: 33)

KEHIDUPAN DI DUNIA INI

Alam semesta kita sangatlah teratur. Miliaran bintang dan galaksi bergerak dalam orbit mereka masing-masing dengan serasi. Galaksi terdiri dari hampir 300 miliar bintang yang saling berpindah sesamanya dan, yang mengagumkan, selama perpindahan dahsyat ini tidak terjadi satu pun tabrakan. Keteraturan tersebut menyebabkan tabrakan tidak terjadi. Lebih hebat lagi, kecepatan benda-benda di alam semesta berada di luar batas imajinasi manusia. Dimensi fisik luar angkasa sangatlah besar jika dibandingkan dengan pengukuran yang digunakan di bumi. Bintang-bintang dan planet-planet, dengan massa miliaran atau triliunan ton, dan galaksi, dengan ukuran yang hanya dapat dipahami dengan bantuan rumus-rumus matematika, seluruhnya berputar dalam jalurnya masing-masing di ruang angkasa dengan kecepatan yang luar biasa.
Sebagai contoh, bumi berotasi terhadap sumbunya sehingga titik-titik di permukaannya bergerak dengan kecepatan rata-rata sekitar 1.670 km per jam. Kecepatan linear rata-rata bumi dalam orbitnya mengelilingi matahari adalah 108.000 km per jam. Namun, angka-angka ini hanyalah mengenai bumi. Kita mendapati angka-angka yang jauh lebih besar saat memeriksa dimensi di luar sistem tata surya. Di alam semesta, seiring bertambahnya ukuran sistem, kecepatannya pun meningkat. Tata surya berevolusi mengelilingi pusat galaksi pada kecepatan 720.000 km per jam. Kecepatan Bima Sakti sendiri, yang terdiri dari sekitar 200 miliar bintang, adalah 950.000 km per jam. Pergerakan yang terus-menerus ini tidak dapat dibayangkan manusia. Bumi, bersama sistem tata suryanya, setiap tahun bergerak 500 juta km menjauh dari lokasinya pada tahun sebelumnya.
Terdapat kesetimbangan yang luar biasa dalam seluruh gerakan dinamis ini dan hal tersebut mengungkapkan bahwa kehidupan di bumi berlandaskan pada keseimbangan yang sangat cermat. Pergeseran yang sangat sedikit pun pada orbit benda-benda langit, bahkan hanya beberapa milimeter, dapat membawa akibat yang sangat serius. Beberapa di antaranya dapat sangat mengganggu sehingga kehidupan di bumi tidak mungkin terjadi. Dalam sistem yang di dalamnya terdapat kesetimbangan sekaligus kecepatan yang luar biasa itu, kecelakaan raksasa dapat terjadi kapan pun. Meski demikian, fakta bahwa kita menjalani hidup kita secara wajar di planet ini membuat kita lupa akan bahaya besar yang ada di alam semesta. Keteraturan alam semesta kini dengan jumlah tabrakan yang kita tahu yang hampir dapat diabaikan, langsung membuat kita berpikir bahwa kita dikelilingi oleh suatu lingkungan yang sempurna, stabil, dan aman.
Manusia tidak banyak memikirkan hal tersebut. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak pernah menyadari jaringan luar biasa dari kondisi-kondisi yang saling berhubungan yang membuat kehidupan berlangsung di bumi, ataupun mengerti bahwa pemahaman atas tujuan hidup mereka yang sesungguhnya sangatlah penting. Mereka hidup bahkan tanpa memikirkan bagaimana kesetimbangan yang luar biasa namun cermat ini sampai tercipta.
Meski demikian, manusia diberikan kemampuan untuk berpikir. Tanpa merenungkan keadaan sekitarnya dengan teliti dan bijaksana, seseorang tidak akan pernah melihat kenyataan atau bahkan tidak memikirkan sedikit pun mengapa dunia diciptakan dan siapa yang membuat keteraturan besar ini bergerak dengan ritme yang begitu sempurna.
Seseorang yang merenungkan dan memahami pentingnya pertanyaan-pertanyaan ini akan berhadap-hadapan dengan sebuah fakta yang tidak dapat dihindari: alam semesta yang kita tempati diciptakan oleh sang Pencipta, yang keberadaan dan sifat-Nya terwujud dalam segala sesuatu. Bumi, sebuah titik kecil di alam semesta, diciptakan untuk menjalankan tujuan yang penting. Tidak ada suatu pun terjadi tanpa tujuan dalam kehidupan kita. Sang Pencipta, dengan menampakkan sifat, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya di seluruh alam semesta, tidak meninggalkan manusia seorang diri namun membekalinya dengan tujuan yang sangat penting.
Alasan mengapa manusia ada di bumi diceritakan oleh Allah dalam Al Quran sebagai berikut:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk, 67: 2)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al Insaan, 76:2)
Dalam Al Quran, Allah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada suatu pun yang tidak memiliki tujuan:
Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian. (QS. Al Anbiyaa’, 21: 16-17)
Rahasia Dunia
Allah menunjukkan tujuan manusia dalam ayat berikut:
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. Al Kahfi, 18: 7)
Dengan demikian, Allah mengharapkan manusia tetap menjadi hamba-Nya yang setia sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, dunia adalah tempat di mana mereka yang takut kepada Allah dan mereka yang tidak berterima kasih kepada Allah dibedakan satu sama lain, kebaikan dan keburukan, kesempurnaan dan kekurangan bersisian dalam "kerangka" ini. Manusia diuji dalam banyak hal. Pada akhirnya, orang-orang yang beriman akan terpisahkan dari orang-orang yang tidak beriman dan mencapai surga. Dalam Al Quran hal tersebut digambarkan sebagai berikut:
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al Ankabuut, 29: 3)

Saat memandang bumi dari angkasa, siapa pun yang mengklaim punya keunggulan mau tak mau akan menyadari keberadaannya sebagai tak lebih dari sebuah titik teramat kecil di dunia ini. Karena merasa punya status dan tempat yang khusus di dunia ini, banyak orang menganggap diri dan cara hidupnya berbeda dari yang lainnya. Namun, baik seseorang itu berkecukupan maupun miskin, tua maupun muda, terpelajar maupun buta huruf, ia menempati ruang yang nyaris dapat diabaikan di alam semesta yang sangat luas ini, samudera miliaran bintang.

Untuk memahami intisari dari ujian ini, seseorang harus memiliki pemahaman mendalam tentang Penciptanya, yang keberadaan dan sifat-Nya terwujud dalam segala sesuatu yang ada, Ialah sang Pencipta, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang tak terbatas.
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Hasyhr, 59: 24)
Allah menciptakan manusia dari tanah liat, memberkahinya dengan banyak keistimewaan, dan melimpahkan banyak kemurahan atasnya. Tidak ada seorang pun mendapatkan kemampuan penglihatan, pendengaran, berjalan, atau bernafas dengan sendirinya. Lebih lanjut, sistem yang kompleks ini ditempatkan di tubuhnya dalam rahim sebelum ia dilahirkan dan ketika ia tidak memiliki kemampuan apa pun untuk merasakan dunia luar.
Dengan seluruh pemberian ini, yang diharapkan dari seorang manusia adalah agar ia menjadi hamba Allah. Bagaimanapun, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Al Quran, kebanyakan manusia adalah "pendurhaka" dan "tidak berterima kasih" kepada Penciptanya, karena mereka menolak mematuhi Allah. Mereka menganggap bahwa kehidupan itu panjang dan mereka memiliki kekuatan untuk bertahan.
Itulah sebabnya tujuan mereka adalah "menggunakan hidup mereka sebaik-baiknya selagi sempat". Mereka melupakan kematian dan hari akhir, Mereka berusaha keras menikmati kehidupan dan mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Allah menjelaskan kecintaan mereka terhadap hidup ini dalam ayat berikut:
Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat. (QS. Al Insaan, 76: 27)
Di dalam Al Quran, wahyu otentik terakhir yang tersisa, yang membimbing manusia kepada jalan yang benar, Allah berulang kali mengingatkan kita akan sifat fana dunia ini, memanggil kita kepada kejernihan pikiran dan kesadaran. Tentu saja, di mana pun kita tinggal, kita semua rentan terhadap dampak-dampak yang menghancurkan dari dunia ini, sebuah fenomena yang menjelaskan dirinya sendiri bagi orang-orang yang mengamati kehidupan dan berbagi kejadian di sekitar kita. Ini sama halnya untuk segala keindahan yang mengelilingi kita. Gambar di halaman ini masing-masingnya menunjukkan fakta ini. Setiap sudut dunia betapa pun mengesankannya, akan rusak dalam beberapa dasawarsa, terkadang bahkan dalam jangka waktu yang lebih singkat daripada yang diperkirakan.

Segala sesuatu di muka bumi ditakdirkan untuk musnah. Inilah sifat kehidupan duniawi yang sebenarnya...
Orang-orang yang tidak beriman berusaha keras merasakan seluruh kesenangan hidup ini. Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, hidup berlalu dengan sangat cepat. Ini adalah poin penting yang dilupakan oleh kebanyakan manusia.
Marilah kita berpikir mengenai sebuah contoh untuk lebih memperjelas masalah ini.

Beberapa Detik atau Beberapa Jam?

Bayangkanlah sebuah liburan yang khas: setelah berbulan-bulan bekerja keras, Anda mendapatkan liburan dua minggu dan tiba di tempat peristirahatan favorit Anda setelah perjalanan delapan jam yang melelahkan. Lobi dipenuhi orang-orang yang berlibur seperti anda. Anda bahkan melihat beberapa wajah yang akrab dan menyalami mereka. Cuacanya hangat dan Anda tak ingin kehilangan satu detik pun untuk menikmati sinar matahari dan laut yang tenang, maka tanpa membuang waktu, Anda mencari ruangan Anda, mengenakan pakaian renang Anda dan bergegas ke pantai. Akhirnya, Anda berada dalam air yang sebening kristal, namun tiba-tiba Anda dikejutkan sebuah suara: "Bangun, kamu akan terlambat bekerja!"
Anda menganggap kata-kata ini tidak masuk di akal. Untuk sesaat, Anda tidak dapat memahami apa yang terjadi; ada sebuah ketidakserasian yang tak terpahami antara apa yang Anda lihat dan dengar. Ketika Anda membuka mata dan mendapatkan diri Anda di kamar tidur Anda, kenyataan bahwa segalanya hanyalah mimpi sangat mengagetkan anda. Anda tidak dapat menahan ekspresi kekagetan ini: "Saya berkendaraan selama delapan jam untuk mencapai tempat itu. Meskipun kini di luar sangat dingin, saya merasakan cahaya matahari di dalam mimpi saya. Saya merasakan air membasahi wajah saya."
Perjalanan delapan jam ke tempat peristirahatan, saat-saat Anda menunggu di lobi, singkatnya segala yang berhubungan dengan liburan Anda sesungguhnya hanyalah mimpi yang berlangsung beberapa detik. Meski tidak dapat dibedakan dari kehidupan nyata, apa yang Anda alami tersebut hanyalah mimpi semata.
Hal ini menunjukkan bahwa kita mungkin akan dibangunkan dari kehidupan di dunia sebagaimana kita dibangunkan dari mimpi. Lalu, orang-orang yang tidak beriman akan menunjukkan kekagetan yang sama. Seumur hidup, mereka tidak dapat membebaskan diri dari anggapan keliru bahwa kehidupan mereka akan berlangsung lama. Namun, saat mereka dibangkitkan kembali, mereka akan mendapati bahwa lamanya waktu yang tampak sebagai 60 atau 70 tahun masa hidup bagaikan hanya beberapa detik. Allah menceritakan fakta ini dalam Al Quran:
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al Mu'minuun, 23: 112-114)
Apakah itu sepuluh atau seratus tahun, manusia akhirnya akan menyadari pendeknya kehidupan sebagaimana yang dituturkan dalam ayat di atas. Hal ini seperti seseorang yang terbangun dari mimpi, dengan getir menyaksikan lenyapnya semua gambaran tentang liburan panjang yang menyenangkan, dan tiba-tiba menyadari bahwa hal tersebut hanyalah sebuah mimpi yang berlangsung beberapa detik saja. Begitu pula, singkatnya kehidupan akan sangat memukul seseorang terutama saat segala hal lain tentang hidupnya terlupakan. Allah memerintahkan agar memperhatikan fakta ini dengan hati-hati dalam ayat Al Quran berikut:
Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; ‘mereka tidak berdiam melainkan sesaat’. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan. (QS. Ar-Ruum, 30: 55)
Sama halnya dengan mereka yang hidup selama beberapa jam atau hari, orang-orang yang hidup selama tujuh puluh tahun juga memiliki waktu yang terbatas di dunia ini.… Sesuatu yang terbatas akan berakhir suatu saat. Baik kehidupan selama delapan puluh atau seratus tahun, setiap hari membawa manusia mendekat pada hari yang telah ditakdirkan tersebut. Manusia, sesungguhnya, mengalami kenyataan ini sepanjang hidupnya. Tidak peduli betapa panjangnya sebuah rencana yang ia pikirkan bagi dirinya sendiri, suatu hari ia mencapai saat tertentu itu ketika ia akan menyelesaikan cita-citanya. Setiap tujuan atau hal berharga yang dianggap titik balik dalam kehidupan seseorang akan segera menjadi masa lalu.
Bayangkanlah seorang remaja, misalnya, yang baru saja memasuki SMA. Umumnya, ia tidak tahan menunggu hari kelulusannya. Ia menanti-nantikannya dengan hasrat yang tidak tertahankan. Namun segera ia mendapati dirinya sendiri mengikuti perkuliahan. Pada tahap hidupnya ini, ia bahkan tidak ingat tahun-tahunnya yang panjang di SMA. Ada hal lain dalam pikirannya; ia ingin menggunakan tahun-tahun berharga ini untuk meredakan kekhawatirannya terhadap masa depan. Karenanya, ia membuat banyak rencana. Tidak lama kemudian, ia sibuk menyusun pernikahannya yang akan segera datang, sebuah peristiwa istimewa yang sangat dinantinya. Namun waktu berlalu lebih cepat daripada yang diharapkannya dan ia meninggalkan tahun-tahun di belakangnya dan mendapati dirinya sebagai seorang lelaki yang memimpin sebuah keluarga. Pada saat ia menjadi kakek, sebagai seorang lelaki tua dengan kesehatan yang menurun, ia hampir tidak dapat mengingat kejadian-kejadian yang dulu memberinya kesenangan sebagai seorang pemuda. Ingatan yang suram akhirnya benar-benar menghilang. Permasalahan yang dulu menjadi obsesinya sebagai pemuda tidak lagi menarik perhatiannya. Hanya beberapa bayangan dari hidupnya terbentang di depan matanya. Waktu yang telah ditentukan semakin mendekat. Waktu yang tertinggal sangat terbatas; beberapa tahun, bulan, atau bahkan mungkin hari. Kisah klasik tentang manusia, tanpa kecuali, berakhir di sini dengan sebuah pemakaman, yang dihadiri anggota keluarga, teman dekat, dan sanak saudara. Nyatanya, tidak ada seorang pun yang bebas dari akhir ini.
Meski demikian, sejak permulaan sejarah, Allah telah mengajarkan kepada manusia mengenai sifat sementara dunia ini dan menggambarkan akhirat, tempat tinggal manusia yang sesungguhnya dan kekal. Banyak detail mengenai surga dan neraka digambarkan dalam wahyu Allah. Namun begitu, manusia cenderung melupakan kebenaran mendasar ini dan mencoba menanamkan segala upayanya dalam hidup ini, walaupun hidup itu pendek dan sementara. Bagaimanapun hanya mereka yang menggunakan pendekatan rasional terhadap kehidupan yang mendapatkan kejelasan pikiran dan kesadaran dan menyadari bahwa hidup ini tidaklah berarti apa-apa dibandingkan dengan hidup yang kekal. Karena itulah tujuan hidup manusia hanyalah untuk mencapai surga, sebuah tempat abadi yang penuh dengan kebaikan dan karunia Allah. Mencari keridhaan Allah dengan keimanan yang benar adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkannya. Bagaimanapun, mereka mencoba untuk tidak memikirkan akhir dari dunia yang tak terhindarkan ini, dan menjalani hidup dengan sikap sedemikian tentulah sangat pantas menerima hukuman yang kekal.
Allah dalam Al Quran mengisahkan akhir yang mengerikan yang akan datang pada orang-orang ini:
Dan akan ada hari di mana Allah mengumpulkan mereka, seakanakan mereka tidak pernah berdiam hanya sesaat di siang hari, mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk. (QS. Yunus, 10: 45)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka seolah-olah tidak tinggal melainkan sesaat pada siang hari. Suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al Ahqaf, 46: 35)
Ambisi yang Tidak Terkendali
Di bagian awal buku ini, disebutkan bahwa waktu yang dihabiskan seorang manusia di dunia ini pendek bagaikan "kejapan mata". Namun, apa pun yang dimiliki seorang manusia dalam kehidupan, ia tidak akan mencapai kepuasan sejati kecuali ia beriman kepada Allah dan menyibukkan diri dengan selalu mengingat-Nya.
Sejak beranjak dewasa, ia menginginkan kekayaan, kekuasaan, atau status. Namun bagaimanapun, ia tidak memiliki cukup sumber daya untuk memuaskan keinginan ini, tidak ada kesempatan untuk memiliki semua yang ia inginkan. Kekayaan, kesuksesan, atau bentuk kesejahteraan apa pun, tidak ada yang dapat meredakan ambisinya. Tanpa memandang status sosial atau jenis kelamin, kehidupan manusia kebanyakan terbatas hingga 60 atau 70 tahun saja. Pada akhir masa ini, kematian membuat seluruh cita rasa dan kesenangan itu tidak berarti.
Seseorang yang cenderung tidak mampu mengendalikan keinginannya senantiasa mendapati dirinya benar-benar "tidak dapat terpuaskan". Pada setiap tahap kehidupannya, ketidakpuasan ini selalu ada, sementara penyebabnya berubah sesuai waktu dan kondisi. Keinginan untuk memuaskan hasrat ini dapat membuat sebagian manusia memperturutkannya dalam hampir segala hal. Ia mungkin sangat setia kepada hasratnya sehingga mau menghadapi setiap konsekuensi, walau itu berarti kehilangan cinta dari keluarga dekat atau menjadi terkucil. Namun, begitu ia mencapai tujuannya, "sihir" itu menghilang. Ia kehilangan minat terhadap apa yang telah dicapai. Selanjutnya, karena tidak puas oleh pencapaian ini, ia segera mencari tujuan lain dan melakukan berbagai usaha untuk mencapainya hingga akhirnya bisa meraihnya pula.
Memiliki ambisi yang tidak terkendali adalah karakteristik khusus orang yang tidak beriman. Ciri tersebut tetap bersamanya hingga ia mati. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia miliki. Ini karena ia hanya menginginkan segalanya bagi keserakahannya sendiri dan bukan untuk mencapai keridhaan Allah. Begitu pula, segala milik manusia dan yang ia usahakan dengan kerja keras untuk miliki merupakan alasan untuk disombongkan, dan ia mengabaikan batasan-batasan Allah. Pastilah, Allah tidak akan mengizinkan seseorang yang sangat melawan-Nya seperti demikian memiliki kedamaian pikiran di dunia ini. Allah berfirman dalam ayat-ayat Al Quran:
Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra'd, 13: 28)
Dunia yang Menipu
Contoh-contoh yang tidak terhitung banyaknya dari kesempurnaan penciptaan mengelilingi manusia di seluruh dunia: daratan-daratan yang indah, jutaan jenis tumbuhan yang berbeda, langit yang biru, awan-awan yang diberati hujan, atau tubuh manusia -- sebuah organisme sempurna yang dipenuhi sistem yang kompleks. Ini semua adalah contoh luar biasa dari penciptaan, gambaran yang memberikan pengetahuan yang dalam.
Menatap seekor kupu-kupu menunjukkan sayapnya, dengan pola-pola sangat rumit yang menyatakan identitasnya, adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Bulu-buku kepala seekor burung, yang begitu indah dan cemerlang hingga mereka terlihat seperti beludru hitam yang mewah, atau warna-warna menarik dan harumnya sekuntum bunga, seluruhnya mengagumkan jiwa manusia.
Setiap manusia, hampir tanpa kecuali, menghargai wajah yang cantik. Rumah besar yang mewah, perabotan berlapis emas dan mobil mewah bagi sebagian manusia adalah harta benda yang paling dipuja. Manusia menginginkan banyak hal dalam hidupnya, namun kecantikan dari apa pun yang kita miliki ditakdirkan lenyap pada waktunya.
Di dalam Al Quran, wahyu otentik terakhir yang tersisa, yang membimbing manusia kepada jalan yang benar, Allah berulang kali mengingatkan kita akan sifat fana dunia ini, memanggil kita kepada kejernihan pikiran dan kesadaran. Tentu saja, di mana pun kita tinggal, kita semua rentan terhadap dampak-dampak yang menghancurkan dari dunia ini, sebuah fenomena yang menjelaskan dirinya sendiri bagi orang-orang yang mengamati kehidupan dan berbagi kejadian di sekitar kita. Ini sama halnya untuk segala keindahan yang mengelilingi kita. Gambar di halaman ini masing-masingnya menunjukkan fakta ini. Setiap sudut dunia betapa pun mengesankannya, akan rusak dalam beberapa dasawarsa, terkadang bahkan dalam jangka waktu yang lebih singkat daripada yang diperkirakan

Buah perlahan-lahan berubah warna menjadi gelap dan akhirnya menjadi busuk dari saat ia dipetik dari batangnya. Harumnya bunga yang mengisi ruangan kita terbatas waktunya. Segera, warna mereka menghilang dan mereka layu. Wajah yang paling cantik berkeriput setelah beberapa puluh tahun: efek bertahun-tahun pada kulit dan berubahnya rambut menjadi abu-abu membuat wajah yang cantik tersebut tidak berbeda dari orang-orang tua lainnya. Tidak tertinggal jejak pipi kemerahan yang sehat milik seorang remaja setelah berlalunya waktu bertahun-tahun. Bangunan membutuhkan renovasi, kendaraan menjadi ketinggalan jaman dan, bahkan lebih buruk lagi, berkarat. Singkatnya, segala yang mengelilingi kita akan digerogoti waktu. Sebagiannya terlihat seperti "proses alami". Bagaimanapun, hal ini menyampaikan sebuah pesan yang jelas: "tidak ada satu pun yang kebal terhadap pengaruh waktu".
Di atas segalanya, setiap tumbuhan, binatang, dan manusia di dunia dengan kata lain, setiap mahkluk hidup tidaklah kekal. Fakta bawa populasi dunia tidak mengecil selama berabad-abad karena banyaknya kelahiran seharusnya tidak membuat kita mengabaikan kematian.
Namun sebagai sebuah keinginan yang tidak terkendali, bujukan harta benda dan kekayaan sangat memengaruhi manusia. Nafsu akan harta benda tanpa disadari menguasainya. Bagaimanapun, ada satu poin yang harus dipahami: Allah-lah pemilik satu-satunya atas segala sesuatu. Makhluk hidup tetap hidup selama Ia kehendaki dan mereka mati begitu Ia menetapkan kematian mereka.
Segala sesuatu di muka bumi ditakdirkan untuk musnah. Inilah sifat kehidupan
duniawi yang sebenarnya...

Allah memerintahkan manusia untuk memikirkan hal ini dalam ayat berikut:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tandatanda kekuasaan kepada orang-orang berfikir. (QS. Yunus, 10: 24)
Dalam ayat ini, ditunjukkan bahwa segala sesuatu yang terlihat indah dan cantik di bumi ini akan kehilangan keindahannya suatu saat. Lebih jauh lagi, mereka seluruhnya akan lenyap dari muka bumi ini. Ini sebuah poin penting untuk direnungkan karena Allah memberitahu kita bahwa Ia memberikan contoh-contoh demikian "bagi mereka yang berpikir". Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia diharapkan memikirkan dan mengambil pelajaran dari aneka peristiwa dan akhirnya menetapkan tujuan rasional bagi hidupnya. "Pikiran" dan "pemahaman" adalah sifat khas manusia; tanpa sifat-sifat ini manusia kehilangan ciri yang paling khusus dan menjadi lebih rendah daripada binatang. Binatang pun menjalani kehidupan seperti manusia dalam banyak hal: mereka bernafas, berkembang biak, dan pada suatu hari, mati. Binatang tidak pernah berpikir mengapa dan bagaimana mereka dilahirkan, atau bahwa mereka akan mati pada suatu hari. Sangat wajar bila mereka tidak berusaha memahami tujuan hidup ini yang sesungguhnya; mereka tidak diminta memikirkan tujuan penciptaan mereka atau tentang sang Pencipta.
Dan berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Kahfi, 18: 45)
Namun, manusia bertanggung jawab kepada Allah untuk membangun kesadaran terhadap Allah melalui perenungan dan kesadaran akan perintah-Nya. Lebih lanjut, ia hendaknya memahami bahwa dunia ini ada hanya untuk waktu yang terbatas. Mereka yang benar-benar memahami fakta ini akan mencari tuntunan dan cahaya Allah dengan melakukan amal-amal baik.
Bila tidak, manusia akan menemui penderitaan baik di dunia dan di akhirat. Ia menjadi kaya, namun tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Kecantikan dan ketenaran biasanya membawa kemalangan, bukannya hidup yang menyenangkan. Seorang pesohor misalnya, pada suatu saat bersenang-senang dalam pujaan penggemarnya, namun kemudian berperang dengan masalah kesehatan yang parah, dan pada suatu hari meninggal seorang diri dalam sebuah kamar hotel yang kecil tanpa seorang pun yang merawatnya.

Contoh-Contoh dalam Al Quran Mengenai Tipuan Dunia

Allah berulang kali menekankan dalam Al Quran bahwa dunia hanyalah "tempat di mana segala kesenangan ditetapkan untuk musnah". Allah menceritakan kisah-kisah berbagai bangsa, laki-laki, dan wanita di masa lampau yang bersenang-senang dalam kekayaan, ketenaran, atau status sosialnya, namun menemui akhir yang mencelakakan. Hal tersebut seperti dua orang laki-laki yang diceritakan dalam surat Al Kahfi:

Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.

Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat."

Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu."

Kawannya berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku: Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘MAASYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH’. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku yang lebih baik dari pada kebunmu; dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan dari langit kepada kebunmu; hingga menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi."

Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.

Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan. Dan berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha-kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

( QS. Al Kahfi, 18: 32-46)
Menyombongkan kekayaan akan membuat seseorang menjadi menggelikan. Ini adalah ketetapan Allah yang tidak berubah. Kekayaan dan kekuasaan adalah pemberian Allah dan dapat diambil kembali, kapan pun. Kisah "orang-orang surga" yang diceritakan dalam Al Quran adalah contoh yang lainnya:
Sesungguhnya Kami telah men-cobai mereka sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetiknya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan, lalu kebun itu diliputi malapetaka dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: "Pergilah di waktu pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya".

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu."

Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).

Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)."

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"

Mereka mengucapkan: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim."

Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: "Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas."

Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.

Seperti itulah azab. Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.

(QS. Al Qalam, 68: 17-33)
Mereka yang penuh perhatian akan segera mengenali dari ayat-ayat ini bahwa Allah tidak memberikan contoh tentang manusia ateis dalam kisah ini. Mereka yang dibicarakan di sini adalah yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah namun hatinya telah menjadi lalai dari mengingat-Nya dan tidak bersyukur kepada Penciptanya. Mereka berbangga diri akan harta benda yang telah Allah berikan kepada mereka sebagai nikmat, dan benar-benar melupakan bahwa harta benda ini hanyalah sumber penghasilan yang harus digunakan dalam jalan-Nya. Umumnya, mereka mengakui keberadaan dan kekuasaan Allah; namun hati mereka penuh dengan kesombongan, ambisi, dan keegoisan.
Kisah Qarun, salah seorang umat Nabi Musa, diceritakan dalam Al Quran sebagai sebuah contoh mendasar dari karakter duniawi manusia yang kaya. Baik Qarun maupun orang-orang yang menginginkan status dan kekayaannya adalah orang-orang beriman yang membuang agama mereka untuk harta benda dan karenanya kehilangan hidup kekal yang diberkahi, yang kerugiannya adalah kerugian yang abadi:
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.

Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar."

Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar."

Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang membela.

Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita. Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari."

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.

(QS. Al Qashas, 28: 76-84)
Kekeliruan utama Qarun adalah menganggap dirinya sebagai suatu keberadaan terpisah dan terlepas dari Allah. Memang, sebagaimana yang disebutkan ayat tersebut, ia tidak mengingkari keberadaan Allah, namun menganggap dirinya karena keutamaannya berhak mendapatkan kekuasaan dan kekayaan yang dilimpahkan Allah atasnya. Namun, seluruh manusia di dunia adalah hamba Allah dan harta benda mereka tidak diberikan hanya karena mereka berhak mendapatkannya. Segala yang diberikan kepada manusia adalah nikmat dari Allah. Apabila menyadari fakta ini, seseorang tak akan bersikap tidak berterima kasih dan durhaka kepada Penciptanya dikarenakan kekayaan yang dimilikinya. Ia hanya akan merasa bersyukur dan menunjukkan rasa syukurnya ini dengan sikap yang baik kepada Allah. Ini adalah jalan yang paling baik dan mulia untuk menunjukkan rasa syukur seseorang kepada Allah. Sebaliknya, Qarun dan orang-orang yang ingin menjadi seperti Qarun menyadari jalan kejahatan yang mereka lakukan hanya saat kehancuran menimpa mereka. Jika setelah segala kehancuran menimpa, mereka tetap ingkar dan memberontak kepada Allah, mereka akan dibinasakan sepenuhnya. Untuk mereka sebuah akhir yang tidak akan terhindarkan: neraka, sebuah tempat tinggal yang sangat buruk!
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al Hadiid, 57: 20)

KELEMAHAN MANUSIA

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna dan melengkapinya dengan sifat yang unggul. Keunggulannya dibandingkan seluruh makhluk sebagaimana ditunjukkan oleh kemampuan intelektualnya yang khas dalam berpikir dan memahami, dan kesiapannya untuk belajar dan mengembangkan budaya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pernahkah Anda berpikir, mengapa meski memiliki seluruh sifat yang unggul ini manusia memiliki tubuh yang sangat rentan, yang selalu lemah terhadap ancaman dari luar dan dalam? Mengapa begitu mudah terserang mikroba atau bakteri, yang begitu kecil bahkan tidak tertangkap oleh mata telanjang? Mengapa ia harus menghabiskan waktu tertentu setiap harinya untuk menjaga dirinya bersih? Mengapa ia membutuhkan perawatan tubuh setiap hari? Dan mengapa ia bertambah usia sepanjang waktu?
Manusia menganggap semua kebutuhan ini adalah fenomena alami. Namun, sebagai manusia, keperluan perawatan tersebut memiliki tujuan tersendiri. Setiap detail kebutuhan manusia diciptakan secara khusus. Ayat "manusia diciptakan dalam keadaan lemah" (QS. An-Nisaa’, 4: 28) adalah pernyataan yang jelas dari fakta ini.
Kebutuhan manusia yang tanpa batas diciptakan dengan sengaja: agar ia mengerti bahwa dirinya adalah hamba Allah dan bahwa dunia ini adalah tempat tinggalnya yang sementara.
Manusia tidak memiliki kekuasaan apa pun terhadap tanggal dan tempat kelahirannya. Sebagaimana halnya, ia tidak pernah mengetahui di mana atau bagaimana ia akan meninggal. Lebih lanjut lagi, seluruh usahanya untuk membatasi faktor-faktor yang berpengaruh negatif bagi hidupnya adalah sia-sia dan tanpa harapan.
Manusia memang memiliki sifat rentan yang membutuhkan banyak perawatan untuk tetap bertahan. Ia pada hakikatnya tidak terlindungi dan lemah terhadap kecelakaan tiba-tiba dan tak terduga yang terjadi di dunia. Sama halnya, ia tidak terlindungi dari risiko kesehatan yang tidak dapat diperkirakan, tak peduli apakah ia penghuni peradaban yang tinggi atau pedesaan di gunung yang terpencil dan belum maju. Sepertinya setiap saat manusia dapat mengalami penyakit yang tak tersembuhkan atau mematikan. Kapan pun, dapat terjadi suatu kecelakaan yang menyebabkan kerusakan tak tersembuhkan pada kekuatan fisik atau daya tarik seseorang yang tadinya membuat cemburu. Lebih jauh, hal ini terjadi pada seluruh manusia: apa pun status, kedudukan, ras, dan sebagainya, tidak ada pengecualian terhadap akhir tersebut. Baik kehidupan seorang pesohor dengan jutaan penggemar dan seorang penggembala biasa dapat berubah secara drastis pada suatu saat karena kecelakaan yang tidak terduga.
Tubuh manusia adalah organisme lemah yang terdiri dari tulang dan daging dengan berat rata-rata 70-80 kg. Hanya kulit yang lemah melindunginya. Tidak diragukan, kulit yang sensitif ini dapat dengan mudah terluka dan memar. Ia menjadi pecah-pecah dan kering ketika terlalu lama terkena sinar matahari atau angin. Untuk bertahan terhadap berbagai gejala alam, manusia harus berjaga-jaga terhadap dampak lingkungan.
Meskipun manusia dilengkapi dengan sistem tubuh yang luar biasa, "bahan-bahan"nya — daging, otot, tulang, jaringan saraf, sistem kardiovaskuler dan lemak — cenderung meluruh. Bila manusia terdiri dari bahan lain, bukan daging dan lemak, bahan yang tidak memberi jalan bagi penyusup dari luar seperti mikroba dan bakteri, tidak akan ada kesempatan untuk menjadi sakit. Bagaimanapun, daging adalah zat yang paling lemah: ia menjadi busuk bahkan berulat bila dibiarkan pada suhu ruang untuk beberapa waktu.
Untuk senantiasa mengingatkan kepada Allah, manusia acap kali merasakan kebutuhan pokok tubuhnya. Jika terkena cuaca dingin, misalnya, ia mengalami risiko kesehatan; sistem kekebalan tubuhnya perlahan-lahan "jatuh". Pada saat tersebut, tubuhnya mungkin tidak dapat menjaga temperatur tubuh konstannya (37ºC) yang penting untuk kesehatan yang baik.1 Laju jantungnya melambat, pembuluh-pembuluh darahnya berkontraksi, dan tekanan darah meningkat. Tubuhnya mulai menggigil sebagai cara untuk mendapatkan panas kembali. Penurunan suhu tubuh pada 35ºC diiringi tekanan denyut nadi dan kontraksi pembuluh darah di lengan, kaki, dan jari-jari menandakan kondisi yang mengancam jiwa.2 Seseorang dengan suhu tubuh 35ºC menderita disorientasi sangat parah dan terus-menerus tertidur. Fungsi-fungsi mental melambat. Sedikit saja penurunan suhu tubuh membawa konsekuensi demikian, tetapi lebih banyak terkena cuaca dingin, yang menyebabkan suhu tubuh di bawah 33ºC, akan mengakibatkan hilangnya kesadaran. Pada 24ºC, sistem pernafasan tidak berfungsi. Otak mengalami kerusakan pada 20ºC dan akhirnya jantung berhenti pada 19ºC dengan membawa akhir yang tidak dapat dihindari: kematian.
Ini hanyalah satu dari sekian contoh yang akan dikembangkan lebih jauh pada halaman-halaman berikut buku ini. Contoh-contoh ini dikemukakan untuk menekankan bahwa disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak dapat ditawar-tawar yang membahayakan keberadaannya, manusia tidak pernah menemukan kepuasan mendalam selama hidupnya. Tujuannya adalah untuk mengingatkan pembaca bahwa manusia hendaknya menghindari kecintaan buta terhadap hidup dan berhenti menghabiskan seluruh hidupnya mengejar mimpi, dan sebaliknya, selalu mengingat Allah dan hidup yang sesungguhnya, hari akhirat.
Ada surga abadi yang dijanjikan kepada manusia. Sebagaimana akan dapat dilihat oleh pembaca pada halaman-halaman berikutnya, surga adalah tempat kesempurnaan. Dalam surga, manusia akan sungguh-sungguh terjaga dari seluruh kelemahan dan ketidaksempurnaan fisik yang mengelilinginya di bumi. Segala yang ia inginkan dapat diraih dengan mudah. Lebih lanjut, kelelahan, kehausan, keletihan, kelaparan, dan luka tidak akan ada di surga.
Membantu manusia untuk memikirkan sifat mereka sesungguhnya dan dengan konsekuen memiliki pengertian mendalam terhadap keagungan tak terbatas dari sang Pencipta adalah tujuan lain buku ini. Sebagai tambahan, pemahaman bahwa manusia membutuhkan bimbingan Allah tentunya sangat dibutuhkan setiap orang. Allah menyatakan hal ini dalam ayat-ayat berikut:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Faathir, 35: 15)

Kebutuhan Jasadi

Manusia dihadapkan pada banyak risiko fisik. Menjaga tubuh dan lingkungan tetap bersih dan melakukan perawatan yang saksama adalah beban seumur hidup bagi manusia untuk meminimalkan risiko kesehatan. Lebih mengejutkan, jumlah waktu yang dihabiskan untuk tugas tersebut ternyata cukup banyak. Kita sering menemukan penelitian untuk mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bercukur, mandi, merawat rambut, merawat kulit, kuku, dan sebagainya. Hasil berbagai penelitian demikian sangat mengherankan, dan mengungkap betapa banyak waktu berharga yang dihabiskan tugas-tugas harian tersebut.
Dalam kehidupan, kita menghadapi banyak manusia. Di rumah, di kantor, di jalan-jalan atau di mal perbelanjaan, kita melihat banyak manusia yang berpakaian rapi dengan penampilan terbaik mereka. Mereka adalah orang-orang yang wajahnya dicukur, rambut dan tubuh yang bersih, pakaian yang diseterika, sepatu yang sudah disemir. Bagaimanapun, pengurusan seperti itu membutuhkan waktu dan usaha.
Sejak bangun di pagi hari hingga pergi tidur, seseorang harus melibatkan diri dalam rutinitas tanpa akhir agar tetap bersih dan segar. Saat kita bangun, tempat pertama yang kita tuju adalah kamar mandi; sepanjang malam, perkembangbiakan bakteri menyebabkan rasa tidak enak dan hawa yang tidak menyenangkan dalam mulut, yang memaksa kita segera menyikat gigi. Bagaimanapun, agar siap untuk hari yang baru, hal penting dilakukan tidak sebatas menggosok gigi. Seseorang butuh membasuh wajah atau tangannya. Sepanjang hari, rambut menjadi berminyak dan tubuh menjadi kotor. Pada malam hari, di tengah-tengah mimpi, tubuh boleh jadi tidak dapat berhenti berkeringat. Sebagai satu-satunya cara untuk membersihkan bau tubuh yang tidak menyenangkan dan keringat, seseorang merasakan pentingnya mandi. Jika tidak, dia akan pergi bekerja dengan rambut berminyak dan tubuh berbau, suatu hal yang tidak menyenangkan.
Variasi bahan yang digunakan untuk membuat tubuh seseorang cukup bersih untuk bertemu dengan orang lain ternyata sangat banyak. Hal ini cukup membuktikan kebutuhan tubuh itu tidak terbatas. Di samping air dan sabun, kita membutuhkan banyak bahan lain untuk membersihkan tubuh: sampo, conditioner, pasta gigi, pemoles gigi, korek kuping, bedak tubuh, krim wajah, lotion; daftarnya akan bertambah. Di samping bahan-bahan ini, terdapat ratusan produk lain yang dikembangkan di laboratorium untuk meningkatkan perawatan tubuh.
Sebagaimana halnya perawatan tubuh, setiap orang juga harus menghabiskan sejumlah waktu untuk membersihkan pakaian, rumah, dan lingkungannya. Tidak diragukan, seseorang tidak dapat menjaga kebersihan diri kecuali dengan berada di sebuah lingkungan yang bersih.
Singkatnya, ada bagian tertentu dari hidup yang dihabiskan hanya untuk menyediakan kebutuhan tubuh. Lebih lanjut, kita membutuhkan banyak bahan kimia untuk tujuan ini. Allah menciptakan manusia dengan banyak kelemahan, namun juga menyediakan metode untuk menyembunyikan kelemahan ini untuk sementara sehingga tetap berada dalam kondisi yang baik tanpa membuat orang lain menyadari hal tersebut, Di samping itu, manusia diberkahi cukup kecerdasan untuk mencari jalan terbaik untuk menutupi "kelemahan"nya. Bila kita tidak menerapkan metode ini untuk menjaga tubuh tetap bersih dan segar, sebentar saja kita mungkin mulai tampak menjijikkan.
Lebih jauh, seseorang tidak dapat tetap bersih untuk waktu yang lama. Setelah beberapa jam, tidak satu pun yang tersisa dari kesegaran yang diberikan oleh mandi: kita hanya dapat menjaga tetap bersih untuk waktu yang relatif singkat. Kita butuh mandi setidaknya sekali sehari. Sebagaimana halnya, kita butuh menggosok gigi kita secara teratur: bakteri dengan cepat mengubah mulut menjadi keadaan yang sebelumnya. Seorang wanita yang menghabiskan berjam-jam di depan kaca memakai riasan, bangun di pagi hari berikutnya tanpa jejak riasan yang cantik tersebut di wajahnya. Lagi pula, bila ia tidak menghapusnya dengan benar, wajahnya akan tampak lebih mengerikan oleh sisa-sisa kosmetik. Seorang laki-laki yang dicukur bersih membutuhkan cukuran lainnya pagi berikutnya.
Adalah penting untuk memahami bahwa semua kebutuhan ini diciptakan untuk tujuan tertentu. Sebuah contoh akan membuat poin ini jelas: ketika suhu tubuh meningkat, kita berkeringat. Bau yang keluar bersama keringat sangat mengganggu. Ini adalah proses yang tidak dapat dihindari siapa pun yang hidup di dunia ini. Bagaimanapun, bukan ini permasalahannya! Misalnya, tumbuhan tidak pernah berkeringat. Sebuah bunga mawar tidak pernah berbau busuk meskipun faktanya ia tumbuh di tanah, diberi makan dengan pupuk, dan berada di sebuah lingkungan yang berdebu dan kotor. Dalam semua kondisi, ia mempunyai harum yang lembut. Bahkan ia tidak membutuhkan perawatan tubuh apa pun! Akan tetapi, tidak peduli kosmetik apa pun yang dipakaikan kepada kulit, hanya sedikit mahkluk hidup yang dapat mencapai keharuman permanen seperti itu.
Di samping seluruh kebutuhan tubuh mengenai kebersihan, nutrisi juga penting bagi kesehatan. Terdapat kesetimbangan yang cermat dari protein, karbohidrat, gula, vitamin, dan mineral lainnya yang penting bagi tubuh. Sekali kesetimbangan ini terganggu, kerusakan serius dapat timbul dalam berfungsinya sistem-sistem tubuh: sistem kekebalan kehilangan kemampuan perlindungannya, membuat tubuh lemah dan rentan terhadap penyakit. Karenanya, perhatian yang sama yang ditunjukkan untuk perawatan tubuh seharusnya juga diberikan untuk nutrisi.
Syarat yang malah lebih penting lagi untuk hidup adalah, tentu saja, air. Seorang manusia dapat bertahan hidup tanpa makanan untuk beberapa periode tertentu, namun beberapa hari tanpa air akan berakibat fatal. Seluruh fungsi kimia tubuh berlangsung dengan pertolongan air; air adalah penting bagi kehidupan.
agian yang dijelaskan sebelumnya adalah kelemahan yang dapat diamati seseorang pada tubuhnya sendiri. Namun tersisa sebuah pertanyaan: apakah kita semua menyadari bahwa ini adalah kelemahan? Alternatifnya, apakah kita berpikir bahwa ini adalah "alami" karena manusia di seluruh dunia memiliki kelemahan demikian? Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa Allah dapat saja menciptakan manusia yang sempurna tanpa kelemahan ini. Setiap manusia dapat saja sebersih dan seharum mawar. Namun demikian, pelajaran yang dapat diambil dari keadaan itu pada akhirnya membawa pada kebijaksanaan, membawa kita pada kejernihan pemikiran dan kesadaran; manusia, melihat kelemahannya dalam kehadiran Allah, seharusnya mengerti mengapa ia diciptakan dan mencoba menjalani hidup yang mulia sebagai hamba Allah.

Lima Belas Tahun Tanpa "Kesadaran"

Setiap manusia harus menghabiskan sebagian waktu hariannya untuk tidur. Tidak peduli seberapa banyaknya pekerjaan yang ia miliki atau hindari, ia tetap akan jatuh tertidur dan berada di tempat tidur untuk sedikitnya seperempat hari. Karenanya, manusia sadar hanya delapan belas jam sehari; ia menghabiskan sisa waktunya minimal rata-rata 6 jam per hari dalam ketidaksadaran total. Jika dinilai dari sisi ini, kita menjumpai gambaran yang mengejutkan: ¼ dari rata-rata 60 tahun kehidupan dihabiskan dalam ketidaksadaran total.
Apakah kita memiliki alternatif selain tidur? Apa yang akan terjadi pada seseorang yang berkata, "Saya tidak ingin tidur?"
Pertama, matanya akan menjadi merah dan warna kulitnya memucat. Jika jangka waktu tidak tidurnya bertambah, ia akan kehilangan kesadaran.
Menutup mata dan ketidakmampuan untuk memfokuskan perhatian adalah fase awal tertidur. Ini adalah proses yang tidak dapat dielakkan, baik cantik atau jelek, kaya atau miskin, setiap orang mengalami proses yang sama.
Mirip dengan kematian, tepat sebelum tertidur seseorang mulai tidak sensitif terhadap dunia luar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan apa pun. Indra yang sebelumnya amat tajam mulai tidak dapat bekerja. Sementara itu, daya persepsi berubah. Tubuh mengurangi seluruh fungsinya menjadi minimum, membawa kepada disorientasi ruang dan waktu serta pergerakan tubuh yang lebih lambat. Keadaan ini, pada satu hal, merupakan bentuk lain kematian, yang didefinisikan sebagai keadaan di mana jiwa meninggalkan tubuh. Memang, saat tidur tubuh berbaring di ranjang sementara ruh mengalami hidup yang sangat berbeda di tempat yang sangat berbeda. Dalam mimpi, seseorang mungkin merasa berada di pantai pada suatu hari yang terik di musim panas, tanpa menyadari bahwa ia tengah terlelap di tempat tidur. Kematian pun memiliki tampilan luar yang serupa: ia memisahkan jiwa dari tubuh yang digunakannya di dunia dan membawanya ke dunia yang lain dalam tubuh yang baru. Untuk ini Allah berulangkali mengingatkan kita dalam Al Quran, satu-satunya wahyu sejati yang tersisa dan menuntun manusia ke jalan yang benar — akan kesamaan tidur dengan kematian.

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur yang telah ditentukan, kemudian kepada Allahlah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS. Al An'aam, 6: 60)

Allah memegang jiwa ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Az-Zumar, 39: 42)

Karena kehilangan total seluruh fungsi indra, dengan kata lain, "dalam ketidaksadaran sebenarnya", seorang manusia menghabiskan hingga 1/3 hidupnya dalam tidur. Namun, ia sedikit sekali merenungkan fakta ini, tidak pernah menyadari bahwa ia meninggalkan segala yang dianggap penting di dunia ini. Ujian yang penting, banyaknya uang yang hilang dalam perdagangan saham atau permasalahan pribadi, singkatnya segala yang tampak penting sehari-hari menghilang begitu seseorang tertidur. Singkatnya, hal ini berarti kehilangan hubungan sepenuhnya dengan dunia.

Seluruh contoh yang telah ditampilkan sejauh ini memberikan pemikiran yang jelas tentang pendeknya hidup dan sejumlah besar waktu yang dihabiskan untuk tugas "wajib" yang rutin. Ketika waktu yang digunakan untuk tugas "wajib" tersebut dikurangi, seseorang akan menyadari betapa singkatnya waktu yang tersisa untuk apa yang disebut kesenangan hidup. Dalam perenungan ulang, seseorang akan terkejut dengan panjangnya waktu yang dihabiskan untuk makan, merawat tubuh, tidur, atau bekerja untuk mendapat standar hidup yang lebih baik.

Tidak diragukan lagi, perhitungan waktu yang dihabiskan untuk tugas rutin yang penting untuk hidup patut dipikirkan. Seperti dinyatakan sebelumnya, setidaknya 15-20 tahun dari 60 waktu hidup dihabiskan untuk tidur. Awal 5-10 tahun dari 40-45 tahun sisanya, dihabiskan dalam masa kanak-kanak, masa yang juga dilewati dalam keadaan yang hampir tidak sadar. Dengan kata lain, seorang berusia 60 tahun sudah menghabiskan sekitar separuh hidupnya tanpa kesadaran. Mengenai separuh hidup-nya yang lain, tersedia banyak statistik. Angka-angka ini misalnya, termasuk waktu yang digunakan untuk menyiapkan makanan, makan, mandi atau terjebak kemacetan. Daftar ini dapat diperpanjang lebih jauh. Kesimpulannya, yang tersisa dari sebuah hidup yang "panjang" hanyalah 3-5 tahun. Apa nilai penting hidup yang pendek tersebut dibandingkan dengan yang abadi?

Tepat pada poin inilah terdapat jurang besar menganga antara mereka yang beriman dengan yang tidak beriman. Orang-orang yang tidak beriman, yang percaya bahwa hidup hanya ada di dunia, berjuang memanfaatkannya sebaik-baiknya. Namun ini adalah usaha yang tidak berguna: dunia ini pendek dan hidupnya dikelilingi dengan "kelemahan". Lebih lanjut, karena orang-orang yang tidak beriman tidak memercayai Allah, ia hidup dalam kehidupan yang penuh kesukaran, penuh dengan permasalahan dan ketakutan.
Mereka yang memiliki iman, di sisi lain, melalui hidup mereka dengan mengingat Allah dan keberadaan-Nya pada setiap saat, sepanjang seluruh pekerjaan sepele dan memberatkan saat merawat tubuh, makan, minum, berdiri, duduk, berbaring, dan mencari penghidupan, dan lain-lain. Mereka menghabiskan hidup hanya untuk mencapai ridha Allah dan menjalani kehidupan yang damai, benar-benar terpisah dari seluruh kesedihan dan ketakutan duniawi. Kesimpulannya, mereka mencapai surga, sebuah tempat kebahagiaan abadi. Sama halnya, tujuan pokok hidup dinyatakan dalam ayat berikut:

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa. (QS. An-Nahl, 16: 30-31)

Penyakit dan Kecelakaan

Penyakit juga mengingatkan manusia bagaimana mudahnya ia menjadi lemah. Tubuh, yang sangat terlindung dari seluruh jenis ancaman luar, rusak berat oleh virus yang sepele, agen pembawa penyakit yang tak terlihat mata. Proses ini sepertinya tidak masuk akal, karena Allah telah melengkapi tubuh dengan sistem yang sangat lengkap, terutama sistem kekebalan yang dapat digambarkan sebagai "tentara yang unggul" terhadap musuh-musuhnya. Namun, walau ada kekuatan dan daya tahan tubuh, manusia sering jatuh sakit. Mereka sedikit memikirkan fakta bahwa setelah dilengkapi dengan sistem yang sempurna tersebut, Allah akan membiarkan material pembawa penyakit menyebabkan penderitaan. Virus, mikroba, atau bakteri dapat saja tidak pernah mempengaruhi tubuh, atau bahkan musuh-musuh kecil ini dapat saja tidak pernah ada. Namun, hingga kini setiap orang dapat menjadi sasaran dari penyakit serius yang dibawa oleh berbagai penyebab yang tidak penting. Misalnya, suatu virus yang memasuki tubuh melalui luka kecil di kulit dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh, mengambil alih organ-organ vital. Meskipun teknologi telah berkembang pesat, virus influensa yang sederhana dapat menjadi faktor yang mengancam hidup bagi sebagian besar manusia. Sejarah telah berkali-kali menjadi saksi kasus influensa yang mengubah bahkan struktur demografi beberapa negara. Sebagai contoh, pada tahun 1918, 25 juta manusia meninggal karena influensa. Sama halnya, tahun 1995, sebuah epidemi merenggut 30 ribu nyawa, dengan kerugian terbesar di Jerman.
Penyakit, seperti yang diilustrasikan di sini, seringkali adalah cobaan dari Allah. Kejadian semacam ini adalah kesempatan yang langka bagi orang beriman untuk menunjukkan kesabaran dan ketaatannya kepada Allah. Namun, mereka yang membatasi pemahaman mereka semata kepada dunia ini saja sukar memahami rahasia yang mendasar ini.

Kini bahaya tersebut tetap bertahan: sebuah virus dapat menyerang kapan pun dan dengan mudah mengancam nyawa siapa pun, atau sebuah penyakit yang langka dapat muncul kembali setelah terkubur selama hampir dua puluh tahun. Dengan menerima semua peristiwa ini sebagai kejadian yang alami dan tidak merefleksikannya pada mereka sendiri, akan terjadi kesalahan serius. Allah memberi manusia penyakit untuk tujuan tertentu. Dengan cara ini, mereka yang sombong dapat menemukan kesempatan untuk mengetahui betapa terbatasnya jangkauan kekuasaan mereka. Di samping itu, ini adalah jalan yang baik untuk memahami asal sesungguhnya kehidupan ini.
Selain penyakit, kecelakaan merupakan ancaman yang serius terhadap manusia. Setiap hari koran menghadirkan berita utama tentang kecelakaan jalan raya. Kecelakaan juga merupakan hal yang banyak diberitakan di radio dan televisi. Namun, meskipun terbiasa dengan kecelakaan tersebut, kita tidak pernah berpikir bahwa kita mungkin menghadapi kecelakaan kapan pun. Terdapat ribuan faktor di sekitar kita yang dapat dengan tiba-tiba menghentikan hidup kita. Seseorang dapat saja kehilangan keseimbangan dan jatuh di tengah-tengah jalan, misalnya. Gegar otak atau patah kaki dapat terjadi karena kecelakaan biasa seperti itu, atau saat makan malam, seseorang dapat tercekik hingga mati karena tulang ikan. Penyebabnya dapat terdengar sederhana, namun setiap hari ribuan manusia di dunia menghadapi kejadian yang sukar dibayangkan seperti ini.
Fakta ini seharusnya membuat kita memahami kesia-siaan penghambaan kepada dunia ini dan menyimpulkan bahwa segala yang telah diberikan pada kita bukanlah apa-apa kecuali kesenangan sementara untuk menguji kita di dunia. Sangatlah tidak dapat diduga bagaimana seorang manusia, yang masih tidak mampu memerangi virus yang tidak terlihat, berani bersikap sombong terhadap Penciptanya Yang Mahakuasa.
Tidak diragukan lagi, Allah-lah yang menciptakan manusia dan Ia-lah satu-satunya yang melindungi kita terhadap segala bahaya. Dalam hal ini, kecelakaan dan penyakit menunjukkan kepada kita siapa diri kita. Tidak peduli bagaimana kuat seseorang menganggap dirinya, kecuali dengan kehendak Allah, ia tidak akan dapat mencegah bencana apa pun. Allah menciptakan seluruh penyakit dan situasi lain untuk mengingatkan manusia terhadap kelemahannya.
Dunia ini adalah tempat untuk menguji manusia. Setiap orang dianggap bertanggung jawab untuk mencoba mencapai kesenangan yang baik dari-Nya. Di akhir ujian ini, mereka yang memiliki pemahaman menyeluruh yang jelas tentang Allah tanpa menyekutukan-Nya dan mematuhi larangan dan perintah-Nya akan menghuni surga dengan segala keabadiannya. Mereka yang tidak mengubah kesombongan dan lebih menyukai dunia ini dan keinginannya akan kehilangan kehidupan yang abadi dari kebahagiaan dan kemudahan, dan menukarnya dengan penderitaan abadi yang tidak akan lepas dari kesukaran, kelemahan, dan kesedihan baik di dunia maupun di akhirat.

Konsekuensi dari Penyakit dan Musibah

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penyakit dan musibah adalah kejadian yang digunakan Allah untuk menguji manusia. Menghadapi kejadian seperti demikian, seorang manusia yang beriman dengan cepat kembali kepada Allah, berdoa dan memohon perlindungan kepada-Nya. Ia menyadari bahwa tidak ada suatu pun dan seorang pun yang dapat menolongnya dari kesedihan. Ia juga menyadari bahwa kesabaran, pengabdian, dan kepercayaannya kepada Allah sedang diuji. Dalam Al Quran, nabi Ibrahim dipuji karena sikap teladannya. Doanya yang tulus seharusnya diulang oleh seluruh orang beriman. Hal tersebut diceritakan dalam Al Quran sebagai berikut:
"Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku." (Asy-Syua'araa, 26: 79-81)
Nabi Ayyub, di sisi lain, memberi contoh yang baik bagi seluruh orang yang beriman ketika ia mencari kesabaran hanya dari Allah saat didera penyakit yang parah.
Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan." (QS. Shaad, 38: 41)
Kesukaran demikian memperkuat kesetiaan orang-orang yang beriman kepada Pencipta mereka dan menegakkan mereka dalam kedewasaan. Karena itulah setiap penderitaan adalah "keberuntungan". Orang-orang yang tidak beriman, sebaliknya, menanggapi semua jenis musibah dan penyakit sebagai "kerugian". Karena tidak menyadari bahwa segalanya diciptakan untuk tujuan yang khusus dan bahwa kesabaran yang ditunjukkan selama kesulitan akan dihargai di akhirat, orang-orang yang tidak beriman jatuh ke dalam kesedihan yang dalam. Memang, karena dalam sebuah sistem yang berlandaskan pada pengingkaran atas keberadaan Allah, manusia mengadopsi pendirian materialistis, penyakit dan musibah membawa kesedihan lain kepada mereka yang tidak memiliki keyakinan. Nilai moral dan sudut pandang masyarakat materialis menggariskan bahwa setelah musibah atau penyakit, umumnya mereka tiba-tiba kehilangan "teman" dekat, sekalipun mereka belum mati. Sikap semacam itu diambil hanya karena mereka menganggap berteman atau merawat orang yang sakit sebagai gangguan. Betapa pun banyaknya cinta dan kasih sayang yang telah diberikan seseorang di "masa-masa lalu yang indah", sekali ia jatuh sakit terbaring di tempat tidur, misalnya, atau cacat, lenyaplah seluruh kasih sayang untuknya. Alasan lain yang membuat manusia berubah adalah kehilangan penampilan atau keahlian tertentu. Hal itu juga yang terjadi pada masyarakat materialis, karena di sana manusia menilai yang lainnya berdasarkan ciri-ciri fisik mereka. Konsekuensinya, ketika muncul kekurangan fisik, nilai yang dimiliki orang tersebut juga menghilang.
Sebagai contoh, pasangan atau kerabat dekat dari seorang penyandang cacat fisik, segera mulai mengeluhkan kesulitan merawat seorang cacat. Mereka sering berkeluh-kesah tentang sialnya mereka. Kebanyakan menyatakan bahwa mereka masih sangat muda dan tidak seharusnya dihadapkan pada bencana seperti itu. Ini hanya pembenaran diri bahwa ia tidak memberikan perawatan dan perhatian yang patut kepada keluarganya yang cacat. Yang lainnya, di sisi lain, membantu pasien atau orang cacat hanya karena mereka takut akan pendapat orang lain jika meninggalkan mereka. Gosip, yang mudah menyebar, mencegah mereka bersikap demikian. Dalam saat-saat kesulitan seperti itu janji kesetiaan yang diberikan selama hari-hari yang bahagia tiba-tiba digantikan oleh perasaan egois dan memikirkan diri sendiri.
Kejadian semacam itu seharusnya tidak mengejutkan kita dalam sebuah lingkungan di mana beberapa bentuk sikap, seperti kesetiaan, ditunjukkan hanya jika membawa keuntungan. Tidak diragukan lagi, dalam sebuah masyarakat di mana kriteria materialis berkembang, dan yang lebih penting, di mana manusia tidak takut akan Allah, mustahil untuk mengharapkan kesetiaan seseorang tanpa imbalan. Bagaimanapun, kita tidak dapat mengharapkan ketulusan dan kejujuran seseorang kepada orang lain kecuali ia percaya ia akan menerima hukuman untuk kegagalannya dan penghargaan untuk keberhasilannya. Dalam masyarakat materialis, sikap seperti itu dipercaya sebagai "kebodohan", karena tidak masuk akal menunjukkan kesetiaan kepada seseorang yang ketika kelak mati, mungkin dalam beberapa puluh tahun, sirna untuk selama-lamanya. Jika mempertimbangkan situasi suatu sistem yang kedua pihak di dalamnya yakin bahwa mereka akan hidup untuk waktu yang singkat kemudian mati, mentalitas semacam itu sepertinya masuk akal. Lalu, mengapa mereka tidak akan lebih menyukai jalan yang nyaman dan mudah untuk menjalani kehidupan?
Namun, fakta-faktanya sangat berlawanan. Mereka yang beriman kepada Allah, yang di hadapan-Nya menyadari kelemahan diri dan takut pada-Nya, menilai orang lain dengan cara yang diinginkan Allah. Nilai seseorang yang paling berharga di hadapan Allah adalah ketakwaan, rasa hormat, dan seterusnya, akhlak yang muncul dari nilai-nilai ini. Jika seseorang yang bertakwa kepada Allah menampakkan kesempurnaan moral dalam dunia ini, ia akan mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani selama-lamanya. Dengan memahami fakta ini, kekurangan fisik di dunia ini tidak lagi berarti. Ini adalah janji dari Allah kepada orang-orang yang beriman. Ini pula alasan dasar mengapa orang-orang beriman menampakkan penghormatan dan kasih sayang satu sama lain serta tenggang rasa terhadap kekurangan fisik sesamanya, juga menunjukkan pengabdian seumur hidup di antaranya.
Jurang persepsi yang lebar antara orang-orang yang beriman dan yang tidak, serta pola pemikiran mereka yang berbeda sangat penting. Sementara dendam dan kemarahan dihilangkan dari hati orang-orang beriman dan digantikan oleh rasa damai dan tentram, pikiran orang-orang kafir justru didera rasa kecewa, tidak puas dan tidak bahagia. Hal ini seolah-olah suatu hukuman dari masyarakat materialis yang mengelilingi orang-orang yang tidak beriman, namun, sebenarnya adalah kesialan dari Allah untuk mereka yang tidak beriman. Mereka yang beranggapan bahwa kedurhakaan mereka tidak akan diadili akan terpukul pada hari penghisaban, saat dosa-dosa mereka, kekejaman, keingkaran, dan pengkhianatan diadili:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS. Ali ‘Imran, 3: 178)

Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan

Dampak kemunduran dari lewatnya tahun-tahun kehidupan dapat teramati pada tubuh seseorang. Bersamaan berlalunya tahun demi tahun, tubuh, harta manusia yang paling berharga, melalui proses kemunduran yang tak dapat diubah lagi. Perubahan yang dialami seorang manusia sepanjang hidupnya disebutkan di dalam Al Quran sebagai berikut:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan sesudah kuat itu lemah dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. (QS. Ar-Ruum, 30: 54)
Tahun-tahun terakhir kehidupan adalah waktu yang paling diabaikan dalam rencana masa depan seorang dewasa, kecuali di dalam proses menabung untuk pensiun hari tua yang mencemaskan. Sudah barang tentu, pada saat teramat dekat dengan kematian, orang biasanya bersikap ragu-ragu terhadap periode ini. Ketika seseorang mengajak berbincang tentang usia tua, yang lain akan merasa risau dan berusaha mengubah topik "yang tidak menyenangkan" ini secepat mungkin. Rutinitas sehari-hari juga merupakan jalan yang ampuh untuk melarikan dari memikirkan tahun-tahun kehidupan yang kemungkinan besar akan menyengsarakan ini. Jadi, hal ini dihindari hingga saatnya tak terelakkan lagi. Tak diragukan lagi, penyebab utama dari pengelakan seperti itu adalah anggapan bahwa seseorang memiliki waktu yang tak terbatas sampai kematian mendatanginya. Kesalahpahaman umum seperti ini dijelaskan di dalam Al Quran:
"Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hingga panjanglah umur mereka." (QS. Al Anbiyaa', 21: 44)
Gagasan keliru ini seringkali membawa kepada kesedihan besar. Ini karena tak peduli berapa pun tuanya seseorang, milik nyata yang tersisa dari masa lalunya hanyalah kenangan yang teringat samar-samar. Seseorang hampir tidak ingat akan masa kanak-kanaknya. Malahan lebih sukar lagi untuk mengingat dengan tepat apa yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Ambisi terbesar seorang muda, keputusan-keputusan besar, dan tujuan-tujuan yang paling ia kejar, semuanya kehilangan makna begitu dialami dan rampung. Karena itulah, menceritakan sebuah kisah hidup yang "panjang" adalah suatu upaya yang sia-sia.
Baik itu bagi seorang remaja ataupun dewasa, hal ini seharusnya mendorong manusia untuk membuat sebuah keputusan besar tentang hidupnya. Misalnya, jika Anda berumur empat puluh tahun dan berharap untuk hidup hingga pertengahan umur enam puluhan dan Anda tidak punya jaminan apa-apa sisa dua puluh lima tahun tersebut pasti akan segera berlalu secepat empat puluh tahun sebelumnya. Hal yang sama tetap terjadi walaupun hidup Anda dipanjangkan sekali, karena sisa tiga puluh atau empat puluh juga akan berlalu sebelum Anda sempat memerhatikan. Hal ini tentu saja merupakan peringatan abadi akan sifat sejati dari dunia ini. Suatu hari setiap jiwa yang hidup di muka bumi ini akan meninggalkan dunia ini dan tidak ada kata kembali.
Oleh karena itu, manusia hendaknya mengesampingkan prasangkanya dan lebih realistik tentang hidupnya. Waktu berlalu sangat cepatnya dan setiap hari menyebabkan makin lemahnya fisik berkurangnya ingatan, bukannya dinamisme yang lebih segar dan sosok yang lebih muda. Singkatnya, menjadi tua adalah perwujudan dari ketidakmampuan manusia mengendalikan tubuh, hidup dan nasibnya sendiri. Efek waktu yang merugikan terhadap tubuh terlihat selama periode ini. Allah menjelaskan kepada kita tentang hal ini dalam ayat berikut:
Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. (QS. An-Nahl, 16: 70)
Dalam kedokteran, usia lanjut juga disebut "masa kanak-kanak kedua". Oleh sebab itu, selama tahap kehidupan akhir ini, orang-orang tua seperti anak-anak, membutuhkan perawatan, karena fungsi-fungsi tubuh dan mental mereka telah mengalami perubahan-perubahan tertentu.
Begitu seseorang menjadi tua, berbagai karakteristik fisik dan kejiwaan menjadi semakin jelas. Orang-orang tua gagal melakukan banyak tugas yang berhubungan dengan kekuatan fisik. Perubahan penilaian, pemikiran yang berkurang, kesulitan berjalan, menjaga keseimbangan dan pembicaraan, berbagai kesukaran, memori yang berkurang dan kehilangan memori secara perlahan-lahan, dan perubahan suasana hati dan tingkah laku hanyalah beberapa gejala penyakit yang umum diderita pada usia tua.
Pendeknya, setelah periode tertentu, manusia sering mengalami kemunduran ke keadaan ketergantungan kanak-kanak baik secara fisik maupun mental.
Kehidupan berawal dan berakhir dalam keadaan kanak-kanak. Hal ini jelas bukan suatu proses acak. Mungkin saja seseorang tetap muda sampai ia mati. Namun Allah mengingatkan manusia tentang sifat fana dunia ini dengan membuat kualitas hidupnya memburuk pada tahapan tertentu dalam kehidupan. Proses ini bekerja sebagai pengingat yang jelas bahwa hidup terus mendekati akhirnya. Allah menjelaskan ini di dalam ayat berikut:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)
Berbagai Masalah Fisik yang Berkaitan dengan Umur
Tak peduli betapa pun banyaknya uang yang Anda miliki atau betapa pun sehatnya Anda, setiap orang pada akhirnya menghadapi ketidak-mampuan dan berbagai komplikasi lain yang berkaitan dengan umur, sebagiannya dijelaskan di bawah ini:
Kulit merupakan faktor penting yang menentukan penampilan seseorang. Kulit adalah bagian mendasar dari kecantikan. Jika beberapa milimeter persegi saja jaringan dibuang, tak bisa tidak akan tampak gambaran yang mengganggu bagi pecinta keindahan. Ini karena kulit —selain melindungi tubuh dari ancaman luar — juga memberi tubuh penampilan yang halus dan estetis. Tak diragukan, ini adalah fungsi penting kulit. Bagaimanapun, jika seseorang menganggap dirinya cantik, adalah karena tubuhnya dilapisi kulit, potongan daging yang total beratnya sekitar dua seperempat kilogram. Namun yang mengherankan, hanya inilah organ tubuh yang menampakkan kerusakan ketika seseorang menua.
Begitu seseorang menua, kulit kehilangan struktur elastisnya karena protein-protein struktural yang membentuk "kerangka" dari lapisan dasar kulit menjadi sensitif dan lemah. Karena inilah di wajah muncul keriput dan garis, mimpi buruk bagi banyak orang. Fungsi kelenjar-kelenjar minyak di lapisan atas kulit melambat, mengakibatkan kekeringan yang akut. Perlahan-lahan, tubuh terkena pengaruh-pengaruh luar karena permeabilitas kulit meningkat. Akibat proses ini, orang-orang lanjut usia menderita ketidakteraturan tidur yang berat, luka-luka luaran, dan rasa gatal yang disebut "rasa gatal usia tua". Begitu pula, kerusakan terjadi pada lapisan-lapisan dasar kulit. Penggantian jaringan kulit dan mekanisme pertukaran zat gagal berfungsi, menyediakan landasan untuk tumbuhnya tumor.
Kekuatan tulang juga sangat penting bagi tubuh manusia. Berbagai upaya untuk memperoleh postur tubuh yang tegak jarang berhasil bagi orang tua, namun jauh lebih mudah bagi orang muda. Saat seseorang berjalan dengan postur membungkuk, hilanglah keangkuhannya, menunjukkan bahwa ia tidak lagi berdaya mengontrol tubuhnya sendiri. Karenanya, ini juga merupakan hilangnya "keanggunan" seseorang.
Gejala-gejala penuaan tak terbatas pada ini saja. Orang-orang lanjut usia lebih gampang mengalami kehilangan rasa karena sel-sel saraf berhenti memperbarui diri setelah usia tertentu. Orang-orang lanjut usia menderita disorientasi ruang karena melemahnya respon mata yang terhadap intensitas cahaya. Hal ini sangat penting karena membuat terbatasnya penglihatan: kecemerlangan warna, posisi dan dimensi objek-objek menjadi kabur. Tak diragukan, ini adalah situasi sulit yang harus dihadapi para lanjut usia.
Manusia mungkin saja tidak akan pernah mengalami kerusakan fisik akibat penuaan: dia mungkin saja tumbuh makin kuat dan sehat seiring dengan bertambahnya usia. Walau kita tidak lazim dengan model demikian, hidup yang lebih lama mungkin menawarkan berbagai kesempatan yang tak terduga bagi kehidupan yang penuh secara personal dan sosial. Waktu mungkin telah memperbaiki kualitas hidup, membuatnya jauh lebih menyenangkan daripada sebelumnya. Namun, sistem yang ditakdirkan sebagai yang terbaik bagi manusia adalah yang berdasarkan pada menurunnya kualitas hidup begitu seseorang semakin tua.
Inilah satu lagi bukti dari sifat fana dunia ini. Allah berulang kali mengingatkan kita tentang fakta ini di dalam Al Quran dan menyuruh orang-orang yang beriman memikirkannya:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai perhiasannya, dan pemilik-pemilik-nya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kepada orang-orang berfikir. (QS. Yunus, 10: 24)
Setelah suatu periode hidup di mana manusia menganggap dirinya kuat secara fisik dan mental dan memandang seluruh dunia dari sudut pandangnya sendiri, dia tiba-tiba melalui suatu masa di mana dia kehilangan banyak hal yang sebelumnya ia nikmati. Proses ini tak terelakkan dan tak dapat diubah. Ini tak lain karena Allah menciptakan dunia ini sebagai tempat sementara untuk hidup dan membuatnya tidak sempurna sebagai pengingat akan Hari Akhir.
Pelajaran yang Ditarik dari Usia Lanjut Para Pesohor
Menjadi tua tak dapat dielakkan. Tidak seorang pun, tanpa kecuali, dapat menghindarinya. Namun, mengamati bagaimana para pesohor menjadi tua mempunyai pengaruh yang lebih dalam bagi kita karena kemunduran fisik mereka dapat diamati secara terbuka. Menyaksikan penuaan dari orang-orang yang terkenal karena kemasyhuran, kekayaan, dan kecantikannya tentulah merupakan pengingat akan betapa pendek dan tidak berartinya hidup ini.
Setiap hari kita dapat mengamati fakta ini dari ratusan contoh di sekitar kita. Seorang yang cerdas, sehat, dan terkenal, yang pernah menjadi simbol kecantikan atau kesuksesan, suatu hari akan muncul di koran, majalah, dan televisi dengan ketidakmampuan fisik atau mental. Inilah akhir yang akan ditemui hampir semua orang. Namun para pesohor punya tempat khusus di pikiran kita; bagaimana mereka menjadi tua dan kehilangan pesona lebih dalam menyentuh emosi. Pada halaman-halaman berikut, Anda akan melihat foto-foto dari sebagian para pesohor. Masing-masingnya merupakan bukti nyata bahwa bagaimanapun cantik, sukses, atau mudanya Anda, akhir yang tak terelakkan bagi manusia adalah usia tua.

Kematian Manusia

Hidup makin menjauh detik demi detik. Sadarkah Anda bahwa setiap hari membawa anda semakin dekat kepada kematian, atau bahwa kematian itu sama dekatnya kepada anda sebagaimana pada orang lain?
Sebagaimana disebutkan di dalam ayat, "Setiap jiwa akan merasakan mati; kepada Kamilah engkau akan dikembalikan", (QS Al Ankabuut, 27: 57) setiap orang yang pernah muncul di dunia ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali mereka semua, setiap orang, mati. Hari ini, kita hampir tak pernah mendapati jejak dari banyak orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang hidup saat ini dan mereka yang akan hidup kelak juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun begitu, manusia cenderung menganggap kematian sebagai peristiwa yang tidak mungkin terjadi.
Bayangkanlah seorang bayi yang baru saja membuka matanya terhadap dunia dan seseorang yang akan mengembuskan nafas terakhir. Keduanya tidak dapat mengubah apa pun dari kelahiran dan kematian mereka sendiri. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan untuk meniupkan nafas kehidupan atau mengambilnya.
Semua manusia akan hidup sampai hari tertentu dan kemudian mati; di dalam Al Quran, Allah menceritakan tentang sikap yang umum ditunjukkan terhadap kematian dengan ayat-ayat berikut:
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al Jumu’ah, 62: 8)
Kebanyakan manusia menghindari berpikir tentang kematian. Dalam pesatnya arus peristiwa sehari-hari, seseorang biasanya menyibukkan diri dengan hal-hal yang sama sekali berbeda: di mana hendak kuliah, di perusahaan mana akan bekerja, apa warna pakaian yang akan dikenakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam; inilah macam isu utama yang biasa kita pikirkan. Hidup dipandang sebagai proses rutin dari masalah-masalah kecil sedemikian. Usaha untuk berbicara tentang kematian selalu diinterupsi oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengar tentangnya. Karena menganggap kematian hanya akan datang setelah tua, orang tidak ingin merisaukan hal yang tidak menyenangkan seperti itu. Namun, harus tetap diingat bahwa tidak ada jaminan bahwa seseorang akan hidup sekadar satu jam lagi. Setiap hari, manusia menyaksikan kematian orang-orang di sekitarnya, tetapi hanya sedikit berpikir tentang hari ketika kematiannya disaksikan orang-orang lain. Dia tidak pernah mengira akhir seperti itu sedang menunggunya!
Bagaimanapun juga, ketika kematian mendatangi manusia, semua "kenyataan" hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada sisa dari "masa lalu yang menyenangkan" yang bertahan di dunia ini. Pikirkanlah segala sesuatu yang dapat Anda lakukan sekarang juga: Anda dapat mengedipkan mata, menggerakkan tubuh, berbicara, tertawa; semua ini adalah fungsi tubuh Anda. Sekarang pikirkanlah tentang keadaan dan bentuk tubuh Anda setelah kematian.
Sejak detik Anda mengembuskan nafas terakhir, Anda akan menjadi tak lebih dari "seonggok daging". Tubuh Anda yang diam dan tak bergerak, akan dibawa ke rumah mayat. Di sana , tubuh Anda akan dimandikan untuk terakhir kalinya. Dengan keadaan terbungkus kain kafan, jenazah Anda akan dibawa di dalam peti mati ke pemakaman. Begitu jenazah Anda berada di dalam kubur, tanah akan menutupi Anda. Inilah akhir dari kisah tentang Anda. Mulai sekarang, Anda hanyalah salah satu nama yang tertulis di nisan pekuburan.
Selama beberapa bulan dan tahun pertama, kuburan Anda akan sering dikunjungi. Seiring berjalannya waktu, makin sedikit orang yang datang. Sepuluh tahun kemudian, tak ada lagi yang datang.
Sementara itu, anggota keluarga dekat Anda akan melalui segi lain dari kematian Anda. Di rumah, kamar dan tempat tidur Anda akan kosong. Setelah pemakaman, hanya sedikit barang-barang kepunyaan Anda yang akan disimpan di rumah: kebanyakan pakaian, sepatu, dan lain-lain milik Anda akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas Anda di kantor administrasi umum akan dihapus atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, sebagian orang akan berkabung untuk Anda. Namun, waktu akan mengikis kenangan yang Anda tinggalkan. Empat atau lima puluh tahun kemudian, hanya tinggal sedikit orang yang ingat akan Anda. Tak lama, generasi baru akan datang dan tidak seorang pun dari generasi Anda yang tersisa di muka bumi. Apakah Anda diingat atau tidak, tidak akan berharga bagi Anda.
Sementara semua ini berlangsung di muka bumi, jenazah di bawah tanah akan melalui proses pembusukan yang cepat. Segera setelah Anda berada di dalam kubur, bakteri dan serangga yang berkembang biak di dalam jenazah karena tiadanya oksigen akan mulai berfungsi. Gas-gas yang dikeluarkan dari organisme-organisme ini akan menggembungkan tubuh, mulai dari bagian perut, mengubah bentuk dan penampilannya. Busa bercampur darah akan meletup keluar dari mulut dan hidung karena tekanan gas-gas pada diafragma. Begitu proses perusakan ini terjadi, rambut tubuh, kuku, telapak tangan dan kaki akan rontok. Mengikuti perubahan luar ini, di dalam tubuh, organ-organ dalam seperti paru-paru, jantung, dan hati juga akan membusuk. Sementara itu, adegan yang paling mengerikan berlangsung di dalam perut, di mana kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas-gas dan tiba-tiba meletus, menyebarkan bau busuk yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan berlepasan dari tempat-tempat asalnya. Kulit dan jaringan-jaringan lunak akan hancur sama sekali. Otak akan membusuk dan mulai tampak seperti tanah liat. Proses ini akan terus berlanjut sampai seluruh tubuh tinggal kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali lagi ke kehidupan lama. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bermasyarakat, atau memiliki pekerjaan yang terhormat tidak akan pernah mungkin lagi terjadi.
Pendeknya, "tumpukan daging dan tulang" yang kita beri identitas tersebut akan menghadapi akhir yang menjijikkan. Di sisi lain, Anda — atau tepatnya, jiwa Anda —akan meninggalkan tubuh ini segera setelah Anda mengembuskan nafas terakhir. Sisa dari diri Anda —jasad — akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan terjadinya segala hal ini?
Jika Allah berkehendak, tubuh Anda tidak akan pernah membusuk seperti itu. Dalam peristiwa itu sebenarnya terkandung sebuah pesan yang sangat penting.
Akhir yang dahsyat yang menunggu manusia seharusnya membuatnya mengakui bahwa dia bukanlah sesosok tubuh, tetapi sebentuk jiwa yang "berdiam" di dalam tubuh. Dengan kata lain, manusia harus mengakui bahwa dia memiliki keberadaan di luar tubuhnya. Lebih jauh lagi, manusia harus memahami kematian jasadnya yang ia coba miliki seolah ia akan abadi di dunia fana ini. Namun jasad ini, yang ia anggap teramat penting, akan membusuk dan dimakan cacing suatu hari dan akhirnya tinggal kerangka. Hari itu mungkin saja sangat dekat.
Walau ada fakta-fakta ini, proses mental manusia cenderung untuk mengesampingkan apa yang tidak ia sukai atau ingini. Bahkan ia cenderung untuk menolak keberadaan hal-hal yang tak ingin hadapi. Kecenderungan ini paling jelas tatkala menyangkut kematian. Hanya penguburan atau kematian mendadak dari keluarga dekatlah yang membawa kenyataan ini ke pikiran. Hampir setiap orang menganggap maut jauh dari dirinya. Dianggapnya mereka yang meninggal dalam tidurnya atau karena kecelakaan adalah orang lain dan apa yang mereka hadapi tidak akan pernah menimpa dirinya! Setiap orang mengira dirinya terlalu muda untuk mati dan masih hidup bertahun-tahun lagi.
Namun mungkin sekali, orang-orang yang meninggal dalam perjalanan ke sekolah atau tergesa-gesa menghadiri rapat bisnis berpikir begitu. Mereka barangkali tidak pernah berpikir bahwa koran hari berikutnya akan memberitakan kematian mereka. Sangatlah mungkin bahwa, saat Anda membaca baris-baris ini, Anda masih tidak menyangka akan meninggal segera setelah Anda menyelesaikannya atau sekadar memikirkan kemungkinan bahwa hal itu terjadi. Barangkali Anda merasa bahwa masih terlalu muda untuk meninggal karena masih banyak hal yang harus diwujudkan. Namun, ini hanyalah suatu pengelakan dari kematian dan merupakan upaya gagal untuk melarikan diri darinya:
Katakanlah: "Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja." (QS. Al Ahzab, 33: 16)
Manusia yang diciptakan dalam kesendirian hendaknya menyadari bahwa dia juga kan mati dalam kesendirian. Namun, sepanjang hidupnya, ia hidup bagai kecanduan harta benda. Tujuan hidupnya semata-mata untuk memiliki lebih banyak lagi. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kubur. Tubuh dikuburkan terbungkus dalam kafan yang terbuat dari kain termurah. Jasad muncul ke dunia ini sendirian dan meninggalkannya dengan cara yang sama. Satu-satunya harta yang dapat dibawa seseorang bersamanya saat kematian adalah keimanan atau kekafirannya.
xx

1. A. Maton, J. Hopkins, S. Johnson, D. LaHart, M.Quon Warner, J.D. Wright, Human Biology and Health, Prentice Hall, New Jersey, hal. 59
2. J.A.C. Brown, Medical and Health Encyclopaedia, Remzi Publishing, Istanbul, hal. 250

DAYA TARIK HARTA BENDA DUNIAWI

Sepanjang kehidupan, kita punya cita-cita tertentu untuk dicapai: kekayaan, harta benda, dan kedudukan yang lebih baik, serta pasangan dan anak-anak. Inilah di antara cita-cita yang umum bagi hampir semua orang. Segala rencana dan upaya dikerahkan untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Meskipun satu-satunya fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa segala sesuatunya cenderung menua dan musnah, manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari keterikatan terhadap benda-benda. Suatu hari sebuah mobil baru akan ketinggalan zaman; karena sebab-sebab alamiah, tanah pertanian yang subur menjadi gersang; seorang yang cantik kehilangan semua pesonanya ketika ia menua. Di atas segalanya, setiap manusia di muka bumi akan mati, meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya. Namun meskipun terdapat fakta-fakta yang tak terbantahkan ini, manusia menunjukkan kecintaan yang tak terhingga kepada harta benda.
Mereka yang menghabiskan hidupnya dalam kecintaan buta akan harta benda duniawi, akan menyadari bahwa mereka menghabiskan seluruh hidup mereka mengejar ilusi. Mereka akan menyadari keadaan yang menggelikan ini setelah mereka mati. Pada saat itulah akan tampak jelas bagi mereka tujuan akhir kehidupan, yakni menjadi hamba Allah yang ikhlas.
Di dalam Al Quran, Allah cukup banyak menyebutkan "keterikatan yang dalam" ini di dalam ayat-ayat berikut:
Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS. Ali 'Imran, 3: 14)
Semua hal di dunia ini kekayaan, pasangan, anak-anak, dan perdagangan menyibukkan banyak orang di dalam hidupnya. Namun, jika mereka dapat memahami kekuasaan dan keagungan Allah, mereka akan paham bahwa semua hal yang diberikan kepada manusia ini hanyalah sarana untuk memperoleh keridhaan-Nya. Dengan cara ini, mereka juga akan memahami bahwa tujuan utama manusia adalah menjadi hamba-Nya. Sedangkan, mereka yang tidak benar-benar beriman kepada Allah memiliki pandangan yang kabur dan pemahaman yang dangkal akan keberadaan mereka karena ambisi-ambisi duniawi mereka. Mereka mengharapkan hal-hal besar dari kehidupan yang cacat ini.
Mengejutkan bahwa manusia melupakan semua tentang Hari Akhirat, tempat tinggal yang sempurna dan mulia baginya, dan merasa puas dengan dunia ini. Kalaupun seseorang tidak memiliki keimanan yang sempurna, adanya "kemungkinan" kecil tentang Hari Akhirat seharusnya membuatnya, paling tidak, bersikap lebih hati-hati.
Orang-orang yang beriman, sebaliknya sangat menyadari bahwa hal ini, sama sekali bukanlah "kemungkinan", namun kenyataan. Karena itulah hidup mereka bertujuan untuk menghapuskan kemungkinan sekecil-kecilnya dari terjerumus ke dalam neraka; seluruh upaya mereka dimaksudkan untuk mencapai surga. Mereka sangat paham pahitnya kekecewaan di Hari Akhirat setelah kehidupan yang habis tersia-sia. Mereka juga menyadari bahwa tumpukan kekayaan, seperti rekening bank yang melimpah, mobil-mobil dan kediaman yang mewah, tidak akan diterima sebagai tebusan bagi azab yang kekal. Lebih-lebih lagi, tak seorang pun keluarga atau teman akrab seseorang akan datang untuk menyelamatkannya dari kesedihan abadi ini. Sebaliknya, setiap jiwa akan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Namun walau begitu, kebanyakan orang mengira bahwa kehidupan ini tidak berlanjut ke Hari Akhirat, dan dengan serakah merengkuh dunia ini. Allah menyebutkan ini di dalam ayat berikut:
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. (QS. At-Takaatsur: 1-2)
Godaan kepada harta benda duniawi, tak diragukan lagi, merupakan rahasia dari ujian. Allah menciptakan semua hal yang ia limpahkan dengan sangat indah, namun juga singkat usianya. Hal ini hanyalah untuk membuat manusia berpikir dan membandingkan hal-hal yang diberikan kepada mereka di dunia ini dengan Hari Akhir. Inilah "rahasia" yang kita bicarakan. Kehidupan di dunia memang indah; begitu penuh warna dan atraktif, mengungkapkan keagungan penciptaan oleh Allah. Tak diragukan, manusia menginginkan hidup yang baik dan menyenangkan dan, tentu saja, memohon kepada Allah untuk menjalani hidup seperti itu. Namun ini tidak pernah dapat menjadi tujuan akhir, karena tujuan seperti itu dalam hidup tidaklah lebih penting daripada meraih keridhaan Allah dan surga. Karenanya, manusia hendaknya tidak boleh pernah melupakan tujuan utamanya, sembari menikmati segala karunia ini. Allah memperingatkan manusia tentang hal ini di dalam ayat berikut:
Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. Al Qashas, 28: 60)
Kesukaan yang sangat akan benda-benda duniawi adalah salah satu penyebab manusia melupakan Hari Akhir. Ada hal lain yang harus diingat: manusia tidak pernah menemukan kebahagiaan sejati di dalam benda-benda duniawi yang ia rengkuh dengan serakah ataupun di dalam perbekalan yang ia upayakan mati-matian untuk miliki. Ini karena nafsu yang kuat susah dipuaskan. Tidak peduli betapa banyak yang dimilikinya, nafsu manusia tidak pernah berakhir. Ia pasti selalu mencari yang lebih banyak dan lebih baik. Karena itulah manusia tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kepuasan di dunia ini.
Adakah Kekayaan yang Sebenarnya di Dunia Ini?
Kebanyakan manusia mengira mereka dapat memperoleh kehidupan yang sempurna begitu mereka bertekad untuk itu. Lebih jauh lagi, mereka mengira bahwa kualitas hidup yang tinggi bisa dicapai dengan memiliki lebih banyak uang, standar hidup yang lebih baik, keluarga yang bahagia, dan kedudukan yang terhormat di masyarakat. Namun, orang-orang yang mencurahkan seluruh waktu mereka untuk memperoleh hal-hal se-perti itu jelas-jelas melakukan kesalahan. Pertama, mereka hanya berjuang untuk meraih ketenteraman dan kebahagiaan di dunia ini dan sama sekali melupakan Hari Akhirat. Walaupun terdapat fakta bahwa tujuan utama mereka adalah menjadi hamba Allah di dunia ini dan mensyukuri apa-apa yang dianugerahkan-Nya, mereka menghabiskan hidup untuk memenuhi berbagai hasrat mereka yang sia-sia.
Allah memberitahukan betapa remeh dan menipunya daya tarik dunia di dalam Al Quran:
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagum-kan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al Hadiid, 57: 20)
Tidak mengimani Hari Akhirat atau menganggapnya sebagai kemungkinan yang jauh adalah kesalahan pokok dari banyak orang. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan pernah kehilangan kekayaannya. Kesombongan membuat mereka menghindar dari ketundukan kepada Allah dan memalingkan wajah mereka dari janji-Nya. Akhir dari orang-orang seperti ini dikisahkan sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus, 10: 7-8)
Sejarah telah menyaksikan banyak orang semacam ini. Para raja, kaisar, dan fir’aun menganggap mereka dapat memperoleh keabadian dengan kekayaan mereka yang hebat; pemikiran bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada kekayaan dan kekuasaan mungkin tidak pernah terlintas pada mereka. Mentalitas yang cacat ini menyesatkan banyak orang, yang sangat terkesan oleh kekayaan dan kekuasaan mereka. Namun, semua orang yang tidak beriman ini menghadapi akhir yang mengerikan. Di dalam Al Quran, Allah memberitahukan tentang mereka:
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (QS. Al Mu'minuun, 23: 55-56)
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (QS. At-Taubah, 9: 55)
Orang-orang ini sebenarnya telah mengabaikan sebuah poin yang sa-ngat menentukan. Semua kekayaan dan segala sesuatu yang dianggap penting adalah milik Allah. Allah, Pemilik sebenarnya segala kekayaan, memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagai balasannya, manusia diharapkan untuk bersyukur kepada Allah dan menjadi hamba-Nya yang taat. Hendaklah diingat bahwa tidak seorang pun dapat menghalangi pemberian Allah kepada seseorang. Sebaliknya, begitu kekayaan seseorang dicabut, tiada selain Allah yang kuasa mencegahnya. Dengan inilah, Allah menguji manusia. Namun, orang-orang yang melupakan Pencipta mereka dan hari penghisaban tidak mengindahkan ini:
Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (hanya sedikit) . (QS. Ar-Ra'd, 13: 26)

Pentingkah Kekayaan dan Kedudukan di Dunia?

Kebanyakan orang percaya bahwa kehidupan yang benar-benar tenteram dapat dicapai di dunia ini. Mentalitas ini menganjurkan bahwa seseorang dapat menemukan kebahagiaan sejati dan mendapatkan penghormatan dari orang lain melalui kekayaan. Mentalitas serupa meyakini bahwa begitu terpenuhi, kesenangan ini akan berlangsung hingga ke akhir dunia. Namun, kebenarannya justru berlawanan. Manusia tidak pernah dapat mencapai hidup impiannya dengan melupakan Penciptanya dan hari penghisaban. Hal ini karena pada saat dia mewujudkan satu sasaran, dia mulai memikirkan yang lainnya. Tidak puas dengan banyaknya yang diperoleh, ia menerjuni bisnis yang baru. Dia tidak merasakan kepuasan apa pun dari flatnya yang baru begitu ia melihat rumah tetangganya yang didekor penuh seni, atau bisa juga, karena dekorasi rumahnya adalah gaya tahun lalu, yang sudah ketinggalan zaman, mendorong ia untuk mendekor ulang. Begitu pula, karena gaya dan cita rasa berubah secara drastis, dia mengimpikan pakaian-pakaian yang lebih mutakhir karena ia tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Psikologi orang yang tidak beriman dijelaskan dengan gamblang dalam ayat berikut:
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Ku lapangkan baginya dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. (QS. Al Mudatstsir, 74: 11-15)
Seseorang yang berpikiran sehat dan berpemahaman jelas akan mengakui bahwa para pemilik rumah besar dengan kamar yang lebih banyak dari penghuninya, mobil-mobil mewah, atau lemari pakaian besar hanya mampu menggunakan sebagian terbatas dari harta bendanya. Jika Anda memiliki rumah terbesar di dunia, apakah mungkin menikmati setiap kamar pada saat bersamaan? Begitu pula, jika Anda mempunyai sebuah lemari pakaian berisi berbagai busana yang mengikuti mode terakhir, berapa banyak yang dapat Anda kenakan dalam sehari? Pemilik rumah besar dengan lusinan kamar, sebagai suatu entitas yang dibatasi ruang dan waktu hanya dapat tinggal di sebuah ruangan pada suatu waktu. Jika Anda ditawari semua makanan lezat dari restoran terkenal, lambung Anda hanya akan menampung sedikit; jika Anda berusaha memaksakan lebih banyak, hasilnya lebih merupakan siksaan, bukannya kesenangan.
Daftar ini dapat diperpanjang lagi, namun fakta yang paling mengejutkan adalah bahwa manusia ditakdirkan hidup pada masa yang sangat terbatas untuk menikmati kemewahan dari harta bendanya. Manusia dengan cepat menuju akhir hidupnya, namun dia jarang sekali mengakui ini semasa hidupnya dan menganggap kekayaannya akan memberinya kebahagiaan abadi, seperti disebutkan ayat berikut:
Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (QS. Al Humazah, 104: 3)
Manusia dibutakan oleh kekuasaan hartanya sehingga ketika ia menghadapi akhir yang menakutkan di hari penghisaban, dia masih akan berusaha melepaskan diri dari azab dengan menawarkan hartanya:
Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya kemudian tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak. (QS. Al Ma'aarij, 70: 11-15)
Walau demikian, sebagian manusia menyadari bahwa kekayaan, kemakmuran, dan harta yang banyak berada di bawah pengawasan Allah. Dengan demikian, mereka sangat menyadari bahwa jabatan dan status adalah hal yang menertawakan. Hanya orang-orang inilah yang benar-benar memahami bahwa harta benda ini tidak akan menyelamatkan mereka di hari akhir. Karena itu, mereka tidak berani memburu barang berharga di dunia ini. Menyombongkan diri bukanlah ciri yang akan Anda temui dari orang-orang yang sederhana seperti ini. Karena tidak pernah melupakan keberadaan Allah Yang Mahakuasa, mereka mensyukuri apa-apa yang Dia berikan. Sebagai balasan, Allah menjanjikan kehidupan yang terhormat dan menyenangkan bagi mereka. Orang-orang yang memercayai Allah dan menjadikan pengabdian kepada Allah sebagai tujuan akhir hidup mereka menyadari bahwa mereka hanya dapat menikmati benda-benda duniawi untuk jangka waktu yang terbatas dan bahwa benda-benda duniawi tidak sebanding dengan kelimpahan abadi yang dijanjikan. Kekayaan tidak pernah membuat orang-orang seperti itu terikat dengan kehidupan ini. Sebaliknya, membuat mereka semakin bersyukur dan dekat kepada Allah. Mereka menyikapi setiap orang dan setiap masalah dengan adil, dan mencoba, dengan apa yang telah Allah berikan, untuk mencapai keridhaan-Nya. Bukannya mencari kesenangan dari kekayaan di dunia ini, mereka berupaya memperoleh nilai-nilai qurani yang diharapkan dari mereka, karena benar-benar menyadari berartinya kedudukan dan pujian di hadapan Allah. Nabi Sulaiman memberikan teladan bagi semua orang sebagai seorang mukmin terhormat yang menunjukkan sifat-sifat itu di dalam hidupnya. Memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar, Sulaiman dengan jelas menyatakan mengapa dia mengejar kekayaan ini:
Maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan." (QS. Shaad, 38: 32)
Kegagalan memahami mengapa harta benda duniawi di dunia ini membuat manusia melupakan bahwa mereka hanya akan mampu menggunakan harta miliknya selama 60-70 tahun, jika mereka ditakdirkan hidup selama itu, dan selanjutnya meninggalkan rumah, mobil-mobil, dan anak-anak mereka. Mereka tidak memikirkan bahwa mereka akan dikuburkan seorang diri. Sepanjang hidup mereka mendambakan kekayaan yang tak akan pernah dapat mereka nikmati.
Namun, mereka yang menganggap kekayaan sebagai penyelamat dan mengabaikan keberadaan Pencipta mereka menanggungkan kesedihan yang pahit baik di dunia ini maupun di hari akhirat.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka. (QS. Ali 'Imran, 3: 10)
Al Quran telah memberitakan akhir dari mereka yang menunjukkan keserakahan yang tak pernah puas akan harta benda:
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya!
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah,
Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
Api Allah yang dinyalakan, yang sampai ke hati.
Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
(sedang mereka) diikat pada tiang-tiang panjang. (Surat al-Humazah, 104: 2-9)

Kekayaan sejati dimiliki oleh orang-orang beriman yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan akan harta benda di dunia ini dan memercayai sebenar-benarnya bahwa hanya Allah-lah yang memberikan segala sesuatu kepada manusia. Merekalah sebenarnya orang-orang kaya di dunia ini; mereka tidak membatasi hidup mereka sekadar 50-60 tahun. Orang-orang yang beriman melakukan perdagangan terbaik yakni membeli surga dengan hidup mereka. Mereka lebih menyukai kekayaan yang kekal dibandingkan yang sementara. Allah memberitahu kita tentang ini di dalam ayat berikut:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. Janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah, 9: 111)
Karena mengabaikan fakta-fakta ini, mereka yang "terikat" dengan dunia ini akan segera memahami dengan jelas siapa yang berada di jalan yang benar.

Pernikahan

Pernikahan dianggap sebagai titik balik penting di dalam kehidupan seseorang. Setiap pemuda atau pemudi berharap bertemu dengan idamannya. Pasangan yang baik menjadi tujuan utama dalam hidup dan orang-orang muda nyaris "terindoktrinasi" akan pentingnya menemukan pasangan yang baik bagi dirinya. Namun pada dasarnya, hubungan antara pria dan wanita tidak mempunyai landasan yang kokoh di masyarakat jahiliyah yakni masyarakat yang di mana anggotanya tidak menerima jalan hidup yang qurani. "Persahabatan" adalah semata hubungan romantis di mana kedua jenis kelamin mencari kepuasan emosional. Sedangkan, pernikahan biasanya didasarkan pada keuntungan materiil timbal balik. Banyak wanita berupaya mendapatkan "pria yang sukses" karena mengharapkan standar kehidupan yang tinggi. Dengan tujuan semacam itu, seorang gadis muda dapat dengan mudah menerima seorang yang tidak ia cintai sebagai pasangan seumur hidup. Sebaliknya, yang dicari seorang pria pada seorang wanita seringkali adalah "wajah yang cantik".

Namun sudut pandang masyarakat jahiliyah ini mengabaikan sebuah fakta teramat penting: semua nilai kebendaan pada akhirnya pasti tumpas. Allah dapat menarik kembali kekayaan seseorang dengan seketika. Begitu pula, hanya perlu beberapa detik untuk kehilangan wajah yang cantik. Misalnya, jika kita setiap hari pergi dan pulang bekerja di kota besar, kapan saja kita dapat terkena kecelakaan yang mungkin meninggalkan bekas luka yang tetap dan mengerikan di wajah. Sementara itu, waktu menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki terhadap kesehatan, kekuatan, dan kecantikan kita. Di bawah kondisi yang tidak dapat diramalkan seperti itu, apa konsekuensi dari sistem yang murni berlandaskan nilai-nilai materialistik? Misalnya, bayangkan seorang pria yang menikahi seorang wanita hanya karena dia terkesan akan parasnya yang cantik. Apa yang akan dipikirkannya jika wajah wanita itu rusak parah karena kecelakaan? Akankah ia meninggalkan wanita itu ketika mulai muncul keriput di wajahnya? Jawabannya tidak diragukan akan mengungkapkan dasar pemikiran materialistik yang tidak masuk akal.
Sebuah pernikahan menjadi berharga tatkala dimaksudkan semata untuk mencapai keridhaan Allah. Jika tidak, pernikahan akan menjadi beban baik di dunia ini maupun di alam setelahnya. Jika pun tidak di dunia ini, manusia pada akhirnya akan memahami di hari akhirat, bahwa ini bukanlah jalan yang patut bagi jiwa manusia. Namun, saat itu sudah terlambat; pada hari penghisaban, dia akan menjadikan istrinya, yang dekat dengannya di dunia ini, sebagai tebusan bagi keselamatan dirinya. Kengerian pada hari itu akan membuat semua hubungan di dunia ini kehilangan arti. Allah memberikan penuturan rinci tentang hubungan antara anggota-anggota keluarga pada hari akhirat pada ayat berikut:
Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya. (QS. Al Ma'aarij: 11-13)
Jelaslah dari ayat ini bahwa manusia tidak lagi akan mengikatkan kepentingan apa pun kepada wanita, teman, saudara lelaki atau perempuan, pada hari penghisaban. Dalam upaya mereka yang mati-matian untuk diselamatkan, setiap orang sudi menjadikan keluarga dekat atau kerabatnya sebagai tebusan bagi keselamatan mereka sendiri. Lebih-lebih lagi, orang-orang ini akan kutuk-mengutuk karena mereka tidak pernah saling mengingatkan tentang akhir mengerikan seperti itu. Di dalam Al Quran, diceritakan tentang Abu Lahab yang menerima azab selama-lamanya di dalam neraka bersama istrinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. Al Lahab, 111: 1-5)
Jenis pernikahan yang diterima Allah adalah yang didasarkan pada kriteria yang sama sekali berbeda. Berlawanan dengan pernikahan yang lazim di masyarakat jahiliyah, di mana orang-orang tidak mengindahkan akan memperoleh keridhaan Allah, kriterianya bukanlah uang, ketenaran, atau kecantikan, namun sebuah pernikahan ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah. Bagi orang-orang mukmin, satu-satunya kriteria adalah ketakwaan, yakni 'menjauhi segala yang dilarang, melakukan segala yang disuruh, dan takut kepada Allah. Begitu pula, seorang mukmin hanya dapat menikahi seseorang yang menunjukkan ketaatan yang penuh kepada Allah. Orang-orang mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan di dalam pernikahan ini. Berikut adalah ayat yang bersangkut paut dengan ini:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ruum, 30: 21)
Dengan ketakwaan sebagai ikatan satu-satunya, orang-orang mukmin pastilah akan memperoleh kehidupan yang menyenangkan di Hari Akhirat. Tatkala mereka saling memperingatkan akan kebajikan dan saling membimbing ke surga sepanjang hidup mereka, mereka juga akan menjadi teman dekat selamanya. Hubungan mereka adalah seperti yang digambarkan berikut ini:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah, 9: 71)

Anak-Anak

Sebuah ambisi terbesar manusia adalah meninggalkan anak-anak yang akan membawa nama keluarga ke masa mendatang. Namun, jika tidak dimaksudkan untuk mencari ridha Allah, ambisi ini mungkin saja menjadi faktor yang menjauhkan manusia dari jalan Allah. Seorang diuji dengan anak-anaknya; dalam artian, ia diharapkan untuk memperlakukan mereka dengan cara yang dapat meraih ridha Allah.
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Ath-Thaghabun, 64: 15)
Dalam ayat tersebut, penggunaan kata 'ujian' sangat penting. Bagi banyak orang, mempunyai keturunan adalah salah satu tujuan terpenting dalam hidup. Namun, di dalam logika Qurani, seorang mukmin menginginkan keturunan untuk memperoleh keridhaan Allah semata. Sebaliknya, jika hanya demi memuaskan keinginan seseorang akan keturunan, mempunyai anak hanya akan bermakna menyekutukan Allah. Contoh dari mereka yang melupakan tujuan mereka yang sebenarnya dan menjadikan anak-anak mereka sebagai "tujuan akhir dalam kehidupan" diberikan di dalam Al Quran:
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Apakah mereka mempersekutukan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. (QS. Al A'raaf, 7:189-191)
Orang-orang mukmin memohon keturunan dari Allah hanya untuk keridhaan-Nya. Tatkala memohon keturunan, para nabi di dalam Al Quran hanya bermaksud untuk memperoleh keridhaan Allah. Contohnya adalah istri 'Imran:
Ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Karena itu terimalah itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Ali 'Imran, 3: 35)
Doa nabi Ibrahim, juga memberikan teladan kepada semua orang mukmin:
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah, 2: 128)
Di dalam ayat tersebut, diungkapkan bahwa mempunyai anak, jika dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah, adalah suatu ibadah kepada Allah. Namun, jika tujuan sebenarnya adalah selain dari mencari rahmat Allah, maka manusia dapat ditimpa konsekuensi yang menyedihkan baik di dunia ini maupun di akhirat. Orang-orang mukmin memahami anak-anak mereka sebagai pribadi yang dipercayakan Allah kepada mereka. Oleh karena itu, mereka tidak menyombongkan diri atas rupa, sukses, atau kecerdasan anak-anak mereka, karena mengetahui bahwa Allah yang memberikan hal-hal itu kepada mereka. Kesombongan seperti itu adalah perilaku yang sesat.
Pendekatan semacam itu punya konsekuensi yang pedih di hari akhirat. Pada hari penghisaban, seorang manusia akan sudi menjadikan anak, istri, dan anggota keluarganya sebagai tebusan bagi keselamatan abadi. Hasrat seseorang untuk menghindari azab yang mengerikan membuatnya seketika meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Namun, pada hari penghisaban tidak akan ada harapan untuk melepaskan diri dari siksaan abadi dengan cara itu.
Bagi masyarakat jahiliyah, anak-anak menjadi sumber banyak masalah tidak saja di hari akhirat tetapi juga di dunia ini. Sejak saat kelahiran, mendidik anak membawa tanggung jawab yang membebani bagi orang tua. Pengalaman sulit terutama dialami ibu hamil. Pertama, semenjak hari dia menerima berita kehadiran bayi, dia harus mengubah gaya hidup secara total. Dia harus menata ulang prioritas-prioritasnya. Dalam hal ini kebutuhan-kebutuhan bayi di rahimnya harus diutamakan; kebiasaan makannya, cara tidurnya, singkatnya keseluruhan kehidupan pribadinya berubah sama sekali. Menjelang akhir kehamilan, melakukan pekerjaan sehari-hari dan gerakan tubuh yang paling mudah pun nyaris tidak mungkin bagi si ibu. Namun, kesulitan utama dimulai setelah kelahiran. Si ibu menghabiskan harinya mengurus bayi. Si bayi biasanya hanya memberikan sedikit waktu bagi ibunya untuk berbagai kebutuhan dan tugas pribadinya. Karenanya, si ibu menanti-nantikan bayinya cukup besar untuk mengurus diri sendiri. Sementara itu, si ibu tidak menyadari betapa cepatnya tahun-tahun berlalu. Jika tidak dilakukan untuk keridhaan Allah, waktu yang begitu panjang bisa dianggap sebagai suatu ibadah. Namun, bagi anggota masyarakat jahiliyah, tahun-tahun ini tidak lebih dari kesulitan yang tak ada ujungnya.
Para orang tua dalam masyarakat jahiliyah biasanya merasa kecewa ketika membina keluarganya. Karena dibesarkan sebagai anggota dari masyarakat yang jahiliyah, anak-anak akan mengembangkan suatu kepribadian yang egois. Di bawah tuntunan berbagai dorongan dan motif yang egois, dia menunjukkan minat terhadap kebutuhan orang tuanya hanya jika hal itu menguntungkan dirinya. Orang tuanya, sekarang sudah renta dan mengalami masalah-masalah ketuaan, hanya memahami fakta ini di akhir hidupnya. Sebenarnya, di tahun-tahun awal menjadi orang tua, mereka membayangkan bahwa ketika dewasa, anak-anak akan menjadi penopang utama mereka di kala kesulitan yang tak terduga. Akan tetapi sebaliknya dari harapan ini, mereka barangkali menemukan diri mereka di rumah jompo.
Di dalam Al Quran, Allah menempatkan manusia di dalam sebuah bingkai, di mana orang mukmin harus berlaku penuh tanggung jawab terhadap orang tua mereka. Allah mewajibkan menghormati dan mengasihi orang tua, terutama di usia tua:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS. Al Isra', 17: 23-24)

Sebagaimana kita pahami dari ayat tersebut, mendidik seorang anak di bawah naungan nilai qurani adalah sesuatu yang mulia bagi orang-orang mukmin. Sedangkan, jika orang-orang tidak beriman yang memaksakan mentalitas dari masyarakat jahiliyah kepada anak-anak mereka, maka mereka hanya akan mendapatkan kegagalan baik di dunia ini maupun di akhirat. Adapun orang-orang beriman, mereka tetap mendapatkan keridhaan Allah walaupun si anak tidak mengikuti ajaran Qurani yang mereka berikan. Orang tua hanya bertanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai qurani dan mempercayakan kepada Allah. Manusia tidak memiliki pelindung dan penolong selain Dia.
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (QS. 'Abasa, 80: 37)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, manusia hanyalah diciptakan untuk mengabdi kepada Penciptanya. Segala sesuatu di sekitarnya, seluruh kehidupannya adalah semata untuk mengujinya. Setelah kematian, seseorang hanya akan dihisab menurut amalnya. Sebagai ganjaran bagi amalnya, dia akan dimasukkan ke dalam surga atau disiksa di dalam neraka. Pendeknya, kekayaan, kecantikan, atau anak-anak tidaklah bermanfaat, tetapi ketakwaan, "rasa takut terhadap Allah", itulah yang bermanfaat.
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal. (QS. Saba ', 34: 37)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Ali 'Imran, 3: 116)
Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikit pun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Mujadilah, 58: 17)
xx

MALAPETAKA DAN BENCANA ALAM

Dunia ini bukanlah tempat yang tenang dan tenteram. Kita semua rentan terhadap berbagai ancaman alam, baik dari luar maupun dari dalam. Meteor dan asteroid misalnya, hanyalah sebagian kecil yang mungkin menjadi ancaman terhadap bumi dari luar angkasa. Adapun bumi yang tampaknya kokoh, bagian dalamnya memiliki inti dari berbagai elemen cair. Tentu tidak berlebihan bila bagian yang tak terlihat mata ini dinamai "inti yang menyala". Memang ada pula atmosfer di sekeliling bumi, yang merupakan "perisai" terhadap ancaman-ancaman eksternal. Namun, tak ada satu pun bagian dari bumi yang kebal terhadap dampak kekuatan atmosfer seperti hujan badai atau angin topan.
Berbagai bencana alam dapat menyerang kapan saja, menyebabkan kehilangan harta dan nyawa. Gempa bumi, halilintar, banjir, kebakaran hutan, hujan asam, dan gelombang pasang, yang umum disebut bencana "alam", memiliki intensitas dan akibat yang berbeda-beda. Kesamaan dari semua bencana tersebut adalah mereka mampu dalam seketika membuat sebuah kota , berikut seluruh penghuninya, tinggal reruntuhan belaka. Yang paling penting, tak ada manusia yang memiliki kekuatan untuk melawan ataupun mencegah bencana alam ini.
Kehancuran besar merupakan peninggalan dari malapetaka di semua penjuru planet ini. Sekalipun begitu, suatu bencana selalu berpengaruh hanya pada wilayah tertentu, berkat keseimbangan alam yang rumit yang diciptakan Allah. Ada perlindungan penting di bumi untuk semua makhluk hidup, termasuk manusia. Walau begitu, kemungkinan terjadinya bencana alam yang menghancurkan selalu mengintai. Allah menciptakan bencana-bencana alam itu untuk memperlihatkan pada kita betapa terkadang tempat hidup kita sangat tidak aman. Gejolak alam ini merupakan peringatan kepada seluruh umat manusia bahwa kita tak mampu mengendalikan apa pun di muka bumi ini. Demikian juga, setiap bencana alam dimaksudkan untuk mengingatkan kita pada kelemahan yang sudah melekat pada diri kita. Semua ini tentunya peringatan bagi siapa yang dapat merenungkan arti peristiwa-peristiwa itu dan mengambil pelajaran darinya.
Apa lagi yang harus dipelajari manusia dari bencana alam?
Dunia ini diciptakan khusus bagi manusia. Alasan mengapa manusia diciptakan, telah jelas sekali diterangkan dalam ayat ini:
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya (Singgasana-Nya) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Huud, 11: 7)
"Latar" dari "ujian" ini sungguh luas, dan setiap kejadian merupakan bagian dari latar yang rumit itu. Lebih jauh lagi, tak ada fenomena alam yang terjadi tanpa sebab; semua memiliki penjelasan ilmiah. Misalnya, kekuatan gravitasi bumi membuat kita tak melayang ke angkasa; hujan jatuh saat uap air mencapai tingkat jenuh tertentu.
Hubungan sebab akibat ini juga berlaku bagi kematian, kecelakaan atau penyakit. Banyak hal yang menyebabkan mengapa seorang manusia mati, sakit, atau mengalami kecelakaan. Namun, yang terpenting bukanlah banyaknya penyebab, melainkan "ketahanujian" sistem di mana sebab-akibat ini berlangsung. Satu aspek khusus yang penting dalam sistem ini: setiap peristiwa terjadi dengan cara yang dapat dimengerti manusia. Allah memperingatkan manusia melalui bencana alam. Gempa bumi, misalnya, menyebabkan ribuan wanita dan anak-anak mati, dan lebih banyak lagi yang terluka. Mereka yang tidak memedulikan peringatan Allah cenderung menyebut kejadian seperti ini sebagai fenomena "alam" dan tak mampu memahami bahwa Allah menciptakannya untuk tujuan tertentu. Mari kita berpikir sejenak: apa yang akan terjadi bila yang mati akibat suatu gempa bumi hanyalah mereka yang berdosa pada Allah? Bila demikian, dasar yang tepat untuk "ujian" bagi umat manusia tidak akan tegak. Itulah sebabnya Allah menciptakan masing-masing fenomena dengan latar "alam". Hanya mereka yang sadar akan keberadaan Allah dan memiliki pemahaman mendalam akan ciptaan-Nyalah yang mengerti alasan ilahiah di balik tampilan "alam" ini.
Dalam ayat "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati; Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan" (QS. Al Anbiyaa', 21: 35), Allah mengatakan bahwa Dia menguji manusia baik melalui kejadian-kejadian yang baik maupun buruk.
Banyaknya orang yang menjadi korban bencana merupakan teka-teki ujian itu. Manusia harus selalu ingat bahwa Allah adalah Hakim Yang Mahatahu dan "diberi keputusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil." (QS. Az-Zumar, 39: 75)
Semua peristiwa yang terjadi pada seseorang dalam hidupnya adalah bagian dari ujian tersebut. Mereka yang benar-benar beriman akan memahami inti dari teka-teki itu. Kapan pun musibah menimpa mereka, mereka berpaling kepada Allah dan bertobat. Mereka adalah hamba Allah dan meyakini janji-Nya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqa-rah, 2: 155-157)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, orang yang beriman dan orang yang tidak beriman diuji dengan berbagai cara: terkadang dengan bencana alam, atau sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, terserang penyakit atau kecelakaan. Musibah seperti itu terjadi pada individu atau sekelompok masyarakat, dan menyebabkan kerugian materi serta penderitaan batin. Bisa saja seorang yang kaya menjadi bangkrut, seorang gadis cantik mengalami luka berat di wajahnya, atau sebuah kota luluh lantak akibat gempa bumi. Hal ini memperlihatkan bagaimana setiap kejadian dapat mengubah hidup kita.
Manusia harus mampu mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian ini. Sesungguhnya, Allah tidak menciptakan apa pun tanpa tujuan; setiap bencana merupakan peringatan bagi umat manusia, dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari pembangkangan mereka. Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa tak ada yang terjadi di muka bumi ini tanpa izin-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghaabun, 64: 11)
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali 'Imran, 3: 145)
Pelajaran lain yang harus diambil dari bencana alam adalah bahwa manusia yang menganggap dirinya memiliki kekuatan di atas muka bumi, menyadari bahwa ia sesungguhnya lemah dan benar-benar tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi bencana yang terjadi dengan seketika atas kehendak Allah. Manusia tak dapat menolong dirinya sendiri ataupun orang lain. Tentu saja Allah-lah yang Mahakuasa. Ini dinyatakan dalam ayat berikut:
Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Menguasai atas segala sesuatu. (QS. An'aam, 6: 17)
Dalam bab ini, akan diberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai berbagai macam bencana yang mempengaruhi bumi. Tujuannya adalah untuk mengingatkan manusia bahwa dunia ini bukanlah tempat untuk dicintai dengan membuta. Bencana-bencana alam ini menunjukkan betapa kita sangat membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah. Ketergantungan ini merupakan bukti nyata bahwa manusia tak berdaya di hadapan Allah, sebagaimana diungkapkan dalam ayat: "dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah." (QS. Al 'Ankabuut, 29: 22)

Gempa Bumi

Gempa bumi adalah kekuatan alam di bumi yang paling menghancurkan. Jumlah kematian terbesar terjadi saat gempa bumi. Penelitian mengungkapkan bahwa setiap dua menit suatu tempat di permukaan bumi mengalami keretakan. Berdasarkan statistik, bumi bergoncang jutaan kali dalam setahun. Rata-rata, dari jumlah jutaan itu, intensitas 300 ribu gempa tergolong gempa minor; getarannya tak terasa dan tak menyebabkan kerusakan sama sekali. Sedangkan, dua puluh gempa lainnya merupakan gempa yang sangat kuat yang menggoncangkan bumi. Namun, karena kerap kali tidak terjadi di wilayah padat penduduk, gempa bumi jenis ini tidak memakan banyak korban jiwa dan hanya menyebabkan sedikit kerugian ekonomis. Dari gempa-gempa ini, hanya lima yang menghancurkan gedung-gedung menjadi tumpukan puing-puing.
Informasi ini memperlihatkan bahwa manusia tidak sering menghadapi gempa bumi. Jelas, ini merupakan perlindungan khusus dari Allah bagi manusia terhadap bencana alam.
Di zaman kita, hanya sebuah kota atau suatu daerah yang menjadi korban gempa bumi hebat. Namun, dengan kehendak Allah, sebuah gempa bumi yang merusak seluruh bumi ini bisa terjadi kapan saja. Goncangan dahsyat seperti ini mampu mengakhiri kehidupan di muka bumi. Struktur bumi sangat rentan terhadap gempa; gerakan atau retakan yang tiba-tiba terjadi di kerak bumi ataupun lapisan di atasnya akan mengakibatkan malapetaka yang tak terhindarkan lagi.
Gempa bumi tidak memiliki hubungan dengan jenis tanah yang menguatkan efek gelombang seismik yang melintasinya. Gempa bumi tetap mungkin terjadi bahkan saat tak ada kondisi alam penyebab gempa. Atas kehendak Allah, sebuah gempa bumi dapat terjadi kapan saja. Namun, Allah menciptakan dengan khusus ketidak-kokohan dan ketidak-stabilan di beberapa bagian muka bumi. Ini untuk mengingatkan manusia bahwa, kapan pun juga, peristiwa yang tak diharapkan dapat membuat hidup mereka dalam bahaya. Dalam Al Quran, Allah memperingatkan manusia pada bencana yang mungkin terjadi:
Maka apakah orang-orang yang berbuat makar yang jahat itu merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari? (QS. An-Nahl: 45)
Pada titik ini, akan sangat bermanfaat untuk mengingat sebuah gempa bumi dahsyat, yang terjadi di abad ke-20.
Gempa bumi yang menggoncangkan bumi hanya dalam beberapa detik ini dapat terjadi berulang kali selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Ini tentu saja mudah bagi Allah. Bagaimanapun, dengan rahmat-Nya, Allah melindungi manusia dan dengan bencana ini mengingatkan ia selamanya bahwa ia tak memiliki kekuasaan apa pun dalam hidupnya.

Teknologi yang Dikalahkan: Kobe

Tingkat kemajuan ilmu dan teknologi masa kini membuat manusia merasa bahwa mereka dapat menguasai alam. Meski demikian, mereka yang mempercayai pikiran semacam ini mungkin akan segera merasa kecewa. Teknologi adalah alat yang disediakan Allah untuk melayani manusia dan sepenuhnya berada dalam kekuasaan-Nya. Berbagai kejadian menunjukkan bahwa teknologi tercanggih sekalipun tak mampu mengendalikan alam.
Sebagai contoh, meski telah ada "teknologi antigempa" yang dikembangkan para ilmuwan Jepang, Kobe tetap menjadi korban dari kerusakan luas yang disebabkan oleh 20 detik guncangan hebat selama gempa tahun 1995. Struktur antigempa terkuat yang dibangun untuk menahan guncangan hebat ternyata runtuh begitu saja pada gempa berkekuatan 6,9 skala Richter. Selama tiga dasawarsa sebelumnya, pemerintah Jepang telah menanamkan 40 trilyun dolar dalam riset akademis untuk mengembangkan sistem peringatan atas gempa. Namun, segala upaya ini sama sekali tidak membawa hasil yang konklusif. Semakin mendekati pergantian milenium, para ilmuwan masih belum mampu merakit sistem peringatan yang mampu mengurangi dampak destruktif peristiwa seismik yang berbahaya. Kobe merupakan sebuah contoh terkini, di antara banyak lainnya, yang menunjukkan betapa rentan sebuah kota industri modern terhadap pola tak terduga dari serangan gempa.
Publik diyakinkan bahwa teknologi modern yang dikembangkan untuk memprediksi gempa besar akan menyelamatkan mereka dari kehancuran total. Namun, setelah bencana yang mereduksi Kobe menjadi tumpukan puing, jelaslah bahwa belum ada teknologi untuk memperingatkan masyarakat umum terhadap bahaya ini. Juga jelaslah bahwa apa yang disebut "struktur antigempa" tidak memiliki ketahanan apa-apa terhadap gempa yang episentrumnya berada 15 mil di barat daya pusat kota Kobe.
Wilayah yang terkena dampak gempa bumi termasuk kota-kota padat, Kobe dan Osaka. Karena itulah terjadi kehancuran yang mengerikan, membunuh 5.200 orang dan melukai 300.000 lainnya. Total kerugian diperkirakan 200 miliar dolar 2
Pada bulan Februari 1988, badai topan menyerang Florida, mengakibatkan kehancuran besar. Topan menghancurkan gedung-gedung dan melemparkan mobil-mobil ke bangunan. (di samping dan di bawah) Mobil dan perabotan rumah tangga bertebaran karena topan

Tentu saja ada pelajaran yang dapat diambil dari bencana seperti ini. Penghuni kota , yang terbiasa hidup senang, tiba-tiba dihadapkan kepada banyak kesulitan setelah bencana tersebut. Dalam keadaan terguncang, mereka tak dapat memperkirakan apa yang akan dilakukan dengan kehidupan mereka, jangankan membuat rencana untuk masa yang akan datang.

Topan, Tornado…

Topan dan tornado adalah bencana alam yang sering dialami manusia. Bencana-bencana ini serta akibatnya merenggut ribuan nyawa setiap tahun. Keduanya adalah angin yang sangat kencang, yang dapat menyebabkan kerusakan besar pada kota-kota, membinasakan dan melukai penghuninya, melemparkan ribuan pohon, pondok, kotak telepon, mobil, dan bahkan bangunan bermil-mil jauhnya.
Topan besar biasanya akan menyebabkan gelombang laut raksasa naik tiba-tiba dari dasar laut. Dalam fenomena ini, badai yang dahsyat mengirimkan gelombang yang melaju dengan kecepatan ratusan mil per jam melintasi lautan menghantam pantai. Dalam kejadian seperti ini, air laut naik ke daratan dan hujan besar menyebabkan banjir hebat di daerah delta.
Perubahan angin yang umumnya dirasakan begitu angin sepoi-sepoi yang sejuk menjadi badai dahsyat yang mampu memindahkan gedung tak diragukan mendorong kita untuk mencari kekuatan luar biasa yang membuat peristiwa seperti itu terjadi. Pemikiran serupa yang didiskusikan pada bagian gempa bumi juga benar untuk topan dan tornado: jika Allah mau, manusia akan dihadapkan pada berbagai bencana alam seperti itu sesering mungkin. Saat memulihkan diri dari bencana, manusia dapat tertimpa bencana lainnya. Dalam Al Quran, Allah mengingatkan manusia bahwa angin berada di bawah pengendalian-Nya:
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (Rasul-Rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku. (QS. Al Mulk, 67: 16-18)
Walau demikian, Allah melindungi manusia dari bahaya. Adakalanya Dia mengirimkan kepada mereka badai yang hebat. Ini sudah tentu untuk memberi peringatan kepada manusia. Maksudnya adalah untuk mengingatkan manusia bahwa tujuan akhir mereka dalam hidup adalah untuk menjadi hamba Allah, bahwa mereka tak berdaya menghadapi kekuatan Allah dan bahwa mereka akan dihisab di Akhirat.

Gunung Berapi

Sebagaimana getaran atau guncangan bumi yang disebabkan oleh gerakan atau retakan secara tiba-tiba dari massa bebatuan yang luas di dalam kerak bumi atau lapisan atasnya, letusan gunung berapi adalah bentuk bencana alam lain yang spektakuler. Terdapat sekitar 1500 gunung berapi aktif di seluruh dunia hari ini; 550 3 di antaranya berada di daratan sementara sisanya berada di bawah lautan. Gunung berapi ini dapat meletus kapan saja dalam bentuk yang sangat destruktif yang tak seorang pun dapat mengantisipasi sebelumnya. Ketika meletus, mereka dapat membinasakan penghuni kota-kota terdekat di samping menghancurkan panen dan menutupi tanah pertanian dengan debu.
Beberapa letusan yang membawa bencana besar yang terjadi abad ini sebagaimana yang terdahulu dalam sejarah membuat kesan yang terhapuskan dalam ingatan manusia. Letusan-letusan ini menyapu banyak kota dari peta dan membinasakan banyak komunitas.
Tentu saja ada pelajaran yang didapatkan dari letusan gunung berapi yang disaksikan dalam sejarah. Gunung Vesuvius di Italia, misalnya, mengubur Pompei, sebuah kota yang penghuninya menjalani kehidupan yang penuh penyelewengan susila, di bawah badai lava panas. Sungguh mengejutkan bagaimana 20.000 warga kota yang makmur ini mengalami sesak napas oleh aliran piroklastis yang menyapunya pada tanggal 24 Agustus 79.
Namun, di jaman kita tidak aktifnya gunung berapi dapat seringkali berakhir dengan tiba-tiba dan mereka dapat meletus pada saat-saat tak terduga dengan menyemburkan uap dan abu ribuan kaki ke angkasa. Sementara itu, aliran piroklastis menyapu wilayah menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki pada apa pun yang ditemuinya. Dampak merugikan lainnya dari letusan adalah awan gas dan abu yang berbahaya yang dibawa angin ke wilayah berpenduduk. Angin yang mengerikan ini, terkadang sekitar 90 mil per jam, membakar segala sesuatunya dan menelan kota-kota seperti kanopi penutup cahaya matahari.
Salah satu bencana terburuk dalam sejarah terjadi pada tahun 1883 ketika Krakatau di Hindia Timur meletus dahsyat, menimbulkan gelombang suara yang terdengar hingga 3000 mil jauhnya dan menciptakan gelombang tsunami yang tingginya lebih dari 125 kaki. Gelombang meratakan 165 desa pantai dan membunuh 36.000 orang .4
Gunung berapi dikenang tidak hanya karena korban meninggal yang tinggi tetapi juga karena letusannya yang luar biasa destruktif dan tak dapat diperkirakan. Letusan Nevado Del Ruiz misalnya. Letusannya kecil secara intensitas. Jika dibandingkan, intensitasnya hanya 3% dari letusan Gunung St. Helena. Setelah dorman selama 150 tahun, Nevado Del Ruiz meletus di tahun 1985 dan melelehkan salju dan es di puncaknya. Begitu menghancurkannya lahar, sungai lumpur, yang mengalir dari tebing gunung ke lembah Sungai Lagunille, sehingga sekitar 20.000 penduduk di Armero, Kolumbia binasa, terkubur di dalam lumpur panas saat mereka sedang tidur. Peristiwa ini adalah bencana gunung berapi terburuk semenjak Gunung Pelee menghancurkan kota St. Pierre pada tahun 1902. Gunung Pelee memakan 30.000 korban ketika ia mengirimkan nuee ardente, atau aliran piroklastis, ke kota St. Pierre.6
Allah memperlihatkan bagaimana dengan seketika manusia menemui kematiannya melalui bencana seperti itu dan dengannya memanggil manusia untuk merenungkan tujuan keberadaannya di muka bumi. Peristiwa-peristiwa ini menyampaikan "peringatan". Yang diharapkan dari manusia, yang dapat memahami Penciptanya yang Mahakuasa, adalah untuk tidak terlalaikan dalam urusan kehidupan yang singkat selama 50-60 tahun dan melupakan hidup yang abadi, hari akhirat. Kita hendaknya selalu ingat bahwa kematian akan datang kepada semua manusia suatu hari dan bahwa semua orang akan diadili di hadapan Allah:
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa. (QS. Ibrahim, 14: 48)

Tsunami

Gelombang laut seismik atau gelombang tidal disebabkan oleh naik atau turunnya lantai laut secara mendadak atau letusan vulkanis. Sebagian tsunami sama destruktifnya dengan bom atom.

BANJIR

Allah sudah pasti menciptakan semua bencana ini sebagai "peringatan" bagi manusia. Dia agung dalam kekuasaan dan menguasai segala sesuatu. Allah mempersaksikan ini dalam ayat: "Dia-lah yang bekuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu," (QS. Al An'aam, 6: 65). Keberadaan begitu banyak ancaman fisik yang serius di seluruh dunia tidak meragukan lagi memperjelas satu realitas penting. Dengan berbagai bencana, hanya dalam hitungan detik, Allah dapat mengambil kembali apa saja yang telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Malapetaka dapat menyerang di mana saja, kapan saja. Ini merupakan sebuah petunjuk jelas bahwa tidak ada tempat di dunia yang dapat menjamin keamanan seseorang. Allah menyatakan ini dalam ayat berikut:
Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al A'raaf, 7: 97-99)

Air, yang dikaruniakan-Nya kepada manusia, dapat saja suatu waktu menjadi bencana dengan kehendak Allah. Tidak terpahami bahwa manusia menyaksikan satu atau dua banjir setiap tahun dan masih saja mengacuhkan kemungkinan mengalami sendiri bencana seperti itu.

Sebuah Pelajaran dari Sejarah: Titanic

Sejarah penuh dengan kisah orang-orang yang mengandalkan diri pada terobosan teknologi dan sepenuhnya mengabaikan kekuasaan Allah. Justru karena itulah banyak bencana telah terjadi sepanjang sejarah sebagai pelajaran yang pahit bagi siapa saja. Masing-masing dari peristiwa ini penting dalam artian mengingatkan manusia bahwa baik kekayaan ataupun kekuatan, sains maupun teknologi tidak memiliki daya untuk menolak kehendak Allah.
Banyak contoh dari peristiwa seperti ini dapat diberikan. Yang paling diketahui adalah Titanic yang terkenal, sebuah kapal samudra besar dengan tinggi 55 meter dan panjang 275 meter, yang karam hampir 90 tahun yang lalu. Titanic, yang dimaksudkan sebagai "hinaan terhadap alam", adalah projek raksasa yang melibatkan sebuah tim insinyur dan lima ribu pekerja. Hampir semua orang benar-benar yakin bahwa kapal ini tidak akan pernah tenggelam. Kapal samudra merupakan karya besar teknologi dengan banyak kemajuan teknik yang meninggalkan batasan zamannya. Namun mereka yang mengandalkan prowess teknis kapal itu tidak mempertimbangkan satu fakta yang dinyatakan dalam ayat, "Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku," (QS. Al Ahzab, 33: 38) dan bahwa setiap orang cepat atau lambat akan menjumpai takdirnya. Akhirnya, sebuah kekeliruan kecil menyebabkan kapal itu tenggelam dan teknologi maju tidak dapat menyelamatkan Titanic dari akhirnya yang pahit.
Dari apa yang diceritakan mereka yang selamat, kebanyakan penumpangnya berkumpul di dek untuk berdoa ketika mereka menyadari kapal itu akan segera karam. Dalam banyak bagian Al Quran, kecenderungan perilaku manusia ini diulang-ulang. Pada saat-saat kesulitan besar dan bahaya, manusia dengan tulus berdoa dan meminta pertolongan dari Penciptanya. Namun, setelah diselamatkan dari bahaya, mereka segera berpaling tanpa rasa syukur:
Tuhanmu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu. Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. Maka apakah merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirba-likkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? Dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi kamu; atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin topan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun dalam hal ini terhadap (siksaan) Kami. (QS. Al Isra', 17: 66-69)
Seseorang mungkin tidak pernah mengalami bencana seperti itu, namun dia seharusnya ingat bahwa pada suatu ketika seseorang mungkin mendapati hidup dilucuti hingga ke dasar-dasarnya. Karena itu, manusia seharusnya selalu menyibukkan diri dengan mengingat Allah karena "kekuatan seluruhnya adalah milik Allah." (QS. Al Baqarah, 2: 165) Di lain pihak, begitu malapetaka menyerang, seseorang mungkin tidak mempunyai kesempatan untuk mengubah kelakuannya yang tidak bersyukur kepada Allah dan bertobat kepada-Nya. Kematian dapat datang sangat seketika:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan dekatnya kebiasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Al Quran itu? (QS. Al A'raaf, 7: 185)

Dengan Kasih Sayang Allah

Maka masing-masing Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al Ankabuut, 29: 40)
Pembahasan sejauh ini dimaksudkan untuk mengingatkan mereka yang melupakan tujuan penciptaan mereka akan sebuah fakta penting: segala sesuatu di bumi diadakan oleh Allah, Sang Pencipta semesta alam materi. Dengan kata lain, keberadaan segala sesuatu adalah akibat dari kehendak Allah. Karenanya, tidak ada yang memiliki keberadaan terpisah dari Allah. Al Quran mengungkapkan kepada kita bahwa tidak ada yang berada di luar pengendalian Allah: "Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf, 12: 21)
Namun begitu, sebagaimana Allah menjelaskan dalam bagian kedua ayat tersebut, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini. Mereka beranggapan, selama perjalanan hidup mereka, bahwa tidak ada kemalangan apa pun yang akan menimpa mereka, tidak pernah memikirkan bahwa mereka pun rentan terhadap bencana-bencana yang menghancurkan tersebut. Kita merasa bahwa "orang lain" mengalami peristiwa yang mengerikan itu dan "kita" akan selalu hidup dalam keselamatan. Berita tentang bencana, kecelakaan atau wabah tentu membuat kita bersimpati terhadap mereka yang tertimpa. Kita tentu merasakan kesedihan mereka; namun, begitu bencana menyusut di dalam ingatan, kita menjadi kurang peduli dan perilaku sedemikian terbukti menjadi minat yang berlalu bagi kita. Begitu kita membenamkan diri ke dalam arus kehidupan sehari-hari atau menghadapi berbagai masalah pribadi, kita segera mengembangkan rasa apati dan mengabaikan mereka yang telah mengalami bencana.
Namun demikian, anggapan bahwa setiap hari dalam kehidupan seseorang akan senantiasa sama adalah keliru. Hal ini nyata dari peringatan Allah. Sudah tentu, mereka yang tertimpa bencana tidak mengetahui bahwa bahaya alam akan mencerai-beraikan kehidupan mereka. Mereka tentu saja mengawali hari itu sebagaimana biasa, berpikir bahwa hari itu akan sama dengan sebelumnya. Namun, ternyata sebaliknya yang terjadi. Kemungkinan besar, tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa pada hari khusus itu akan terjadi perubahan drastis dalam kehidupan mereka, yang akan mengubah hidup mereka menjadi perjuangan berbahaya. Pada kesempatan sedemikian, hidup menyusut kepada kebenarannya yang paling sederhana. Tentu saja, beginilah Allah mengingatkan manusia bahwa rasa aman di dunia ini adalah palsu.
Namun, kebanyakan manusia tidak memperhatikan hal ini. Mereka lupa bahwa hidup itu singkat dan sementara, dan mengabaikan bahwa mereka akan diadili di hadapan Allah. Pada keadaan lalai ini, mereka menghabiskan hidup mereka dengan mengejar keinginan sia-sia, bukannya hidup untuk ridha Allah.
Dipandang dari poin ini, kesulitan adalah sebuah bentuk kasih sayang Allah. Allah menunjukkan sifat sebenarnya dari dunia ini dan mendorong manusia bersiap untuk kehidupan selanjutnya. Karena inilah, apa yang disebut sebagai kemalangan sebenarnya merupakan kesempatan yang ditawarkan oleh Allah. Berbagai kemalangan ini ditimpakan kepada manusia sehingga mereka dapat bertobat dan memperbaiki tingkah laku mereka. Pelajaran yang hendaknya diambil dari bencana-bencana tersebut disebutkan dalam sebuah ayat:
Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (QS. At-Taubah, 9: 126)
xx

1. National Geographic, July 1988, hal.29
2. H.J.de Blij, M.H.Glantz, S.L.Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.8

3. H.J.de Blij, M.H.Glantz, S.L.Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.8

4. H.J.de Blij, M.H.Glantz, S.L.Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.64

5. H.J.de Blij, M.H.Glantz, S.L.Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.18-19

6. H.J.de Blij, M.H.Glantz, S.L.Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.64
7.The Guinness Book of Amazing Nature, hal.60

8. H.J. de Blij, M.H. Glantz, S.L. Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.105

PERADABAN MASA SILAM

Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (QS. Maryam, 19: 98)
Manusia berada di bumi untuk diuji. Sepanjang sejarah, risalah yang murni dan wahyu yang disampaikan kepada manusia oleh para utusan-Nya memberi panduan bagi manusia. Para utusan dan kitab-kitab ini senantiasa mengajak manusia ke jalan yang benar, jalan Allah. Saat ini, tersedia kitab Allah terakhir, satu-satunya wahyu-Nya untuk manusia yang tak berubah: Al Quran.
Dalam Al Quran, Allah memberi tahu kita bahwa Dia menunjukkan jalan yang lurus kepada semua manusia di sepanjang sejarah dunia dan memberi peringatan melalui para utusan-Nya tentang hari penghisaban dan neraka. Namun, sebagian besar manusia mencela para nabi yang diutus ke-pada mereka dan menunjukkan permusuhan kepada mereka. Kesombongan mereka mengundang kemurkaan Allah atas diri mereka dan dengan sangat tiba-tiba mereka disapu dari muka bumi. Berikut adalah ayat tentang ini:
Dan (Kami binasakan) kaum 'Ad dan Tsamud dan penduduk Ar-Rass dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka tamsil ibarat; dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan sehancur-hancurnya. Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik Makkah) telah melalui sebuah negeri ( Sodom ) yang (dulu) dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya (hujan batu). Maka apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu; bahkan adalah mereka itu tidak mengharapkan akan kebangkitan. (QS. Al Furqan, 25: 38-40)
Berita tentang manusia terdahulu, yang merupakan sebagian besar dari Al Quran, tentunya merupakan salah satu pokok wahyu untuk direnungkan. Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman mereka dinyatakan sebagai berikut dalam Al Quran:
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (QS. Al An'aam, 6: 6)
Ayat lain yang ditujukan kepada kaum yang memahami yang dapat mengambil peringatan dan menaruh perhatian adalah sebagai berikut:
Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (QS. Qaaf, : 36-37)
Dalam Al Quran, Allah memberi tahu kita bahwa berbagai peristiwa penghancuran ini seharusnya menjadi peringatan bagi generasi berikutnya. Hampir semua kehancuran kaum dahulu yang diceritakan di dalam Al Quran dapat diidentifikasi, berkat kajian arsip dan temuan arkeologis saat ini, dan dengan demikian dapat dipelajari. Namun, merupakan kekeliruan besar jika hanya mengembangkan pendekatan historis dan ilmiah saat mengkaji jejak-jejak peristiwa di dalam Al Quran ini. Sebagaimana dinyatakan di dalam ayat berikut, setiap peristiwa ini merupakan peringatan untuk diambil pelajaran darinya
Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah, 2: 66)
Akan tetapi, kita seharusnya mempertimbangkan sebuah fakta penting: Kaum-kaum yang menolak mematuhi perintah Allah tidak tertimpa amarah Allah secara tiba-tiba. Allah mengirim para utusan kepada mereka untuk memberi peringatan, sehingga mereka menyesali kelakuan mereka dan berserah diri kepada-Nya. Bahwa semua kesulitan yang menimpa manusia adalah peringatan tentang azab yang pedih di akhirat dinyatakan dalam Al Quran:
Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat sebelum azab yang lebih besar, mudah-mudahan mereka kembali. (QS. As-Sajdah, 32:21)
Kehancuran sering mengikuti ketika peringatan ini tidak menimbulkan tanggapan dalam masyarakat tersebut dan penentangan meningkat. Semua masyarakat ini dihukum oleh murka Allah. Mereka lenyap dari halaman sejarah dan digantikan oleh generasi baru. Masyarakat ini sebenarnya telah menerima kenikmatan yang dikaruniakan Allah, menjalani hidup dalam kemakmuran, memperturutkan hati menikmati semua kesenangan dan, saat melakukan semua itu, tidak pernah menyibukkan diri dengan mengingat Allah. Mereka tidak pernah merenungkan fakta bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti akan berakhir. Mereka mengecap kehidupan dan tidak pernah memikirkan tentang kematian dan hal-hal setelahnya. Bagi mereka, segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan duniawi terasa abadi. Akan tetapi, kehidupan abadi yang sebenarnya adalah setelah kematian. Mereka tidak mencapai apa pun dengan cara pandang kehidupan seperti ini; namun, sejarah memberikan cukup bukti tentang kehancuran mereka yang pahit. Walau telah berlalu ribuan tahun, kenangan mereka tetap sebagai peringatan, yang mengingatkan generasi sekarang tentang akhir dari mereka yang menyimpang dari jalan Pencipta mereka.

Thamud

Tsamud adalah salah satu dari bangsa yang dimusnahkan karena kesombongan terhadap wahyu ilahi dan mengabaikan peringatan-peringatan Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran, kaum Tsamud dikenal dengan kemakmuran dan kekuatannya dan mereka merupakan sebuah negeri yang unggul dalam seni.

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. (QS. Al A'raaf, 7: 74)
Dengan sejarah 2000 tahun, kaum Tsamud membangun sebuah kerajaan dengan bangsa Arab lainnya, kaum Nabatea. Hari ini, di Lembah Rum, yang juga disebut Lembah Petra, di Yordania, masih dapat dilihat contoh terbaik dari pahatan batu bangsa-bangsa ini. Di dalam Al Quran, kaum Tsamud juga disebutkan dengan keahlian mereka memahat batu.

Pada ayat lain, lingkungan sosial kaum Tsamud digambarkan sebagai berikut:
Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini dengan aman, di dalam kebun-kebun serta mata air, dan tanam-tanaman dan pohon-pohon korma yang mayangnya lembut. Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin. (QS. Asy-Syu'araa', 26: 146-149)
Karena bergembira ria dalam kemakmuran, kaum Tsamud menjalani hidup yang mewah. Dalam Al Quran, Allah menyebutkan bahwa nabi Shalih dikirim untuk memberi peringatan kepada mereka. Nabi Shalih adalah orang yang dikenal di kalangan kaum Tsamud. Kaumnya, yang tidak mengira ia akan menyerukan agama yang hak, terkejut atas ajakannya agar mereka meninggalkan kesesatan. Sebagian kecil masyarakat menuruti panggilan Shalih, tetapi kebanyakan tidak menerima perkataannya. Khususnya, para pemuka kaum menolak Shalih dan memusuhinya. Mereka mencoba menyakiti siapa saja yang mempercayai Shalih dan menekan mereka. Mereka murka kepada Shalih karena dia menyeru mereka untuk menyembah Allah. Kemurkaan ini bukan hal yang khusus pada kaum Tsamud saja: mereka hanya mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh kaum Nuh dan 'Ad yang mendahului mereka dalam sejarah. Karena itulah, Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini sebagai berikut:
Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya." (QS. Ibrahim, 14: 9)
Kaum Tsamud berkeras untuk bersikap angkuh dan tidak pernah mengubah perilaku mereka terhadap nabi Shalih dan malahan merencanakan untuk membunuhnya. Shalih memperingatkan mereka lebih jauh dengan mengatakan: "Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini dengan aman" (QS. Asy-Syu'araa', 26: 146-149). Memang, kaum Tsamud meningkatkan penyelewengan mereka karena tidak sadar akan azab Allah dan menantang Nabi Shalih dengan sombong dan penuh kegirangan:
Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang diutus. (QS. Al A'raaf, 7: 77)
Nabi Shalih memberi tahu mereka, dari wahyu Allah, bahwa mereka akan dibinasakan dalam waktu tiga hari. Tiga hari kemudian, peringatan Nabi Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud pun musnah.
Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud. (QS. Huud, 11: 67-68)
Menyedihkan, kaum Tsamud membayar ketidakpatuhan mereka terhadap nabi mereka dengan kehancuran. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan dan karya-karya seni yang mereka hasilkan tidak dapat melindungi mereka dari hukuman. Kaum Tsamud dihancurkan dengan azab yang memilukan sebagaimana semua kaum lain yang menolak keimanan sebelum dan sesudah mereka. Singkatnya, akhir mereka sesuai dengan tingkah laku mereka. Mereka yang ingkar dihancurkan sama sekali, dan mereka yang patuh menerima kebebasan abadi.

Kaum Saba'

Kisah kaum Saba' (atau Sheba dalam Injil) diceritakan dalam Al Quran sebagai berikut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan) : "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. Saba ', 34: 15-17)
Sebagaimana dituturkan dalam ayat di atas, kaum Saba' tinggal di wilayah yang dikenal dengan kebun-kebun dan kebun anggur yang indah dan subur. Di negeri seperti itu, di mana standar kehidupan sangat baik, seharusnya mereka bersyukur kepada Allah. Namun, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, mereka "berpaling dari Allah". Karena mereka mengaku-aku semua kemakmuran mereka sebagai milik mereka semata, mereka kehilangan semuanya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, banjir Arim menghancurkan seluruh negeri mereka.

Bangsa Sumeria yang Jaya

Sumeria merupakan gabungan negara-negara kota di sekitar Tigris dan Eufrat bawah yang sekarang merupakan Irak selatan. Di masa kini, daratan yang akan sering ditemui mereka yang melakukan perjalanan ke Irak selatan hanyalah padang pasir yang sangat luas. Sebagian besar daratan, kecuali kota-kota dan daerah-daerah yang telah dihutankan, diselimuti pasir. Padang pasir ini, tanah asal bangsa Sumeria, telah ada sejak ribuan tahun. Negeri mereka yang jaya, yang kini hanya dapat ditemui di buku-buku pelajaran, sama nyatanya dengan peradaban mana pun sekarang. Bangsa Sumeria hidup sebagaimana kita saat ini dan menciptakan karya-karya arsitektur yang luar biasa. Dalam sebuah pengertian, kota-kota yang luar biasa indahnya yang dibangun oleh bangsa Sumeria adalah bagian dari warisan budaya bagi zaman kita.
Di antara apa yang tersisa dari peninggalan budaya Sumeria, kita mendapatkan informasi tentang penguburan rumit yang dilakukan untuk Puabi, salah satu ratu mereka. Penggambaran yang hidup tentang upacara besar ini dapat ditemukan pada banyak sumber dan mereka menceritakan bahwa jasad sang ratu dihiasi secara luar biasa. Jenazahnya dikenakan kain yang dihiasi dengan manik-manik dari perak, emas dan batu-batu mulia, serta untaian mutiara. Di kepalanya dikenakan rambut palsu dan mahkota berhiaskan daun-daun emas. Sejumlah besar emas juga ditempatkan di makam tersebut.1
Singkatnya, Ratu Puabi, sebuah nama yang penting dalam sejarah Sumeria, dikuburkan dengan harta benda yang luar biasa. Menurut penuturan, kekayaan yang tak ternilai ini dibawa ke makamnya dengan prosesi tentara dan pelayan. Ratu Puabi mungkin telah dikubur bersama kekayaan yang tak terhitung, tetapi itu tidak menyelamatkan jasadnya dari membusuk hingga tinggal kerangka.
Seperti semua orang lain di kerajaannya, yang mungkin dihinanya karena kemiskinan mereka, jasadnya meluruh di bawah tanah menjadi massa bakteri yang membusuk. Ini tentunya merupakan contoh yang mengesankan yang menunjukkan bahwa harta dan kekayaan di dunia tidak dapat menjamin agar selamat dari akhir yang menyedihkan.

Bangsa Mino

Daratan dan lautan mungkin saja terhampar relatif tenang selamaberabad-abad. Lalu, sebuah pelengkungan tanah tiba-tiba melepaskan bencana. Barangkali tidak ada kejadian yang menggambarkan kengerian seperti itu begitu nyata sebagaimana malapetaka di Thera kuno. Yang terjadi di sana mungkin merupakan letusan vulkanik terdahsyat dalam sejarah. Menjulang tinggi di atas Laut Aegea sekitar 3.500 tahun yang lalu, gunung api setinggi satu mil membentuk sebuah pulau sepanjang 10 mil. Di sana tampak sebuah peradaban besar yang berpusat sekitar tujuh puluh mil di utara pulau Kreta. Pada puncaknya, barangkali 30.000 orang hidup di Akrotiri, kota utama Thera, di mana berdiri istana berhiasan lukisan dinding dan dari mana dikirim kapal-kapal penuh barang dagangan. Walaupun para ilmuwan masih belum dapat memastikan waktu tepatnya yang diperkirakan antara 1470 hingga 1628 SM mereka mengetahui rangkaian peristiwanya. Goncangan-bumi ringan diikuti oleh gempa hebat, gempa susulan, dan sebuah ledakan yang gemanya terdengar hingga ke Skandinavia, Teluk Persia, dan Karang Gibraltar.2 Gelombang pasang menyerbu dan menghancurkan Amnisos, teluk Knossos. Hari ini, hanya sisa-sisa dari istana yang megah tersebut yang tersisa.
Peradaban Mino, salah satu peradaban terpenting di masa itu, kemungkinan besar tidak pernah mengira akhir yang begitu drastis. Mereka yang menyombongkan kekayaan dan harta mereka kehilangan segala milik mereka. Allah menekankan di dalam Al Quran bahwa akhir yang drastis dari berbagai peradaban kuno seperti itu hendaknya direnungkan oleh masyarakat sekarang:
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Rabb). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)? (QS. As-Sajdah, 32: 26)

Malapetaka Pompei

Bagi ahli sejarah, sisa-sisa Pompei merupakan kesaksian yang mengguncang dari penyelewengan susila yang pernah berlaku di sana. Bahkan jalan-jalan raya kota Pompei, lambang kemerosotan moral dari Kekaisaran Romawi, menunjukkan kesenangan dan kenikmatan yang diperturutkan oleh kota ini: jalan raya yang pernah begitu sibuk dan penuh kedai minuman, klab malam, dan rumah bordil, masih memberikan kilasan yang ditinggalkan malapetaka tersebut pada kehidupan sehari-hari.
Di sini, di tanah yang sekarang diselimuti debu vulkanis, pernah ada banyak peternakan yang makmur, kebun anggur yang subur, dan rumah musim panas yang mewah. Karena berlokasi di antara lereng Gunung Vesuvius dan laut, Pompei menjadi tempat wisata musim panas favorit bagi orang-orang kaya Romawi yang melepaskan diri dari ibu kota yang terik. Tetapi, Pompei menjadi saksi atas salah satu letusan gunung api paling menakutkan dalam sejarah, melenyapkan kota itu dari muka bumi. Kini, sisa-sisa penghuni kota ini sesak napas karena uap beracun dari Vesuvius saat mereka melakukan kegiatan harian seperti biasa dengan sangat hidup menggambarkan detail mengenai cara hidup bangsa Romawi. Bencana tersebut melanda Pompei, juga kota tetangganya, Herculaneum , pada suatu hari musim panas, pada saat daerah itu dipadati orang-orang kaya Romawi menghabiskan musim dalam vila-vila mereka yang megah.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 79 M. Penyelidikan di situs kejadian mengungkapkan bahwa letusan berkembang dalam tahapan yang berbeda-beda. Sebelum letusan, daerah itu berguncang beberapa kali. Suara gaduh yang jauh dan bernada tinggi, dalam dan mengerikan, yang datang dari gunung berapi, mengiringi gempa itu. Pertama-tama, Vesuvius menyemburkan gumpalan uap air dan abu, "Kemudian awan yang berputar ini naik tinggi ke atmosfer dengan membawa pecahan batu tua yang tercabik dari saluran gunung berapi dan jutaan ton batu apung yang masih baru dan seperti kaca. Angin yang kuat membawa awan abu ke arah Pompei, di mana 'batu-batu kecil' mulai berjatuhan. Begitu kanopi yang menutupi matahari menyebar di atas kota, batu apung dan abu menghujani Pompei, bertumpuk dengan kecepatan enam inci per jam." 3
Herculaneum lebih dekat ke Vesuvius; kebanyakan penduduknya meninggalkan kota karena takut akan gelombang piroklastik bergerak yang menderu ke arah mereka. Mereka yang tidak segera meninggalkan kota , tidak hidup lebih lama untuk menyesali keterlambatan mereka. Gelombang piroklastik yang mencapai Herculaneum membunuh mereka sementara aliran piroklastik yang bergerak lebih lambat menelan kota itu, menguburnya. Penggalian di Pompei, di pihak lain, mengungkapkan bahwa kebanyakan penghuninya enggan meninggalkan kota . Mereka mengira tidak berada dalam bahaya karena Pompei tidak terlalu dekat ke kawah. Karena itu, kebanyakan warga Pompei yang kaya tidak meninggalkan rumah mereka dan malah berlindung di rumah dan toko mereka, sambil berharap badai akan segera bertiup jauh. Mereka semua binasa sebelum sempat menyadari bahwa segalanya telah terlambat. Hanya dalam satu hari, Pompei dan Herculaneum , serta enam desa di sekitarnya tersapu dari peta. Al Quran menyatakan bahwa peristiwa seperti ini merupakan peringatan bagi semua:
Itu adalah sebahagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah." (QS. Huud, 11: 100)

Menyingkap rahasia Pompei tidak dapat dilakukan hingga berabad-abad kemudian. Lebih dari sekadar isyarat belaka, penggalian kota kuno itu memberikan gambaran hidup dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Bentuk dari banyak korban yang menderita ini terpelihara utuh. Berikut ini ayat yang berhubungan:
Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS. Huud, 11: 102)
Kini, reruntuhan yang sangat luas merupakan bukti yang menakjubkan dari peradaban rumit yang pernah berkembang ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Banyak pembangun kota-kota besar dari berbagai era sejarah yang berbeda sekarang tidak dikenal. Kekayaan, teknologi, atau karya seni mereka tidak dapat menyelamatkan mereka dari akhir yang pahit. Bukan mereka, melainkan generasi-generasi sesudahnya yang mengambil keuntungan dari warisan mereka yang kaya. Dengan sedikit petunjuk untuk menuntun kita, asal usul dan nasib dari berbagai peradaban kuno ini masih menjadi misteri hingga sekarang. Namun ada dua hal yang nyata: mereka menganggap bahwa mereka tidak akan pernah mati dan mereka menenggelamkan diri dalam kesenangan duniawi. Mereka meninggalkan monumen-monumen besar karena mempercayai bahwa dengan itu mereka akan meraih keabadian. Tidak jauh berbeda dengan berbagai peradaban kuno ini, banyak kelompok manusia saat ini juga memiliki pola pikir demikian. Dengan harapan untuk mengabadikan nama mereka, segolongan besar anggota masyarakat modern menghambakan diri sepenuhnya untuk mengumpulkan lebih banyak kekayaan atau menciptakan karya-karya untuk ditinggalkan. Lebih jauh lagi, kelihatan jelas bahwa mereka bersuka-ria dalam kemewahan yang lebih boros dari generasi sebelumnya dan tetap mengabaikan wahyu-wahyu Allah. Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari perilaku sosial dan pengalaman berbagai kaum terdahulu. Tak satu pun dari kaum-kaum itu bertahan hidup. Berbagai karya seni dan monumen yang mereka tinggalkan mungkin dapat menolong mereka agar dikenang oleh generasi sesudahnya tetapi tidak menyelamatkan mereka dari azab ilahi atau mencegah jasad mereka membusuk. Aneka peninggalan mereka tetap berdiri di sana hanya sebagai peringatan dan ancaman akan kemurkaan Allah pada mereka yang ingkar dan tidak bersyukur atas kekayaan yang dikaruniakan-Nya.
Tak diragukan lagi, pelajaran yang dapat diambil dari berbagai peristiwa sejarah seperti itu seharusnya pada akhirnya membawa kepada kearifan. Setelah itu barulah seseorang dapat memahami bahwa apa yang menimpa kaum-kaum terdahulu bukannya tanpa tujuan. Seseorang mungkin menyadari lebih jauh bahwa hanya Allah Yang Mahakuasa yang memiliki kekuatan untuk menciptakan bencana kapan pun. Dunia adalah tempat manusia diuji. Mereka yang berserah diri kepada Allah akan meraih keselamatan. Mereka yang puas dengan dunia ini, di lain pihak, akan kehilangan keabadian yang dirahmati. Tak diragukan, akhir mereka akan sesuai dengan perbuatan mereka dan mereka akan diadili sesuai dengan perbuatan mereka. Tentu saja, Allah adalah sebaik-baik Hakim.
xx

1. Mesopotamia and Ancient Near East, Great Civilisations Encyclopaedia, Iletisim Publications, hal.92
2. Ana Brittannica, Volume 20, hal.592

3. H.J. de Blij, M.H. Glantz, S.L. Harris, Restless Earth, The National Geographic Society, 1997, hal.18-19

AKHIRAT, TEMPAT TINGGAL MANUSIA YANG SEBENARNYA

Banyak orang yang mengira bahwa mungkin saja menjalani kehidupan yang sempurna di dunia ini. Menurut pandangan ini, hidup yang bahagia dan menyenang-kan dicapai melalui kelimpahan materi, yang bersama dengan sebuah kehidupan rumah tangga yang memuaskan dan pengakuan atas status sosial seseorang umumnya dianggap sebagai asas bagi kehidupan yang sempurna.
Namun menurut cara pandang Al Quran, suatu "kehidupan yang sempurna" yaitu, kehidupan tanpa masalah adalah mustahil di dunia ini. Ini semata karena kehidupan di dunia memang sengaja dirancang untuk tidak sempurna.
Akar kata bahasa Arab bagi 'dunia' dunya mempunyai sebuah arti penting. Secara etimologis, kata ini diturunkan dari akar kata daniy, yang berarti "sederhana", "remeh", "rendah", dan "tak berharga". Jadi, kata 'dunia' dalam bahasa Arab secara inheren mencakup sifat-sifat ini.
Ketidakberartian kehidupan ini ditekankan berkali-kali pada awal situs ini. Memang semua faktor yang dipercaya akan membuat hidup indah — kekayaan, kesuksesan pribadi dan bisnis, pernikahan, anak-anak, dan seterusnya — tak lebih dari tipuan yang sia-sia. Ayat tentang ini sebagai berikut:
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warna-nya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al Hadiid, 57: 20)
Dalam ayat lainnya, Allah menyebutkan kecenderungan manusia kepada dunia daripada akhirat:
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A'laa, 87: 16-17)
Berbagai masalah muncul hanya karena, dibandingkan hari akhirat, manusia menilai hidup ini terlalu tinggi. Mereka merasa senang dan puas dengan apa yang mereka miliki di sini, di dunia ini. Perilaku seperti ini tidak lain berarti memalingkan diri dari janji Allah dan karenanya dari realitas keberadaan-Nya yang agung. Allah menyatakan bahwa akhir yang memilukan telah menunggu mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. (QS. Yunus, 10: 7)
Tentu saja, ketidaksempurnaan hidup ini tidak menyangkal kenyataan adanya hal-hal yang baik dan indah di muka bumi. Tetapi di bumi ini, apa yang dinilai indah, menggembirakan, menyenangkan, dan menarik berpasang-pasangan dengan ketidaksempurnaan, cacat dan jelek. Tentu saja, jika diamati dengan pikiran yang tenang dan teliti, fakta-fakta ini akan membuat seseorang menyadari kebenaran hari akhir. Bersama Allah, kehidupan yang benar-benar baik dan bermanfaat bagi manusia adalah kehidupan akhirat.
Allah memerintahkan para hamba-Nya yang setia untuk berupaya keras memperoleh surga dalam ayat berikut:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imran, 3: 133)

Mereka yang Bersegera bagi Surga

Dalam Al Quran, orang-orang yang beriman diberikan kabar gembira mengenai ganjaran dan kebahagiaan abadi. Namun, apa yang umumnya diabaikan adalah fakta bahwa kebahagiaan dan kesenangan abadi ini dimulai semenjak kita masih ada di kehidupan sekarang ini. Ini karena, di dunia ini juga, orang-orang beriman tidak dicabut dari kemurahan hati dan kasih sayang Allah.
Dalam Al Quran, Allah menyatakan bahwa orang mukmin sebenarnya yang menyibukkan diri dengan amal kebajikan di dunia ini akan memperoleh tempat tinggal yang amat baik di Akhirat:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl, 16: 97)
Sebagai ganjaran dan sumber kebahagiaan, di dunia ini Allah melimpahkan banyak kemurahan dan juga rezeki yang tak terduga-duga dalam kehidupan yang menyenangkan secara pribadi dan masyarakat kepada hamba-hamba-Nya yang sejati. Inilah hukum Allah yang kekal. Karena kekayaan, kemegahan, dan keindahan merupakan ciri-ciri asasi dari surga, Allah juga membuka kekayaan-Nya kepada orang-orang mukmin yang tulus di dunia ini. Ini tentu saja awal dari kehidupan yang menyenangkan dan terhormat tanpa akhir.
Berbagai tempat dan perhiasan yang indah di dunia ini hanyalah gaung dari yang sebenarnya di surga. Keberadaan mereka membuat orang mukmin sejati memikirkan surga dan merasa kerinduan yang makin dalam kepadanya. Sementara itu, sepanjang hidupnya, sangat mungkin seorang mukmin menderita kesulitan dan kesedihan; namun, mukmin sejati meletakkan kepercayaannya kepada Allah dan dengan sabar menanggung penderitaan apa pun yang menimpa. Lebih dari itu, karena menyadari bahwa ini merupakan jalan untuk memperoleh kesenangan yang baik dari Allah, sikap sedemikian memberikan kelegaan khusus dalam hatinya.
Pribadi mukmin adalah seorang yang terus-menerus menyadari keberadaan penciptanya. Dia tunduk akan semua perintah-Nya dan berhati-hati menjalani kehidupan sebagaimana diuraikan dalam Al Quran. Dia memiliki dugaan dan harapan yang realistis bagi kehidupannya setelah kematian. Karena seorang mukmin meletakkan kepercayaannya kepada penciptanya, Allah meringankan semua kesengsaraan dan penderitaan dari hatinya.
Yang lebih penting lagi, seorang mukmin setiap saatnya merasakan tuntunan dan dukungan dari penciptanya. Ini merupakan kedamaian hati dan pikiran yang berasal dari kesadaran bahwa Allah bersamanya setiap kali dia berdoa, menyibukkan diri dengan amal-amal kebaikan, atau melakukan sesuatu — penting atau tidak berarti — semata untuk memperoleh keridhaan-Nya.
Ini sudah tentu merupakan sebuah perasaan aman yang mengilhami hati seorang mukmin yang memahami bahwa "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah." (QS. Ar-Ra'd, 14: 11), dan bahwa dia akan memperoleh kemenangan dalam perjuangannya dengan nama Allah, dan bahwa dia akan menerima kabar baik mengenai ganjaran abadi: surga. Maka, mukmin sejati tidak pernah takut atau bersedih, sesuai dengan ilham Allah kepada para malaikat "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman" (QS. Al Anfaal, 8: 12)
Orang mukmin adalah mereka yang berkata "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (QS. Fushshilat, 41: 30). Juga "bagi mereka para malaikat turun" dan kepada siapa para malaikat berkata, "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu" (QS. Fusshhilat, 4: 30). Orang mukmin juga menyadari bahwa pencipta mereka "tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya" (QS. Al A'raaf, 7: 42). Mereka sangat menyadari bahwa "Allah lah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (QS. Al Qamar, 54: 49). Jadi, merekalah yang berkata, "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal" (QS. At-Taubah, 9: 51) dan meletakkan kepercayaannya kepada Allah. "Tidak ada kerugian bagi mereka" karena "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung" (QS. Ali Imran, 3: 173-174). Namun, karena dunia merupakan tempat untuk menguji semua manusia, orang mukmin perlu dihadapkan pada beberapa kesulitan. Kelaparan, kehausan, kehilangan harta, penyakit, kecelakaan, dan sebagainya mungkin menimpa mereka kapan pun juga. Kemiskinan, juga bentuk-bentuk kesulitan atau kemalangan lainnya mungkin pula menimpa mereka. Bentuk ujian yang mungkin dilalui seorang mukmin diterangkan sebagai berikut dalam Al Quran:
Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita. (QS. Az-Zumar, 39: 61)
Orang-orang mukmin menyadari bahwa masa-masa sulit diciptakan secara khusus dan bahwa kewajiban mereka adalah menanggapinya dengan kesabaran dan istiqamah. Lebih jauh lagi, ini merupakan kesempatan besar untuk menunjukkan tekad dan komitmen terhadap Allah dan suatu jalan untuk memperoleh kedewasaan diri dalam pandangan-Nya. Maka, seorang mukmin menjadi lebih bahagia, gembira dan lebih tekun pada kesempatan seperti itu.
Namun, perilaku mereka yang tidak beriman sama sekali berbeda. Saat-saat sulit membuat mereka jatuh dalam keputusasaan. Di samping penderitaan fisik, seorang yang tak beriman juga menanggung penderitaan mental yang berat.
Ketakutan, kehilangan harapan, pesimisme, kesedihan, kecemasan, dan gejolak yang merupakan ciri pembawaan dari orang yang tidak beriman di dunia tak lain hanya bentuk kecil dari kepedihan sebenarnya yang akan mereka tanggung di akhirat. "menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al An'aam, 6: 125)
Di lain pihak, orang mukmin sejati yang mencari pengampunan dan bertobat kepada Allah menerima kemurahan dan kasih sayang Allah di dunia ini sebagaimana dituturkan ayat berikut:
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. (QS. Huud, 11: 3)
Pada ayat lain, kehidupan orang-orang mukmin diuraikan sebagai berikut:
Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa. (QS. An-Nahl, 16: 30-31)
Hari akhirat jelas lebih utama dan lebih baik daripada dunia ini. Dibandingkan dengan hari akhir, dunia ini tak lain hanyalah sarana dan merupakan tempat yang tak berharga sama sekali. Maka, jika seseorang ingin mencari tujuan untuk dirinya, tujuan itu haruslah surga di akhirat. Seharusnya juga diingat bahwa mereka yang mencari surga menerima kebajikan dari Penciptanya di dunia ini juga. Tetapi mereka yang mencari kehidupan dunia ini dan mendurhaka terhadap Allah seringkali tak mendapatkan apa-apa yang berharga darinya dan kemudian kediaman mereka pada kehidupan selanjutnya adalah neraka.

Surga

Allah menjanjikan surga bagi mereka yang menghadap-Nya sebagai mukmin. Tentu saja, Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya. Mereka yang teguh keimanannya mengetahui bahwa Pencipta mereka akan memegang janji-Nya dan bahwa mereka akan diterima di surga asalkan mereka hidup sebagai mukmin sejati di dunia ini:
Yaitu surga 'Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (surga itu) tidak tampak. Sesungguhnya janji Allah pasti akan ditepati. (QS. Maryam, 19: 61)
Saat memasuki surga merupakan momen terpenting bagi orang-orang mukmin yang beriman dan beramal saleh. Sepanjang hayat, mereka bekerja keras, berdoa, melakukan hal-hal yang benar untuk memperolehnya. Di sisi Allah, itulah tentunya tempat terbaik untuk tinggal dan tempat paling nyata untuk dicapai: surga, tempat yang disediakan khusus bagi mereka yang beriman. Allah menceritakan saat yang unik ini dalam ayat berikut:
(Yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), ‘Keselamatan atas kamu karena kesabaranmu,' Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra'd, 13: 23-24)

Keindahan Surga

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah (seperti taman), mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tiada henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. (QS. Ar-Ra'd, 13: 35)
Panorama yang indah dengan danau, sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang subur adalah surga yang dibayangkan oleh orang awam. Namun, gambaran surga ini harus dijernihkan karena tidak tepat mewakili pandangan Quran. Sudah barang tentu surga memiliki keindahan alam yang luar biasa; akan tetapi, suasana menyenangkan seperti itu hanya menggambarkan seginya yang indah dan menggoda. Karena itulah, di dalam Al Quran terdapat berbagai referensi tentang tempat tinggal yang indah, taman-taman yang teduh, dan sungai-sungai yang mengalir. Namun, membatasi surga dengan keindahan fisik sudah tentu akan terbukti tidak setara dengan kenyataannya.
Keindahan dan keagungan surga jauh melebihi imajinasi manusia. Penyebutan Quran "Kedua surga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan," (QS. Ar-Rahman, 55:48) jelas mengilustrasikan gambaran hidup tentang sifat nyata dari surga. Yang dimaksud dengan "afnan" (pohon-pohonan dan buah-buahan) adalah hal-hal yang diciptakan khusus oleh Allah Yang Mahatahu. Kesenangan ini dapat pula menjadi imbalan yang mengejutkan atau hal-hal yang memberi kesenangan yang tak pernah dibayangkan manusia. Janji Allah, "kesenangan" adalah hal-hal yang khusus diciptakan Allah Yang Mahatahu. Kesenangan ini mungkin akan menjadi ganjaran yang mengejutkan atau hal yang tak pernah terbayangkan oleh manusia. Janji Allah, "Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar." (QS. Asy-Syura, 42: 22) menjelaskan bahwa sebagai kemurahan Allah, imajinasi orang mukmin akan membentuk Surga sesuai dengan selera dan keinginan mereka.

Tempat Tinggal Abadi bagi Orang-Orang Mukmin

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS. At-Taubah, 9: 72)
Di dunia ini, orang beriman hidup di "rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya." (QS. An-Nuur, 24: 36) Dengan perintah Allah, para penghuni ini tetap bersih dan terawat khusus.
Begitu pula halnya dengan hunian di surga; mereka adalah tempat-tempat di mana Allah dimuliakan dan Nama-Nya senantiasa diingat.
Begitu pula dengan gedung besar di tempat-tempat yang indah, tempat tinggal orang-orang mukmin di dunia mungkin merupakan karya dari desain dan arsitektur ultramodern yang dibangun di kota-kota yang indah.
Tempat tinggal di surga yang diterangkan di dalam Al Quran biasanya berada di keindahan alam:
Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. (QS. Az-Zumar, 39: 20)
Gedung-gedung yang disebutkan dalam ayat tersebut, yang di bawahnya mengalir sungai, mungkin memiliki jendela-jendela besar atau aula yang dikelilingi oleh dinding kaca yang memungkinkan menikmati panorama indah ini. Mereka adalah rumah-rumah yang dihias indah dengan singgasana-singgasana yang khusus dirancang untuk kenyamanan orang-orang mukmin. Mereka akan beristirahat di atas singgasana yang disusun berjejer dan menikmati limpahan buah-buahan yang lezat dan berbagai jenis minuman. Desain dan dekorasi gedung tersebut adalah kain dan bahan-bahan dengan kualitas terbaik. Sofa-sofa yang nyaman yang dihiasi kain brokat sutra dan singgasana secara khusus ditekankan dalam banyak ayat:
Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata. (QS. Al Waaqi'ah, 56: 15)
Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. (QS. Ath-Thuur, 52: 20)
Sebagaimana diungkapkan ayat-ayat tersebut, singgasana merupakan simbol martabat, kemegahan, dan kekayaan. Allah berkehendak agar hamba-hamba-Nya hidup di tempat-tempat yang mulia di surga. Di lingkungan yang begitu gemilang, orang-orang mukmin tetap mengingat Allah dan mengulangi kata-kata-Nya:
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal dari karunia-Nya; didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu. (QS. Faathir, 35: 33-35)
Materi dasar surga adalah "karya yang sangat halus" dan "keindahan yang luar biasa". Ini semua adalah bayangan dari kecerdasan dan rasa seni tertinggi milik Allah. Misalnya, singgasana-singgasana dilapisi dengan emas dan batu-batu berharga; bukan singgasana biasa, namun singgasana yang agung. Pakaian terbuat dari sutra dan kain berharga. Lebih-lebih lagi, perhiasan perak dan emas melengkapi pakaian ini. Dalam Al Quran, Allah memberikan banyak rincian tentang surga, namun dari berbagai ungkapan itu jelaslah bahwa setiap orang yang beriman akan menikmati sebuah Taman yang dirancang sesuai dengan imajinasinya. Tidak diragukan lagi, Allah akan mengaruniakan banyak lagi anugerah lain yang menakjubkan kepada hamba-hambanya yang tercinta.

Surga yang Tak Terbayangkan

Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. (QS. Az-Zukhruf, 43: 71)
Dari deskripsi dan ilustrasi yang terdapat di dalam Al Quran, kita dapat memperoleh suatu pemahaman umum seperti apa surga itu. Dalam ayat "Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.'" (QS. Al Baqarah, 2: 25), Allah menyatakan bahwa anugerah di surga secara fundamental akan sama dengan yang ada di dunia. Sesuai dengan deskripsi pada ayat, "dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka" (QS. Muhammad, 47: 6), kita dapat mencapai kesimpulan bahwa Allah akan membiarkan orang-orang beriman tinggal di Surga dengan apa yang telah mereka kenal sebelumnya.
Walau demikian, setiap keterangan yang dapat kita kumpulkan tentang surga di dunia ini pastilah tidak memadai; ia hanya dapat memberikan isyarat untuk mengira sebuah gambaran umum. "Perumpamaan jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring." (QS. Muhammad, 47: 15). Ayat ini menjelaskan bahwa surga adalah suatu tempat di luar imajinasi kita. Di dalam jiwa manusia, ayat ini membangkitkan perasaan bahwa surga adalah sebuah tempat dengan pemandangan yang tak terduga.
Di lain pihak, Allah menguraikan surga sebagai "suatu hiburan" atau sebuah "pesta":
Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. (QS. Ali Imran, 3: 198)
Dalam ayat ini, Allah memperkenalkan surga sebagai sebuah tempat hiburan dan kesenangan. "Akhir" dari hidup ini, kesenangan karena lulus "ujian" dan mencapai tempat terbaik untuk tinggal selamanya, sudah barang tentu membuat orang-orang yang beriman bergembira. Perayaan ini akan sangat luar biasa: perayaan yang tidak ada padanannya dengan pesta atau kegembiraan apa pun di dunia ini. Jelaslah bahwa perayaan ini akan di luar kebiasaan dan ritual dari semua pertunjukan, festival, karnaval atau pesta yang biasa ada di negeri-negeri terdahulu maupun sekarang.
Di kehidupan yang abadi, fakta bahwa mereka yang beriman akan menikmati berbagai jenis hiburan tanpa henti mengingatkan akan sebuah ciri lain dari orang beriman di surga: tidak pernah merasa lelah. Di dalam Al Quran, kondisi ini diungkapkan sebagai berikut dalam perkataan orang beriman: "Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu." (QS. Faathir, 35: 35)
Tak diragukan, orang-orang yang beriman juga tidak akan mengalami kelelahan mental di sana. Berlawanan dengan surga, di mana "mereka tidak merasa lelah di dalamnya" (QS. Al Hijr, 15: 48), manusia di dunia merasa lelah karena tubuhnya tidak diciptakan kuat. Ketika seseorang merasa lelah, dia menjadi sulit berkonsentrasi dan membuat keputusan yang cermat. Karena kelelahan, persepsi seseorang berubah. Namun, kondisi pikiran seperti itu tidak pernah ada di surga. Semua indra terus tajam menangkap ciptaan Allah dengan kemampuan terbaik. Orang-orang yang beriman sama sekali tidak merasakan perasaan lelah dan karenanya, mereka menikmati anugerah Allah tanpa gangguan. Kesenangan dan kegembiraan yang dirasakan tidak berbatas dan abadi.
Di lingkungan di mana kelelahan dan kebosanan tidak ada, Allah memberi ganjaran orang-orang yang beriman dengan menciptakan "apa pun yang mereka inginkan". Sudah tentu, Allah memberikan kabar gembira bahwa Dia akan menciptakan lebih dari yang dapat dibayangkan atau diinginkan mereka: "Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya." (QS. Qaaf, 50: 35)
Hendaklah diingat bahwa salah satu anugerah surga yang terpenting adalah bahwa "Allah memelihara mereka dari azab neraka," (QS. Ad-Dukhaan, 44: 56) dan "mereka tidak mendengar sedikit pun suara api neraka. " (QS. Al Anbiyaa', 21: 102)
Sebaliknya, kapan pun mereka mau, orang-orang yang beriman mendapat kesempatan untuk melihat dan berbicara kepada penghuni neraka. Mereka pun merasa berterima kasih atas anugerah ini:
Mereka berkata: "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut. Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang." (QS. At-Thuur: 26-28)
Surga diuraikan di dalam Al Quran sebagai berikut: "Dan apabila kamu melihat di sana, niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar." (QS. Al Insaan, 76: 20) Di sini, mata mengecap dan menikmati pemandangan yang berbeda, kemegahan yang berbeda. Setiap sudut dan tempat dihiasi dengan hiasan yang berharga. Kemegahan seperti itu hanyalah untuk orang-orang beriman, yang dilimpahi Allah kemurahan-Nya dan dihadiahkan Taman-Nya. "Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan," (QS. Al Hijr, 15: 47) "mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya." (QS. Al Kahfi, 18: 108)

Anugerah Allah Terpenting: Ridha-Nya

Allah telah menjanjikan kepada orang yang beriman, lelaki maupun wanita, taman-taman yang di bawahnya mengalir sungai, untuk tinggal di dalamnya, dan gedung-gedung indah di dalam taman kebahagiaan abadi. Tetapi kebahagiaan terbesar adalah ridha Allah: itulah kebahagiaan utama. (QS. At-Taubah, 9: 72)
Pada halaman-halaman terdahulu, telah disebutkan tentang anugerah mulia yang dikaruniakan Allah atas manusia di surga. Nyatalah bahwa surga itu adalah sebuah tempat yang berisi semua kesenangan yang dapat dirasakan manusia dengan panca indranya. Namun, keunggulan surga adalah ridha Allah. Bagi mereka yang beriman, memperoleh ridha Allah menjadi sumber kedamaian dan kesenangan di hari akhirat. Lebih jauh lagi, melihat anugerah Allah dan bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya membuat mereka gembira. Di dalam Al Quran, orang-orang yang beriman digambarkan sebagai berikut:
Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (QS. Al Maaidah, 5: 119)
Apa yang membuat anugerah surga begitu berharga adalah keridhaan Allah. Jenis anugerah yang sama dapat juga ada di dunia ini, namun jika ridha Allah tidak ada, orang-orang yang beriman tidak menikmati anugerah-anugerah ini. Ini adalah masalah penting yang perlu direnungkan. Apa yang sebenarnya membuat suatu anugerah berharga adalah sesuatu di luar nikmat dan kesenangan yang diberikannya. Yang benar-benar berarti, adalah fakta bahwa Allah telah melimpahkan anugerah itu.
Seorang yang beriman yang mendapatkan anugerah sedemikian dan bersyukur kepada Penciptanya memperoleh kesenangan utamanya dari mengetahui bahwa hal itu merupakan kemurahan Allah. Kepuasan dapat ditemukan hanya dari fakta bahwa Allah melindunginya, mencintainya dan bahwa Penciptanya menunjukkan kasih sayang-Nya kepadanya. Oleh karena itu, hati seseorang hanya mengambil kesenangan dari surga. Dia diciptakan sebagai hamba Allah dan karenanya dia hanya mengambil kesenangan dari kemurahan-Nya.
Karena itulah sebuah "surga di bumi" utopia orang yang tidak beriman tidak pernah ada di dunia ini. Malahan jika segala sesuatu yang ada di surga dikumpulkan dan diletakkan di dunia ini, ia tetap tidak berarti tanpa keridhaan Allah.
Ringkasnya, surga adalah pemberian Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sejati dan karena itu begitu penting bagi mereka. Karena, "merupakan hamba-hamba yang dimuliakan" (QS. Al Anbiyaa' 21: 26), mereka memperoleh kebahagiaan dan kesenangan yang abadi. Ucapan orang-orang yang beriman di surga adalah, "Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia." (QS. Ar-Rahmaan, 55: 78)

Neraka

Tempat orang-orang yang tidak beriman tinggal selamanya diciptakan khusus untuk memberikan siksaan bagi jasad dan jiwa manusia. Hal ini semata karena orang-orang yang tidak beriman bersalah atas dosa besar dan keadilan Allah menuntut hukuman atas mereka.
Tidak bersyukur dan ingkar terhadap Sang Pencipta, Dia yang memberi jiwa kepada manusia, adalah kesalahan terbesar di seluruh alam semesta. Karenanya, di hari akhirat ada azab yang pedih bagi kesalahan besar seperti itu. Itulah fungsi neraka. Manusia diciptakan sebagai hamba Allah. Jika dia menolak tujuan utama penciptaan dirinya, maka jelas dia akan menerima ganjaran yang setimpal. Allah menyatakan dalam hal ini dalam salah satu ayat:
…orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina. (QS. Al Mu'min, 40: 60)
Karena kebanyakan manusia pada akhirnya akan dikirim ke neraka dan hukuman di dalamnya tanpa batas waktu dan abadi, maka sasaran utama, tujuan dasar dari kemanusiaan adalah untuk menghindari neraka. Ancaman terbesar bagi manusia adalah neraka dan tidak ada yang mungkin lebih penting daripada menyelamatkan jiwa darinya.
Walaupun begitu, hampir semua manusia di muka bumi hidup dalam keadaan tidak sadar. Mereka menyibukkan diri dengan masalah-masalah lain dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bekerja selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun untuk hal yang tidak berarti, namun tidak pernah berpikir tentang ancaman terbesar, bahaya paling serius bagi keberadaan mereka selamanya. Neraka berada tepat di hadapan mereka; namun mereka terlalu buta untuk melihatnya:
Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 1-3)
Orang-orang seperti ini sibuk dengan usaha yang sia-sia. Mereka menghabiskan seluruh hidup mengejar sasaran-sasaran yang tidak masuk akal. Pada kebanyakan waktu, tujuan mereka dipromosikan dalam perusahaan, pernikahan, memiliki "kehidupan rumah tangga yang bahagia", memperoleh banyak uang atau menjadi pembela ideologi yang tak berguna. Kala melakukan hal-hal ini, mereka tidak sadar akan ancaman besar di hadapan mereka. Bagi mereka, neraka hanyalah fiksi khayalan.
Pada kenyataannya, neraka lebih nyata daripada dunia ini. Dunia akan berakhir setelah sekian waktu, tetapi neraka akan terus ada selamanya. Allah, Pencipta alam semesta dan dunia ini serta semua keseimbangan pelik di alam, telah menciptakan pula hari akhirat, neraka, dan surga. Azab yang pedih dijanjikan kepada semua yang ingkar dan munafik:
Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. Al Mujaadi-lah, 58: 8)
Neraka, tempat terjelek yang dapat dibayangkan, adalah sumber dari siksaan yang total. Siksaan dan kesakitan ini tidak sama dengan rasa sakit apa pun di dunia ini. Ia jauh lebih kuat daripada rasa sakit ataupun kesengsaraan yang dapat dihadapi seseorang di dunia ini. Ini sudah tentu pekerjaan Allah, Yang Mahamulia dalam kebijaksanaan.
Kenyataan kedua tentang neraka adalah bahwa, untuk setiap orang, siksaan ini tanpa batas waktu dan abadi. Kebanyakan manusia dalam masyarakat yang jahil ini mempunyai kesalahpahaman yang umum tentang neraka: mereka mengira bahwa mereka akan "menjalani hukuman mereka" di neraka untuk waktu tertentu dan kemudian mereka akan diampuni. Ini hanyalah lamunan belaka. Kepercayaan ini khususnya juga tersebar luas di antara mereka yang mengira diri mereka orang yang beriman namun abai melakukan tugas-tugas mereka terhadap Allah. Mereka mengira bahwa mereka dapat memperturutkan hawa nafsu dunia sebanyak mungkin. Menurut keyakinan yang sama, mereka akan memperoleh surga setelah menerima hukuman di neraka untuk beberapa saat. Namun, akhir yang menunggu mereka lebih menyakitkan daripada yang mereka perkirakan. Neraka jelas merupakan tempat penyiksaan tanpa akhir. Di dalam Al Quran, seringkali ditekankan bahwa azab bagi mereka yang tidak beriman itu terus-menerus dan tanpa akhir. Ayat berikut mempertegas fakta ini: "Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya." (QS. An-Naba', 78: 23)
Tidak bersyukur dan ingkar terhadap sang Pencipta yang "memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati" (QS. An-Nahl, 16: 78) tentulah layak menerima penderitaan tanpa akhir. Alasan yang diajukan tidak akan menyelamatkan seseorang dari neraka. Keputusan yang diberikan bagi mereka yang memperlihatkan ketidakacuhan atau lebih jelek lagi, kebencian terhadap agama yang digariskan Penciptanya bersifat pasti dan tak berubah. Di dunia, mereka angkuh dan menghindar dari ketundukan terhadap Allah yang Mahakuasa. Mereka juga merupakan musuh besar orang mukmin sejati. Di hari penghisaban, mereka akan mendengarkan kata-kata berikut:
Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu. (QS. An-Nahl, 16: 29)
Ciri neraka yang paling menakutkan adalah sifat keabadiannya. Sekali di neraka, maka tidak ada jalan kembali. Satu-satunya realitas adalah neraka beserta berbagai jenis siksaan. Berhadapan dengan azab yang abadi seperti itu, seseorang akan jatuh putus asa. Dia tidak mempunyai pengharapan apa pun lagi. Keadaan ini diuraikan dalam Al Quran sebagai berikut:
Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya." (QS. As-Sajdah, 32: 20)

Siksaan di Neraka

Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. (QS. Al Balad, 90 : 19-20)
Pada hari penghisaban, akan ada miliaran orang, namun kerumunan besar ini tidak akan memberikan kesempatan bagi orang-orang kafir untuk melarikan diri dari penghisaban. Setelah penghisaban orang-orang kafir berlangsung di hadapan Allah, mereka akan dinamai "ahli kiri". Inilah waktunya mereka akan dikirim ke neraka. Dari saat ini, mereka akan memahami dengan kepahitan bahwa neraka akan menjadi tempat tinggal mereka yang kekal. Mereka yang dikirim ke neraka datang bersama malaikat penggiring dan malaikat penyaksi:
Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Dan yang menyertai dia berkata: "Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku." Allah berfirman: "Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat." (QS. Qaf, 50: 20-26)
Orang-orang kafir digiring ke tempat yang mengerikan ini "dalam rombongan-rombongan". Namun, dalam perjalanan ke sana, ketakutan akan neraka menghantui hati mereka. Suara yang menakutkan dan kobaran api terdengar dari kejauhan.
Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?."…(QS. Al Mulk, 67: 7-8)
Dari ayat ini, jelas bahwa ketika mereka dibangkitkan kembali, semua orang kafir akan mengerti apa yang akan menimpa mereka. Mereka tinggal sendiri; tanpa teman, sanak saudara, atau pengikut untuk menolong. Orang-orang kafir tidak akan berdaya untuk bersikap angkuh dan mereka akan kehilangan semua kepercayaan dirinya. Mereka akan memandang dengan mata berpaling. Salah satu ayat yang mendeskripsikan momen ini adalah sebagai berikut:
Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) terhina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri (kehilangan) dan keluarga mereka pada hari kiamat." Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal. (QS. Asy-Syuura, 42: 45)
Neraka penuh dengan kebencian. Kelaparannya dengan orang kafir tidak pernah terpuaskan. Walau ada begitu banyak orang kafir, ia masih meminta lebih banyak lagi:
Hari Kami bertanya kepada jahanam : "Apakah kamu sudah penuh ?" Dia menjawab : "Masih ada tambahan ?" (QS. Qaaf, 50: 30)
Allah menguraikan neraka dalam Al Quran sebagai berikut:
Aku akan memasukkannya ke dalam Saqar. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (QS. Al Muddatstsir, 74: 26-28)
Hidup Tanpa Akhir di Belakang Pintu yang Terkunci
Begitu orang-orang kafir sampai di neraka, pintu-pintu dikunci di belakang mereka. Di sini, mereka melihat pemandangan yang paling menakutkan. Mereka segera paham bahwa mereka akan "dihadiahkan" kepada neraka, tempat mereka untuk selamanya. Pintu-pintu yang terkunci menunjukkan bahwa tidak akan ada penyelamatan. Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir sebagai berikut:
Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. (QS. Al Balad, 90: 19-20)!
Azab tersebut di dalam Al Quran disebut sebagai "azab yang besar" (QS. Ali Imran, 3: 176), "siksa yang berat" (QS. Ali Imran, 3: 4), dan "siksa yang pedih" (QS. Ali Imran, 3: 21). Deskripsi tersebut belum memadai untuk memberikan pemahaman sepenuhnya tentang hukuman di neraka. Manusia yang tidak sanggup menahan sekadar nyala api kecil di dunia, tidak dapat memahami bagaimana terbakar api selamanya. Lebih jauh lagi, rasa sakit akibat api di dunia tidak sebanding dengan siksaan yang dahsyat di neraka. Tidak ada rasa sakit yang dapat menyamai apa yang dirasakan di neraka:
Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (QS. Al Fajr, 89: 25-26)
Begitulah kehidupan di neraka. Namun itu adalah sebuah kehidupan yang setiap saatnya penuh siksa dan derita. Setiap jenis siksaan fisik, mental, dan jiwa, berbagai jenis siksaan dan hinaan mengamuk dalam kehidupan itu. Membandingkannya dengan kesusahan di dunia adalah hal yang mustahil.
Penghuni neraka menanggungkan rasa sakit melalui seluruh panca indranya. Mata mereka melihat bentuk-bentuk yang menjijikkan dan mengerikan; telinga mereka mendengar jeritan, raungan, dan tangis kengerian, hidung mereka penuh dengan bau yang mengerikan dan sengit; lidah mereka mengecap rasa yang amat busuk, tak tertahankan. Mereka merasakan neraka hingga ke dalam sel-sel mereka; rasa sakit yang dahsyat dan membuat gila, yang sukar untuk dibayangkan di dunia ini. Kulit mereka, organ-organ tubuh mereka, dan seluruh jasad mereka hancur dan mereka menggeliat-geliat kesakitan.
Penghuni neraka sangat tahan rasa sakit dan mereka tidak pernah mati. Oleh karena itu, mereka tidak pernah dapat menyelamatkan diri dari siksaan. Dalam Al Quran, rasa sakit diterangkan sebagai berikut: "alangkah beraninya mereka menentang api neraka!" (QS. Al Baqarah, 2: 175) Kulit mereka sembuh kembali saat mereka dibakar; siksaan yang sama berlangsung terus selamanya; intensitas siksaan tidak pernah berkurang. Sekali lagi, Allah berfirman dalam Al Quran: "Masuklah kamu ke dalamnya; maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu." (QS. At-Thuur, 52: 16)
Tidak kalah dari rasa sakit fisik, rasa sakit mental juga dahsyat di neraka. Penghuni neraka merasa luar biasa menyesal, jatuh ke dalam ketiadaan harapan, merasa putus asa dan menghabiskan waktu dalam keputusasaan. Setiap sudut, setiap tempat di neraka dibuat untuk memberikan penderitaan mental. Penderitaan itu abadi; jika saja ia akan berakhir setelah jutaan atau miliaran tahun, sekadar kemungkinan jangka panjang seperti itu saja sudah dapat membangkitkan harapan besar dan menjadi alasan kuat untuk kebahagiaan dan kegembiraan. Namun, keabadian siksaan akan menanamkan sejenis rasa putus harapan yang tidak dapat dibandingkan dengan perasaan serupa mana pun di dunia ini.
Menurut deskripsi Al Quran, neraka adalah tempat di mana rasa sakit luar biasa dialami: bau-bau yang menjijikkan; ia sempit, ribut, penuh asap, dan muram, menyuntikkan rasa tidak aman ke dalam jiwa manusia; api membakar hingga ke dalam jantung; makanan dan minuman yang menjijikkan; pakaian dari api dan aspal cair.
Inilah karakteristik dasar neraka. Bagaimanapun, ada kehidupan yang berlangsung di dalam lingkungan mengerikan. Penghuni neraka memiliki indra yang tajam. Mereka mendengar, berbicara, dan berdebat, dan mereka mencoba untuk melarikan diri dari penderitaan. Mereka terbakar dalam api, menjadi haus dan lapar, dan merasakan penyesalan. Mereka disiksa oleh perasaan bersalah. Yang lebih penting lagi, mereka ingin terbebas rasa sakit. Para penghuni neraka menjalani hidup yang tidak terbatas yang lebih rendah dari hewan di lingkungan yang kotor dan menjijikkan ini. Satu-satunya makanan yang mereka miliki adalah buah pahit berduri dan pohon zaqqum. Sedangkan, minuman mereka adalah darah dan nanah. Sementara, api menelan mereka di mana-mana. Penderitaan di neraka dilukiskan sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa', 4: 56)
Dengan kulit koyak-moyak, daging terbakar, dan darah bepercikan di mana-mana, mereka dirantai dan dicambuk. Dengan tangan terikat ke leher mereka, mereka dilemparkan ke pusat neraka. Malaikat azab, sementara itu, menempatkan mereka yang bersalah di ranjang api, selimutnya pun dari api. Peti mati tempat mereka ditempatkan tertutup api.
Orang-orang kafir terus-menerus menjerit agar diselamatkan dari segala siksaan itu. Dan mereka sering menerima balasan hanya berupa lebih banyak hinaan dan siksaan. Mereka ditinggalkan sendiri dalam penderitaan mereka. Mereka yang dulunya dikenal dengan keangkuhannya di dunia sekarang memohon-mohon ampunan. Lebih jauh lagi, hari-hari di neraka tidak sama dengan hari-hari di dunia, berapa lamakah satu menit di dalam penderitaan abadi, berapa lamakah sehari, seminggu, sebulan, atau setahun pada kesakitan tak berhingga dan tanpa akhir?
Semua adegan ini akan menjadi kenyataan. Semuanya nyata. Lebih nyata dari kehidupan kita sehari-hari.
Mereka "yang menyembah Allah dengan berada di tepi" (QS. Al Hajj, 22: 11); mereka yang berkata, "Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung" (QS. Ali 'Imran, 3: 24); mereka yang menjadikan hal-hal seperti uang, status, dan karir sebagai tujuan utama hidup mereka dan karenanya mengabaikan ridha Allah; mereka yang mengubah perintah-perintah Allah sesuai dengan keinginan dan nafsu mereka; mereka yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan kepentingan mereka; mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus; ringkasnya semua orang kafir dan munafik akan menghuni neraka, kecuali mereka yang dimaafkan dan diselamatkan Allah dengan kemurahan-Nya. Inilah kata-kata Allah yang meyakinkan dan pasti akan terjadi:
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari pada-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (QS. As-Sajdah, 32: 13)
Ada fakta lain tentang neraka; orang-orang ini secara khusus diciptakan untuk neraka, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A'raaf, 7: 179)
Meski semua penderitaan yang mereka alami, tidak akan ada seorang pun memberi pertolongan kepada penghuni neraka. Tidak ada yang sanggup menyelamatkan mereka darinya. Dibuang seperti itu akan memberi mereka perasaan kesepian yang pahit. "Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.." (QS. Al Haaqqah, 69: 35) Di sekeliling mereka, hanya ada "Malaikat Azab" yang menerima perintah dari Allah. Mereka ini adalah para penjaga yang luar biasa keras, tanpa ampun, dan mengerikan, yang mengemban tanggung jawab tunggal memberi siksaan dahsyat terhadap penghuni neraka. Rasa kasihan telah dihilangkan sepenuhnya dari jiwa para malaikat ini. Di samping siksaan yang mereka berikan, mereka juga memiliki penampilan, suara, dan gerak-gerik yang menakutkan. Tujuan keberadaan mereka adalah untuk membalas mereka yang mengingkari Allah, dan mereka melaksanakan tanggung jawab mereka dengan perhatian dan ketelitian yang sepatutnya. Tidak mungkin mereka akan memberikan "perlakuan yang pilih kasih" kepada siapa pun.
Inilah sebenarnya bahaya nyata yang menunggu setiap diri di bumi. Manusia, yang ingkar dan tak bersyukur kepada Penciptanya, dan karenanya melakukan tindakan keliru terbesar, tidak diragukan lagi layak menerima pembalasan seperti itu. Allah, karenanya, memperingatkan manusia terhadap hal ini:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6)
Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya, kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. (QS. Al 'Alaq, 96: 15-18)
Permohonan Putus Asa dan Tanpa Harapan
Penghuni neraka berada dalam keadaan tanpa harapan. Siksaan yang mereka jalani sangat kejam dan tanpa akhir. Harapan mereka satu-satunya adalah menangis dan meminta keselamatan. Mereka melihat para penghuni surga dan meminta air dan makanan. Mereka mencoba bertobat dan meminta ampunan Allah. Namun, semuanya sia-sia.
Penghuni neraka memohon kepada para penjaga. Mereka bahkan menghendaki para penjaga itu sebagai perantara antara mereka dan Allah dan meminta belas kasihan. Rasa sakit begitu tidak tertahankan dan mereka ingin dibebaskan darinya walau hanya untuk satu hari:
Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari." Penjaga Jahanam berkata: "‘Dan apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?" Mereka menjawab: "Benar, sudah datang." Penjaga-penjaga Jahanam berkata: "Berdoalah kamu". Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS. Al Ghafir, 40: 49-50)
Orang-orang kafir mencoba lebih jauh lagi mencari pengampunan, namun mereka ditolak dengan tegas:
Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya, maka jika kami kembali, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim." Allah berfirman: "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku." Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa : "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik." Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu menertawakan mereka, Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang. (QS. Al Mu'minuun, 23: 106-111)
Ini benar-benar perkataan terakhir Allah terhadap penghuni neraka. Firman-Nya, "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku." sudah final. Sejak itu, Allah tidak pernah mempertimbangkan lagi tentang para penghuni neraka. Tak seorang pun suka bahkan sekadar memikirkan situasi ini.
Sementara penghuni neraka disiksa, mereka yang memperoleh "kebahagiaan dan keselamatan", yakni orang-orang yang beriman, tinggal di surga menikmati keberuntungan dari kemurahan yang tanpa akhir. Penderitaan para penghuni neraka menjadi lebih hebat ketika mereka melihat dan mengamati kehidupan mereka yang beriman di surga. Memang, tatkala menjalani siksaan yang tak tertahankan, mereka dapat "menonton" kenikmatan yang luar biasa di surga.
Orang-orang yang beriman, yang ditertawakan orang-orang kafir di dunia, sekarang menjalani hidup yang penuh dan bahagia, tinggal di tempat-tempat yang mulia, rumah-rumah megah dengan wanita-wanita yang cantik, dan menikmati makanan dan minuman yang lezat. Penampakan orang-orang yang beriman di dalam kedamaian dan kelimpahan makin memperkuat penghinaan di neraka. Pemandangan ini menambahkan sakit dan derita kepada kesedihan mereka. Penyesalan itu bertambah dalam dan kian dalam. Karena tidak mematuhi perintah Allah di dunia, mereka merasakan penyesalan yang dalam. Mereka berpaling kepada orang-orang beriman di surga dan mencoba untuk berbicara kepada mereka. Mereka memohon pertolongan dan simpati. Namun, ini hanyalah usaha yang sia-sia. Para penghuni surga juga melihat mereka. Penampilan dan kehidupan mereka yang mulia membuat mereka semakin bersyukur kepada Allah. Berikut ini adalah percakapan antara para penghuni neraka dan penghuni surga:
Berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian." Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat. (QS. Al Muddatstsir, 74: 40-48)

Sebuah Peringatan Agar Terhindar dari Siksaan

Pada bab ini, kita membahas tentang dua kelompok manusia; mereka yang beriman kepada Allah mereka yang mengingkari keberadaan-Nya. Juga telah ditampilkan gambaran umum tentang neraka, begitu pula surga, seluruhnya berdasarkan kepada deskripsi qurani. Tujuannya bukanlah untuk memberikan keterangan tentang agama, melainkan untuk mengingatkan dan mengancam orang-orang yang tidak beriman bahwa Hari Akhirat akan menjadi sebuah tempat yang mengerikan bagi mereka dan akhir mereka akan sangat menakutkan.
Setelah semua pembahasan, perlu ditekankan bahwa manusia, tak diragukan lagi, bebas untuk mengambil keputusannya. Dia dapat menjalani hidupnya sebagaimana ia inginkan. Tidak seorang pun punya hak untuk memaksa orang lain percaya. Namun, begitu orang-orang yang mengimani keberadaan Allah dan keadilan-Nya yang maha, kita mengemban tanggung jawab untuk memperingatkan manusia terhadap hari yang begitu mengerikan. Orang-orang ini jelas tidak menyadari situasi mereka dan akhir macam apa yang menunggu mereka. Oleh karena itu, kita merasa bertanggung jawab untuk memperingatkan mereka. Allah menerangkan kepada kita tentang keadaan orang-orang ini:
Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan- itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah, 9: 109)
Mereka yang mengingkari perintah Allah di dunia ini dan, sadar atau tidak, menyangkal keberadaan Pencipta mereka, tidak memiliki syafaat di hari akhir. Karenanya, sebelum kehilangan waktu, setiap orang harus menyadari situasinya di hadapan Allah dan tunduk patuh kepada-Nya. Jika tidak, dia akan menyesalinya dan menghadapi akhir yang menakutkan:
Orang-orang yang kafir itu seringkali menginginkan, kiranya mereka dahulu menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan, maka kelak mereka akan mengetahui. (QS. Al Hijr, 15: 2-3)
Cara untuk menghindari azab yang abadi, meraih kebahagiaan abadi, dan memperoleh ridha Allah sudah jelas:
Sebelum terlambat, berimanlah dengan sebenar-benarnya kepada Allah,
Isilah hidup Anda dengan amal saleh untuk mendapatkan ridha-Nya….

PERINGATAN!!
Bab yang akan Anda baca ini mengungkapkan rahasia penting kehidupan Anda. Bacalah dengan saksama dan menyeluruh karena bab ini menyangkut permasalahan yang dapat merubah pandangan Anda terhadap dunia luar. Pokok bahasan bab ini bukan sekadar sudut pandang, pendekatan yang berbeda atau pemikiran filsuf tradisional, melainkan fakta yang harus diakui semua orang yang percaya ataupun tidak, dan telah dibuktikan pula oleh ilmu pengetahuan dewasa ini.


INTISARI MATERI

Orang yang merenungkan sekelilingnya dengan kritis dan bijaksana akan menyadari bahwa segala sesuatu di alam semesta ini — benda hidup atau-pun mati — pasti diciptakan. Sehingga pertanyaannya adalah: "Siapakah pencipta semua ini?"
Jelas bahwa "fakta penciptaan" yang tampak dalam setiap aspek alam semesta, mustahil hasil ciptaan alam semesta itu sendiri. Contohnya, seekor kutu tidak bisa menciptakan dirinya sendiri. Sistem tata surya tidak dapat menciptakan atau mengorganisir diri sendiri. Tanaman, manusia, bakteri, sel darah merah dan kupu-kupu juga tidak dapat menciptakan diri sendiri. Kemungkinan bahwa semua ini bermula "secara kebetulan" bahkan tidak terbayangkan sama sekali.
Oleh karena itu, kita berkesimpulan: segala sesuatu yang kita lihat telah diciptakan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang kita lihat dapat menjadi "pencipta" diri sendiri. Pencipta berbeda dan lebih unggul daripada semua yang kita lihat. Kekuatan Pencipta tidak terlihat tetapi keberadaan dan tanda-tandanya terungkap dalam segala sesuatu yang ada di alam.
Orang-orang yang menolak keberadaan Allah tidak sependapat tentang hal ini. Orang-orang ini terkondisikan untuk tidak mempercayai keberadaan-Nya kecuali mereka melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Kaum ini, yang mengabaikan fakta "penciptaan", terpaksa mengabaikan aktualitas "penciptaan" yang terwujud di seluruh alam semesta dan secara keliru membuktikan bahwa alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak diciptakan. Teori evolusi merupakan contoh utama usaha mereka yang sia-sia.
Kesalahan mendasar dari mereka yang mengingkari Allah dilakukan pula oleh banyak orang yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menolak keberadaan Allah tetapi mempunyai persepsi salah tentang-Nya. Mereka tidak mengingkari penciptaan tetapi memiliki kepercayaan takhayul mengenai "di mana" Allah. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa Allah berada di "langit". Mereka diam-diam membayangkan bahwa Allah berada di belakang suatu planet sangat jauh dan sewaktu-waktu mencampuri "urusan duniawi". Atau barangkali Allah tidak turun tangan sama sekali: Dia menciptakan alam semesta lalu meninggalkannya begitu saja, dan manusia dibiarkan menentukan nasibnya sendiri.
Sementara itu, kalangan lain mendengar bahwa, Allah berada "di mana-mana", namun mereka tidak dapat memahami maknanya. Mereka berpikir bahwa Allah mengelilingi segala sesuatu seperti gelombang radio atau gas yang tidak dapat diraba dan dilihat.
Akan tetapi, semua gagasan ini dan juga kepercayaan lain yang tidak bisa menjelaskan "di mana" Allah (dan mungkin karena itu mengingkari keberadaan Allah) beranjak dari kesalahan yang sama. Mereka berprasangka tanpa dasar sehingga sampai pada pemahaman yang salah tentang Allah. Prasangka apakah itu?.
Prasangka ini tentang alam dan sifat-sifat materi. Kita demikian terbiasa dengan anggapan tentang keberadaan materi sehingga kita tidak pernah memikirkan apakah materi benar-benar ada atau hanya bayangan. Ilmu pengetahuan modern menghancurkan prasangka ini dan mengungkap sebuah realitas yang sangat penting dan mengesankan.

Dunia Sinyal-Sinyal Elektris

Semua informasi yang kita miliki tentang dunia tempat kita hidup disampaikan kepada kita melalui lima indra kita. Dunia yang kita ketahui terdiri dari apa yang dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung, dikecap lidah, dan didengar telinga kita. Kita tidak pernah berpikir bahwa dunia "luar" mungkin berbeda dengan apa yang disampaikan indra kepada kita, karena kita telah bergantung hanya kepada kelima indra tersebut sejak lahir.
Akan tetapi, penelitian modern dalam berbagai bidang ilmu menunjukkan pemahaman sangat berbeda dan menimbulkan keraguan serius tentang indra kita serta dunia yang kita pahami dengannya.
Titik awal pendekatan ini adalah bahwa gagasan "dunia luar" yang terbentuk dalam otak kita hanya sebuah respon yang diciptakan oleh sinyal-sinyal elektris. Merahnya apel, kerasnya kayu, bahkan, ibu, ayah, keluarga Anda dan segala sesuatu yang Anda miliki, rumah, pekerjaan, kalimat-kalimat dalam buku ini, hanya terdiri atas sinyal-sinyal elektris.
Frederick Vester menjelaskan apa yang telah dicapai ilmu pengetahuan tentang subjek ini:
Pernyataan-pernyataan beberapa ilmuwan bahwa "manusia adalah sebuah citra, segala sesuatu yang dialaminya bersifat sementara dan menipu, dan alam semesta ini adalah bayangan", tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.1
Untuk memperjelas permasalahan ini, mari kita pikirkan indra penglihatan kita, yang memberikan informasi paling luas tentang dunia luar.

Bagaimana Kita Melihat, Mendengar dan Mengecap?

Proses penglihatan terjadi melalui cara yang sangat canggih. Paket-paket cahaya (foton) yang melintas dari objek ke mata melewati lensa di bagian depan mata. Paket-paket cahaya ini terpecah-pecah dan jatuh terbalik pada retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal elektris, kemudian dikirimkan oleh sel-sel saraf ke bintik kecil yang disebut pusat penglihatan di bagian belakang otak. Sinyal listrik ini diterjemahkan sebagai sebuah citra setelah melalui serangkaian proses. Tindakan melihat sebenarnya terjadi dalam bintik kecil ini, yang merupakan tempat gelap pekat dan terisolasi total dari cahaya.
Sekarang, marilah kita kaji kembali proses yang tampaknya biasa dan tidak istimewa ini. Saat kita mengatakan "kita melihat", sebenarnya kita melihat efek impuls yang mencapai mata dan muncul di dalam otak setelah cahaya diubah menjadi sinyal listrik. Jadi ketika kita mengatakan "kita melihat" sebenarnya kita sedang mengamati sinyal-sinyal elektris di dalam otak kita.
Semua citra yang kita lihat dalam kehidupan dibentuk di dalam pusat penglihatan, yang hanya beberapa kubik sentimeter dari keseluruhan volume otak. Baik buku yang sedang Anda baca maupun dataran tanpa batas yang Anda lihat ketika menatap cakrawala tercakup dalam ruangan kecil ini. Hal lain yang harus diingat adalah bahwa otak terisolasi dari cahaya, di dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada kontak antara otak dengan cahaya itu sendiri.
Kita dapat menjelaskan situasi menarik ini dengan sebuah contoh. Andaikan ada sebuah lilin menyala di depan kita. Kita bisa duduk di depan lilin tersebut dan memperhatikannya untuk beberapa lama. Selama itu otak kita tidak pernah bersentuhan langsung dengan cahaya lilin. Bahkan ketika kita melihat cahaya lilin, bagian dalam otak kita gelap gulita. Kita melihat dunia yang berwarna-warni dan cerah di dalam otak kita yang gelap.
R.L. Gregory memberikan penjelasan berikut tentang aspek menakjubkan dari melihat, suatu kegiatan yang kita anggap biasa saja:
Kita begitu terbiasa dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan ini adalah suatu keajaiban.2
Hal yang sama berlaku pula bagi seluruh indra kita. Suara, sentuhan, rasa dan aroma seluruhnya dikirimkan dalam bentuk sinyal-sinyal listrik ke otak, di mana sinyal-sinyal ini diterjemahkan di pusatnya masing-masing.
Proses mendengar terjadi dengan cara yang sama. Telinga luar menangkap suara melalui daun telinga dan membawanya ke telinga bagian tengah; telinga bagian tengah meneruskan dan memperkuat getaran suara ini ke telinga bagian dalam; telinga bagian dalam mengubah getaran suara ini menjadi sinyal-sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Seperti halnya mata, tindakan mendengar berakhir di pusat pendengaran dalam otak. Otak kita terisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya. Oleh karena itu, bagaimanapun gaduhnya di luar, bagian dalam otak sunyi senyap.
Semua yang kita lihat sehari-hari dibentuk dalam "pusat penglihatan", di belakang otak kita, yang hanya berukuran beberapa sentimeter kubik. Baik buku yang sedang Anda baca, maupun pemandangan tanpa batas yang Anda saksikan ketika memandang horizon termuat dalam ruang kecil ini. Karenanya, kita tidak melihat objek dengan ukuran sebenarnya di luar, namun dalam ukuran yang ditangkap oleh otak.
Meskipun demikian, suara paling lemah pun bisa ditangkap dalam otak. Proses ini sangat presisi sehingga telinga orang sehat mampu mendengarkan suara apa pun tanpa gangguan atau interferensi asmosferik. Dalam otak yang terisolasi dari suara, Anda menangkap simfoni orkestra, kebisingan di tempat ramai dan semua jenis suara dalam rentang frekuensi yang lebar mulai dari desir dedaunan hingga deru pesawat jet. Namun jika pada saat itu tingkat suara dalam otak Anda diukur dengan suatu peralatan sensitif, akan didapati bahwa di dalam otak sepenuhnya sunyi.
Persepsi kita tentang aroma terbentuk dengan cara yang sama. Molekul-molekul 'volatil' (mudah menguap) yang dikeluarkan benda seperti vanila atau mawar mencapai reseptor (sensor penerima) berupa rambut-rambut lembut di daerah epitel hidung sehingga terjadilah interaksi. Interaksi ini disampaikan ke otak sebagai sinyal elektris dan dipahami sebagai aroma. Segala sesuatu yang kita cium, baik yang enak maupun tidak, pada hakikatnya adalah pemahaman otak terhadap interaksi molekul-molekul volatil yang diubah ke dalam sinyal-sinyal elektris. Anda menangkap bau parfum, bunga, makanan kegemaran, laut atau aroma lain yang Anda suka ataupun tidak, di dalam otak Anda. Molekul-molekul itu sendiri tidak pernah menyentuh otak. Jadi sama dengan pendengaran dan penglihatan, yang sampai ke otak Anda hanya sinyal-sinyal listrik. Dengan kata lain, semua aroma yang sejak lahir Anda anggap berasal dari objek-objek luar, sebenarnya hanya sinyal-sinyal elektris yang Anda rasakan melalui indra.
Demikian pula dengan empat macam reseptor kimiawi di bagian depan lidah manusia. Sensor-sensor ini menangkap rasa asin, manis, asam dan pahit. Setelah serangkaian proses kimia, sensor-sensor rasa mengubah persepsi rasa ini ke dalam sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Sinyal-sinyal ini dipahami sebagai rasa oleh otak. Rasa yang Anda peroleh ketika Anda memakan coklat atau buah yang Anda suka merupakan interpretasi sinyal-sinyal elektris oleh otak. Anda tidak pernah dapat menjangkau objek di luar tersebut; Anda tidak pernah dapat melihat, mencium atau merasakan coklat itu sendiri. Sebagai contoh, jika saraf pengecap yang terhubung ke otak dipotong, apa pun yang Anda makan tidak akan sampai pada otak; Anda akan kehilangan kemampuan mengecap.
Sampai di sini, kita mendapati fakta lain: kita tidak pernah bisa yakin bahwa apa yang kita rasakan ketika kita mengecap makanan adalah sama dengan apa yang orang lain rasakan ketika dia mengecap makanan yang sama, atau apa yang kita tangkap ketika kita mendengar bunyi adalah sama dengan apa yang ditangkap orang lain ketika dia mendengar bunyi yang sama. Terhadap fakta ini, Lincoln Barnett mengatakan bahwa "tidak seorang pun dapat mengetahui apakah orang lain melihat warna merah atau mendengar nada C sama dengan yang dilihat dan didengarnya." 3
Indra peraba kita tidak berbeda dengan indra lainnya. Ketika kita meraba sebuah objek, semua informasi yang membantu kita mengenali dunia luar dan objek-objek dibawa ke otak oleh saraf pada kulit. Rasa sentuhan dibentuk dalam otak kita. Berlawanan dengan keyakinan umum, kita merasakan sentuhan bukan di ujung jari atau kulit melainkan di pusat sentuh di dalam otak. Sebagai hasil tafsiran otak terhadap stimulan-stimulan elektris yang datang dari suatu objek, kita menangkap rasa yang berbeda dari objek-objek tersebut seperti keras atau lunak, panas atau dingin. Kita mendapatkan semua detail informasi yang membantu kita mengenali sebuah objek dari stimulan seperti ini. Dua filsuf terkenal, B. Russell dan L. Wittgeinstein, mengungkapkan pemikiran mereka tentang fakta penting ini sebagai berikut:
Sebagai contoh, apakah sebuah jeruk benar-benar ada atau tidak dan bagaimana buah ini menjadi ada tidak bisa dipertanyakan dan diselidiki. Sebuah jeruk hanya terdiri dari rasa yang dikecap lidah, aroma yang dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya sifat-sifat inilah yang dapat dijadikan bahan pengujian dan penelitian. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah tahu dunia fisik. 4
Tidak mungkin kita menjangkau dunia fisik. Semua objek di sekeliling kita adalah kumpulan persepsi dari penglihatan, pendengaran dan sentuhan. Dengan mengolah data di pusat penglihatan dan di pusat-pusat sensoris lain, seumur hidup otak kita berhadapan bukan dengan materi "asli" yang ada di luar kita, melainkan dengan tiruan yang terbentuk di dalam otak. Pada titik inilah kita keliru mengasumsikan bahwa tiruan-tiruan ini adalah materi-materi sejati di luar kita.

"Dunia Luar" dalam Otak Kita

Berdasarkan fakta-fakta fisik yang telah digambarkan sejauh ini, kita dapat meyimpulkan sebagai berikut: segala sesuatu yang kita lihat, sentuh, dengar dan indrakan sebagai "materi", "dunia" atau "alam semesta" tidak lain hanya sinyal-sinyal listrik dalam otak kita.
Seseorang yang memakan buah pada hakikatnya tidak berhadapan dengan buah sebenarnya tetapi dengan persepsi tentang buah dalam otak. Objek yang dianggap sebagai buah oleh orang tersebut sebenarnya terdiri dari kesan-kesan elektris di dalam otak mengenai bentuk, rasa, bau dan tekstur buah. Jika saraf penglihatan yang terhubung ke otak tiba-tiba rusak, citra buah akan hilang secara tiba-tiba. Putusnya saraf yang menghubungkan sensor-sensor di hidung dengan otak akan mengganggu proses penciuman. Singkatnya, buah hanyalah interpretasi sinyal-sinyal listrik oleh otak.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesan jarak. Jarak, misalnya antara Anda dan buku ini, hanya perasaan hampa yang terbentuk di dalam otak. Objek yang tampak jauh dalam pandangan seseorang terbentuk juga di dalam otak. Sebagai contoh, seseorang yang melihat bintang-bintang di langit beranggapan bahwa bintang-bintang tersebut berada dalam jarak jutaan tahun cahaya darinya. Akan tetapi, apa yang dia "lihat" sebenarnya adalah bintang-bintang dalam dirinya sendiri, yaitu di dalam pusat penglihatannya. Ketika Anda membaca kalimat-kalimat ini, Anda sebenarnya tidak berada di dalam ruangan yang Anda kira, sebaliknya ruanganlah yang berada di dalam diri Anda. Karena melihat tubuh Anda, Anda jadi berpikir bahwa Anda berada di dalamnya. Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa tubuh Anda juga sebuah citra yang dibentuk di dalam otak.
Hal yang sama berlaku pada semua persepsi Anda lainnya. Sebagai contoh, ketika Anda berpikir bahwa Anda mendengar suara televisi di kamar sebelah, Anda sebenarnya sedang mendengarkan suara tersebut di dalam otak Anda. Anda juga tidak dapat membuktikan bahwa kamar tersebut benar-benar ada di sebelah kamar Anda, atau bahwa suara televisi datang dari kamar tersebut. Baik suara yang Anda pikir datang dari jarak beberapa meter maupun bisikan seseorang di sebelah Anda, ditangkap oleh pusat pendengaran yang berukuran hanya beberapa sentimeter persegi di dalam otak Anda. Terlepas dari pusat persepsi ini, tidak ada konsep seperti kanan, kiri, depan atau belakang. Jadi suara tidak datang pada Anda dari kanan, kiri atau dari udara; tidak ada arah dari mana suara tersebut datang.
Aroma yang Anda tangkap demikian pula; tidak satu aroma pun yang sampai kepada Anda dari jarak jauh. Anda beranggapan bahwa hasil akhir yang terbentuk di dalam pusat penciuman adalah aroma objek di luar. Akan tetapi, sebagaimana citra mawar di dalam pusat penglihatan Anda, aroma bunga ini pun berada di dalam pusat penciuman; tidak ada mawar atau aromanya di luar.
"Dunia luar" yang ditunjukkan oleh persepsi kita hanya kumpulan sinyal listrik yang sampai pada otak kita. Sepanjang hidup kita, sinyal-sinyal ini diproses oleh otak dan kita hidup tanpa menyadari bahwa kita telah keliru menganggap sinyal-sinyal tersebut sebagai wujud asli objek-objek yang berada di "dunia luar". Kita telah terpedaya karena kita tidak pernah dapat menjangkau materi itu sendiri dengan indra kita.
Lagi-lagi, otak kitalah yang menafsirkan dan memaknai sinyal-sinyal yang kita anggap sebagai "dunia luar". Sebagai contoh, marilah kita perhatikan indra pendengaran. Sesungguhnya otak kitalah yang mengubah gelombang suara di "dunia luar" menjadi sebuah simfoni. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik adalah persepsi yang dibuat oleh otak kita. Dengan cara yang sama, ketika kita melihat warna, apa yang sampai pada mata kita hanya sinyal-sinyal listrik dengan beragam panjang gelombang. Sekali lagi otak kitalah yang mengubah sinyal-sinyal ini menjadi warna. Tidak ada warna di "dunia luar". Apel juga tidak merah, langit tidak biru atau pohon tidak hijau. Apel, langit dan pohon terlihat seperti itu hanya karena kita mengindranya seperti itu. "Dunia luar" sepenuhnya tergantung pada pengindraan seseorang.
Bahkan kerusakan kecil pada retina mata dapat menyebabkan buta warna. Ada orang yang menangkap warna biru sebagai hijau, ada yang menangkap merah sebagai biru dan ada pula yang melihat semua warna sebagai abu-abu dengan beragam intensitas. Dalam hal ini, tidak penting lagi apakah objek di luar berwarna atau tidak.
Pemikir terkemuka, Berkeley, juga mengungkapkan fakta ini:
Pada awalnya, dipercaya bahwa warna, aroma dan sebagainya "benar-benar ada", tetapi berangsur-angsur pandangan seperti itu ditinggalkan, dan kemudian dipahami bahwa hal-hal tersebut tergantung pada pengindraan kita.5
Penemuan-penemuan fisika modern menunjukkan bahwa alam semesta merupakan suatu kumpulan persepsi. Pertanyaan berikut muncul pada sampul majalah ilmu pengetahuan Amerika terkenal, New Scientist yang mengangkat fakta ini dalam terbitan 30 Januari 1999: "Di Luar Realitas: Apakah Alam Semesta Sebenarnya Sebuah Pesiar Informasi dan Materi Hanyalah Fatamorgana?"

Pengetahuan Manusia Yang Terbatas

Makna lain dari berbagai kenyataan yang telah dipaparkan sejauh ini adalah bahwa sebenarnya, pengetahuan manusia tentang dunia luar sungguh sangat terbatas.
Pengetahuan itu terbatas pada kelima indra kita, dan tidak ada bukti bahwa dunia yang kita kenali melalui kelima indra itu sama persis dengan dunia "yang sesungguhnya".
Jadi, dunia tersebut bisa saja sangatlah berbeda dari apa yang kita kenali. Mungkin saja terdapat sangat banyak dimensi dan wujud lain yang belum kita ketahui. Sekalipun jika kita menjangkau titik-titik terjauh dari alam semesta, pengetahuan kita akan senantiasa tetap terbatas. Tuhan Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu, memiliki pengetahuan menyeluruh dan sempurna atas segala sesuatu yang, karena telah diciptakan Tuhan, mampu memiliki sebatas pengetahuan yang Dia izinkan.
Dalam hal ini, filsuf ilmu pengetahuan terkemuka, Bertrand Rusell, menulis:
Sentuhan yang terasa ketika kita menekan meja dengan jari-jari kita, yaitu gangguan elektris pada proton dan elektron di ujung jari kita. Menurut fisika modern, hal ini dihasilkan oleh kedekatan proton dan elektron pada meja. Jika gangguan elektris yang sama pada ujung jari kita ditimbulkan dengan cara lain, kita masih merasakan meja di ujung jari kita, walaupun meja tersebut tidak ada. 6
Memang kita mudah tertipu, mempercayai suatu persepsi walaupun dalam kenyataannya tidak ada materi yang berkaitan dengannya. Kita sering mengalami perasaan ini dalam mimpi. Dalam mimpi, kita mengalami kejadian, melihat orang, objek dan lingkungan yang tampak nyata. Tetapi semuanya hanya persepsi. Tidak ada perbedaan mendasar antara mimpi dan "dunia nyata"; keduanya dialami dalam otak.

Siapakah Sang Pelaku Pengindraan?

Seperti yang telah kita bahas sejauh ini, tidak ada keraguan terhadap fakta bahwa dunia yang kita pikir kita diami dan kita sebut "dunia luar" dibentuk di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan penting. Jika semua kejadian fisik yang kita ketahui, pada hakikatnya adalah persepsi, bagaimana dengan otak kita? Karena otak kita adalah bagian dari dunia fisik seperti halnya lengan, kaki atau objek lain, maka otak pun seharusnya merupakan persepsi seperti semua objek lainnya.
Sebuah contoh tentang mimpi akan membuat masalah ini menjadi lebih jelas. Mari kita pikirkan bahwa kita melihat mimpi dalam otak kita sesuai dengan apa yang telah dikatakan sejauh ini. Di dalam mimpi kita akan memiliki tubuh imajiner, lengan imajiner, mata imajiner dan otak imajiner. Jika selama mimpi kita ditanya "Di mana Anda melihat?", kita akan menjawab "Saya melihat di dalam otak saya". Meskipun sebenarnya tidak ada otak untuk kita bicarakan, hanya ada kepala imajiner dan otak imajiner. Yang melihat citra-citra ini bukan otak imajiner dalam mimpi, melainkan "sesuatu" yang jauh lebih superior daripadanya.
Kita tahu bahwa tidak ada perbedaan fisik antara situasi mimpi dan situasi yang kita sebut sebagai "kehidupan nyata". Jadi ketika dalam setting yang kita sebut "dunia nyata" kita ditanya "di mana Anda melihat" maka jawaban "di dalam otak" sama tidak berartinya dengan contoh di atas. Pada kedua kondisi, entitas yang melihat dan merasa bukan otak, yang bagaimanapun hanya seonggok daging.
Otak adalah setumpuk sel yang terbuat dari proten dan molekul-molekul lemak. Otak terbentuk dari sel-sel saraf yang disebut neuron. Tidak ada kekuatan apa pun dalam potongan daging ini untuk mengamati imaji-imaji, untuk memberi kesadaran, atau untuk menciptakan keberadaan yang kita sebut "diri sendiri".

Sejauh ini, kita telah berbicara berulang-ulang tentang bagaimana kita menyaksikan sebuah salinan dari dunia luar di dalam otak kita. Satu makna pentingnya adalah bahwa kita tidak pernah dapat merasakan dunia luar sebagaimana yang sesungguhnya.
Kenyataan berikutnya, dan yang tidak kalah penting adalah bahwa "wujud mandiri [kesadaran]" di dalam otak kita yang menyaksikan dunia ini tidaklah mungkin otak itu sendiri, yang menyerupai perangkat komputer terpadu: mengolah data yang sampai kepadanya, menerjemahkan ke dalam gambar, dan menampilkannya pada layar. Namun sebuah komputer tidak mampu menyaksikan wujudnya sendiri, tidak pula komputer itu sadar akan keberadaannya.
Ketika otak dianalisa, yang ditemukan hanya lipida dan protein, molekul yang juga terdapat pada organisme lain. Berarti di dalam sepotong daging yang kita sebut "otak", tidak ada apa pun yang dapat digunakan untuk mengamati citra, membangun kesadaran atau mencipta seseorang yang kita sebut "saya".
R. L. Gregory merujuk kekeliruan yang dilakukan orang-orang berkaitan dengan persepsi citra di dalam otak:
Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata menghasilkan gambar di dalam otak. Gambar di dalam otak berarti memerlukan sejenis mata internal untuk melihatnya — tetapi mata internal ini akan memerlukan mata lain lagi untuk melihat gambarnya… dan seterusnya tanpa akhir antara mata dan gambar. Ini benar-benar absurd. 7
Fakta inilah yang menempatkan materialis — yang tidak mempercayai apa pun kecuali materi sebagai kebenaran — dalam kesulitan. Milik siapakah "mata di dalam" yang melihat, yang memahami apa yang dilihatnya dan bereaksi?
Karl Pribram juga menyoroti pertanyaan tentang siapakah sang pelaku pengindraan tersebut, suatu pertanyaan penting di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat:
Sejak zaman Yunani, filsuf-filsuf telah berpikir tentang "hantu di dalam mesin", "orang kecil di dalam orang kecil" dan seterusnya. Di manakah "saya", orang yang menggunakan otaknya? Siapakah dia yang menyadari tindakan memahami? Seperti dikatakan Saint Francis of Assisi: "Yang kita cari adalah siapa yang melihat." 8
Sekarang mari kita renungkan: buku di tangan Anda, ruangan di mana Anda berada, singkatnya, semua citra di depan Anda dilihat di dalam otak. Apakah atom-atom yang melihat citra ini? Atom yang buta, tuli, dan tidak memiliki kesadaran? Apakah tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa senang, merasa tidak bahagia dan semua hal lainnya terdiri atas reaksi elektrokimia antara atom-atom ini?
Ketika kita memikirkan pertanyaan ini, kita melihat bahwa mencari kehendak dalam atom adalah tidak masuk akal. Jelas bahwa sesuatu yang melihat, mendengar dan merasa adalah wujud supramaterial. Wujud ini "hidup" dan dia bukan materi atau citra materi. Wujud ini berhubungan dengan persepsi di depannya dengan menggunakan citra tubuh kita.
Wujud ini adalah "jiwa".
Wujud berakal yang menulis dan membaca kalimat-kalimat ini bukan kumpulan atom dan molekul — serta reaksi kimia di antaranya — melainkan sebuah "jiwa".
Wujud Mutlak yang Nyata
Semua fakta ini membawa kita langsung pada pertanyaan yang sangat penting. Jika sesuatu yang kita akui sebagai dunia materi hanya terdiri dari persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa, lalu apa sumber persepsi-persepsi ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan fakta berikut: materi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur eksistensinya sendiri. Karena materi adalah sebuah persepsi, maka materi bersifat "artifisial". Keberadaan persepsi ini harus disebabkan oleh kekuatan lain, yang berarti bahwa persepsi sebenarnya diciptakan. Selain itu, penciptaan ini harus kontinu. Jika tidak ada penciptaan kontinu dan konsisten, maka apa yang kita sebut materi akan menghilang dan musnah. Mirip dengan televisi, di mana sebuah gambar akan ditayangkan selama sinyal dipancarkan.
Jadi siapa yang membuat jiwa kita melihat bintang, bumi, tanaman, orang, badan kita dan semua yang kita lihat?
Sangat jelas bahwa ada Pencipta Agung, yang telah menciptakan seluruh dunia materi, yaitu kumpulan persepsi, dan yang meneruskan penciptaan-Nya tiada henti. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian hebat, Dia pasti memiliki daya dan kekuatan abadi.
Pencipta ini mengenalkan diri-Nya kepada kita. Dia telah meurunkan sebuah kitab dalam semesta pengindraan yang telah diciptakan-Nya. Melalui kitab tersebut Dia telah menggambarkan diri-Nya sendiri, alam semesta dan alasan keberadaan kita.
Pencipta ini adalah Allah dan nama kitab-Nya adalah Al Quran.
Fakta bahwa langit dan bumi atau alam semesta tidak kekal, bahwa keberadaannya dimungkinkan hanya oleh penciptaan Allah dan bahwa alam semesta akan musnah ketika Dia mengakhiri penciptaan ini.
Jika Tuhan tidak berkehendak menampilkan gambar dunia ini kepada otak kita, maka seluruh alam semesta tidak akan ada lagi untuk kita, dan kita tidak akan pernah mampu menjangkaunya.
Kenyataan bahwa kita tidak pernah mampu berhubungan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini juga menjawab pertanyaan "Di mana Tuhan?" yang menyibukkan pemikiran banyak orang.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, banyak orang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Allah sehingga mereka membayangkan-Nya sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tidak sepenuhnya mencampuri urusan duniawi. Dasar logika ini sebenarnya terletak pada pemikiran bahwa alam semesta adalah kumpulan materi dan Allah berada di "luar" dunia materi ini, yaitu di tempat yang sangat jauh. Pada agama-agama palsu, kepercayaan terhadap Allah terbatas pada pemahaman ini.
Akan tetapi, persis sebagaimana ketidakmampuan kita bersentuhan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini, tidak pula kita mampu memiliki pengetahuan menyeluruh tentang intisari alam semesta tersebut. Semua yang kita tahu adalah keberadaan Pencipta Yang memunculkan segala sesuatu ini menjadi ada—dengan kata lain, Tuhan. Untuk mengungkapkan kebenaran itu, para ulama Islam seperti Imam Rabbani telah berkata bahwa satu-satunya wujud mutlak adalah Tuhan; dan segala sesuatu lainnya, kecuali Dia, hanyalah wujud bayangan [maya/fana].
Karena masing-masing wujud material adalah persepsi, mereka tidak dapat melihat Allah; tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dalam segala bentuknya. Dalam Al Quran, fakta ini dinyatakan dengan: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Anaam, 6: 103).
Kita tidak dapat menangkap keberadaan Allah dengan mata kita, tetapi Allah secara menyeluruh meliputi diri kita, baik bagian dalam maupun bagian luar, termasuk penglihatan dan pemikiran kita. Kita tidak dapat mengucapkan satu kata atau menarik satu napas pun kecuali dengan pengetahuan-Nya.
Ketika seseorang berpikir bahwa tubuhnya tersusun atas "materi", dia tidak dapat memahami fakta penting tersebut. Jika dia menjadikan otaknya sebagai "dirinya", maka tempat yang dia maksud sebagai luar hanyalah 20-30 senti-meter darinya. Namun, ketika dia memahami bahwa materi sebenarnya tidak ada dan bahwa segala sesuatu hanya imajinasi, maka pengertian seperti luar, dalam atau dekat akan kehilangan arti. Allah meliputinya dan Dia "sangat dekat" dengannya.
Allah memberitahu manusia bahwa Dia berada sangat dekat dengan mereka melalui ayat "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat..." (QS. Al Baqarah, 2: 186). Ayat lain berkaitan dengan fakta yang sama: "Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: 'Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia'." (QS. Al Isra, 17: 60).
Manusia keliru dengan berpikir bahwa wujud yang terdekat dengannya adalah dirinya sendiri. Allah sebenarnya lebih dekat dengan kita dari-pada kita sendiri. Sebagaimana disampaikan dalam ayat tersebut, orang-orang hidup tanpa menyadari fakta luar biasa ini karena mereka tidak melihat dengan mata mereka.
Sebaliknya, manusia yang hanya berupa wujud bayangan tidak mungkin memiliki kekuatan dan kehendak lepas dari Allah. Allah memberi wujud bayangan ini perasaan bahwa dirinyalah yang melempar. Dalam kenyataannya, Allah yang melakukan semua tindakan. Jadi jika seseorang beranggapan bahwa apa yang diperbuatnya adalah perbuatan dirinya sendiri, sebenarnya ia menipu dirinya.
Ini adalah kenyataan. Seseorang mungkin tidak mau mengakui kenyataan ini dan berpikir bahwa dirinya adalah wujud yang tidak bergantung kepada Allah; namun sikap ini tidak mengubah apa pun.

Segala Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi

Sebagaimana terlihat dengan jelas, merupakan fakta ilmiah dan logis bahwa "dunia luar" tidak memiliki realitas materialistis tetapi merupakan kumpulan citra yang dihadapkan secara terus-menerus kepada jiwa kita oleh Allah. Akan tetapi, orang biasanya tidak memasukkan, atau cenderung tidak mau memasukkan segala sesuatu ke dalam konsep "dunia luar".
Jika Anda memikirkan hal ini dengan tulus dan berani, Anda akan menyadari bahwa rumah, perabotan di dalamnya, mobil yang mungkin baru saja dibeli, kantor, perhiasan, rekening di bank, koleksi pakaian, suami atau istri, anak-anak, rekan sejawat, dan semua yang Anda miliki sebenarnya termasuk dalam dunia luar imajiner yang diproyeksikan kepada Anda. Segala sesuatu yang Anda lihat, dengar, atau cium — singkatnya, Anda tangkap dengan kelima indra adalah bagian dari "dunia imajiner" ini. Suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda duduki, parfum yang aromanya Anda suka, matahari yang menghangatkan tubuh Anda, bunga dengan warna yang indah, burung yang terbang di depan jendela Anda, speedboat yang bergerak cepat di atas air, kebun Anda yang subur, komputer yang Anda gunakan di tempat kerja, hi-fi dengan teknologi tercanggih di dunia....
Ini adalah kenyataan, karena dunia ini hanyalah kumpulan citra yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji sepanjang hidupnya yang terbatas dengan persepsi-persepsi yang tidak mengandung realitas. Persepsi-persepsi ini sengaja dihadirkan secara menggoda dan memikat.
Sebagian besar orang mengabaikan agamanya karena daya tarik kekayaan, rumah, timbunan emas dan perak, uang, perhiasan, rekening bank, kartu kredit, lemari penuh dengan pakaian, mobil model terbaru; singkatnya, semua bentuk kemakmuran yang mereka miliki atau mereka usahakan untuk memilikinya. Orang-orang seperti ini hanya memikirkan dunia ini dan melupakan hari akhir. Mereka tertipu oleh wajah dunia yang cantik dan gemerlap ini, dan tidak menegakkan shalat, memberi sedekah kepada kaum miskin, melakukan ibadah yang akan membuat mereka bahagia di hari akhir. Mereka mengatakan, "Masih ada yang harus saya kerjakan", "Saya memiliki cita-cita", "Saya punya tanggung jawab", "Saya tidak punya banyak waktu", "Saya harus menyelesaikan pekerjaan", "Saya lakukan nanti saja". Mereka mengisi hidup dengan berusaha hanya untuk bahagia di dunia ini.
Fakta yang kami gambarkan dalam bab ini, yaitu bahwa segala sesuatu adalah citra, merupakan hal yang sangat penting karena implikasinya membuat semua nafsu dan batas-batas menjadi tidak berarti. Pembuktian fakta ini memperjelas bahwa segala sesuatu yang dimiliki dan diusahakan orang, kekayaan yang diperoleh dengan tamak, anak-anak yang mereka banggakan, suami atau istri yang mereka anggap sebagai bagian terdekat, teman-teman mereka, tubuh mereka, kedudukan tinggi yang mereka pertahankan, sekolah yang telah mereka ikuti, liburan yang mereka lalui: semuanya hanyalah ilusi. Oleh karena itu, semua usaha yang dikerahkan, waktu yang dihabiskan serta ketamakan mereka, terbukti tidak berguna.
Itulah mengapa sebagian orang secara tidak sadar mempermainkan diri sendiri ketika mereka membanggakan kekayaan dan harta, atau "kapal pesiar, helikopter, pabrik, perusahaan, rumah dan tanah" mereka, seolah-olah semuanya benar-benar ada. Orang-orang kaya ini dengan bangga bepergian dengan kapal pesiar mereka, memamerkan mobil-mobil mereka, terus membicarakan kekayaan mereka, menganggap bahwa jabatan menempatkan status mereka lebih tinggi dari orang lain, dan terus berpikir bahwa mereka sukses karena semua itu. Orang-orang ini seharusnya memikirkan status apa yang akan mereka dapati bagi diri mereka setelah menyadari bahwa kesuksesan itu bukan apa-apa melainkan ilusi belaka.
Jika seseorang merenungkan dalam-dalam semua yang disampaikan di sini, dia akan segera menyadari sendiri situasi yang luar biasa dan menakjubkan ini: bahwa semua kejadian di dunia tak lebih dari imajinasi belaka...

Dalam kenyataannya, pemandangan ini sering terlihat dalam mimpi pula. Dalam mimpi, mereka pun memiliki rumah, mobil balap, perhiasan sangat mahal, gulungan uang, serta timbunan emas dan perak. Dalam mimpi, mereka juga menempati status sosial tinggi, memiliki pabrik dengan ribuan pekerja, memiliki kekuasaan untuk mengatur banyak orang, berpakaian yang membuat setiap orang kagum. Seperti halnya membanggakan kepemilikan dalam mimpi membuat seseorang menjadi bahan ejekan, ia pasti akan dipermalukan juga jika membanggakan citra yang dilihatnya di dunia ini. Bagaimanapun juga, baik yang dilihatnya dalam mimpi maupun yang dimilikinya di dunia ini hanyalah citra dalam otak.
Sama halnya, cara orang bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang dialami di dunia akan membuat mereka malu ketika menyadari kenyataan sebenarnya. Mereka yang saling bertengkar sengit, berteriak-teriak marah, menipu, menerima suap, terlibat pemalsuan, berbohong, rakus menimbun uang, berbuat salah terhadap orang lain, memukul dan mengutuk orang lain, menjadi penindas, berambisi pada pekerjaan dan status, iri hati, pamer, menganggap diri sendiri suci, dan sebagainya, akan malu ketika menyadari bahwa mereka telah melakukan semua perbuatan ini dalam mimpi.
Karena Allah lah yang menciptakan semua citra ini. Dia lah pemilik akhir segala sesuatu. Menyingkirkan agama demi nafsu imajiner adalah kebodohan besar yang menyebabkan hilangnya kesempatan untuk kehidupan penuh berkah di surga.
Sampai tahap ini, ada satu hal yang harus dipahami dengan baik: di sini tidak dikatakan bahwa fakta yang Anda hadapi menyatakan "semua kepemilikan, kekayaan, anak, suami/istri, teman-teman, status yang menjadikan Anda kikir akan lenyap cepat atau lambat, dan oleh karena itu, semuanya tidak berarti". Yang tepat adalah bahwa "semua hal yang tampaknya Anda miliki sebenarnya tidak ada sama sekali, seluruhnya hanya sebuah mimpi dan tersusun atas citra yang diperlihatkan Allah untuk menguji Anda". Bisa Anda lihat, ada perbedaan besar antara kedua pernyataan di atas.
Meskipun seseorang tidak langsung mau mengakui fakta ini dan lebih suka menipu diri sendiri dengan berasumsi bahwa segala sesuatu yang dimilikinya benar-benar ada, pada akhirnya ia akan mati dan segala sesuatu akan menjadi jelas pada saat ia diciptakan kembali di hari akhir nanti. Akan tetapi, jika ia menghabiskan waktu hidupnya mengejar tujuan-tujuan imajiner, ia akan berharap tidak pernah menjalani hidup tersebut .
Apa yang harus dilakukan oleh manusia bijak, di lain pihak, adalah mencoba memahami kenyataan terbesar alam semesta di sini, di dunia ini, ketika ia masih memiliki waktu. Jika tidak, ia hanya akan menghabiskan hidupnya untuk mengejar mimpi dan menghadapi hukuman pedih di akhirat kelak.

Logika Pendek Materialis

Sejak awal bab ini, dengan jelas dinyatakan bahwa materi bukan wujud mutlak seperti yang dikatakan materialis, melainkan kumpulan rasa yang diciptakan Allah. Materialis menolak mentah-mentah realitas yang merusak filsafat mereka dan mengajukan antitesis yang tidak berdasar.
Sebagai contoh, salah satu pendukung filsafat materialisme abad ke-20, seorang Marxis tulen bernama George Politzer memberikan "contoh bis" sebagai "bukti terkuat" keberadaan materi. Menurutnya, filsuf-filsuf yang berpikir bahwa materi adalah persepsi, akan lari ketika mereka melihat bis (yang akan menabrak mereka), dan ini bukti eksistensi fisik materi.9
Ketika seorang materialis terkenal lainnya, Johnson, diberitahu bahwa materi hanya kumpulan persepsi, dia mencoba "membuktikan" eksistensi fisik batu dengan menendangnya.10
Contoh serupa diperlihatkan oleh Friedrich Engels, pembimbing Politzer dan pendiri materialisme dialektik bersama Marx. Ia pernah menulis "jika kue yang kita makan hanya persepsi, maka kue itu tidak akan menghilangkan rasa lapar kita".11
Masih banyak contoh dan kalimat kasar lainnya seperti "Anda akan mengerti eksistensi materi setelah Anda ditampar" dalam buku-buku materialis terkenal seperti Marx, Engels, Lenin dan lainnya
Kekacauan pemahaman yang menyebabkan materialis memberikan contoh-contoh di atas adalah karena penjelasan "materi adalah persepsi" dipahami sebagai "materi adalah permainan cahaya". Mereka berpikir bahwa konsep persepsi hanya pada penglihatan dan bahwa persepsi seperti sentuhan memiliki korelasi fisik. Contoh bis yang menabrak orang membuat mereka berkata, "Lihat, terjadi tabrakan, jadi itu bukan persepsi". Mereka tidak memahami bahwa semua persepsi yang dialami dalam tabrakan bis seperti hantaman, benturan, dan rasa sakit terbentuk dalam otak.

Mimpi sebagai Contoh

Contoh terbaik untuk menjelaskan realitas ini adalah mimpi. Seseorang dapat mengalami kejadian yang sangat nyata dalam mimpinya. Dia bisa jatuh dari tangga sehingga kakinya patah, mengalami kecelakaan mobil yang fatal, tergilas bis, atau makan kue dan merasa kenyang. Kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari itu juga dialami dalam mimpi secara meyakinkan dan menimbulkan perasaan yang sama pula.
Seseorang yang bermimpi bahwa dirinya tertabrak bis dapat membuka matanya kembali di rumah sakit masih dalam mimpinya dan menyadari bahwa dirinya cacat, tetapi semuanya hanya mimpi. Dia juga bisa bermimpi bahwa dia meninggal dalam sebuah tabrakan mobil, malaikat maut mengambil jiwanya, dan kehidupannya di alam baka dimulai. (Kejadian yang sama dialami dengan cara yang sama dalam kehidupan ini, yang sebenarnya hanya persepsi seperti mimpi tersebut.)
Orang ini dengan sangat jelas menangkap citra, suara, rasa benturan, cahaya, warna, dan semua perasaan lain yang berkaitan dengan kejadian yang dialaminya di dalam mimpi. Persepsi yang diterima dalam mimpinya sama wajarnya dengan persepsi dalam kehidupan "nyata". Kue yang dimakannya di dalam mimpi mengenyangkannya, meskipun kue tersebut hanya persepsi, sebab rasa kenyang pun merupakan persepsi. Padahal pada saat itu, dalam kenyataan, orang ini sedang berbaring di tempat tidur. Sebenarnya tidak ada tangga, lalu lintas, dan bis. Orang yang bermimpi mengalami serta melihat persepsi dan perasaan yang tidak ada di dunia luar. Kenyataan bahwa di dalam mimpi, kita mengalami, melihat, dan merasakan kejadian-kejadian tanpa korelasi fisik dengan "dunia luar", secara jelas mengungkapkan bahwa "dunia luar" sebenarnya hanya terdiri dari persepsi-persepsi.
Mereka yang meyakini filsafat materialisme, dan terutama penganut Marxisme, menjadi sangat marah ketika kenyataan ini diungkapkan. Mereka mengutip contoh-contoh pemikiran dangkal dari Marx, Engels, atau Lenin dan membuat pernyataan yang emosional.
Akan tetapi, orang-orang ini mesti berpikir bahwa mereka juga dapat membuat pernyataan ini di dalam mimpi mereka. Dalam mimpi, mereka juga dapat membaca "Das Kapital", menghadiri pertemuan, berkelahi dengan polisi, terkena pukulan di kepala, bahkan merasakan sakit pada luka-luka mereka. Ketika mereka ditanya dalam mimpi, mereka akan berpikir bahwa apa yang mereka alami dalam mimpi juga terdiri atas "materi absolut"— sebagaimana mereka menganggap segala sesuatu yang mereka lihat ketika bangun adalah "materi absolut". Akan tetapi, baik dalam mimpi atau dalam kehidupan sehari-hari, semua yang mereka lihat, alami atau rasakan hanya terdiri atas persepsi-persepsi.

DUNIA DI DALAM MIMPI

Bagi Anda, realitas adalah semua yang dapat disentuh dengan tangan dan dilihat dengan mata. Di dalam mimpi, Anda juga dapat "menyentuh dengan tangan dan melihat dengan mata Anda", namun dalam kenyataan, Anda tidak memiliki tangan dan mata, juga tidak ada yang dapat disentuh atau dilihat. Tidak ada realitas material yang membuat hal ini terjadi kecuali otak Anda. Anda telah tertipu.
Apakah yang memisahkan kehidupan nyata dengan mimpi? Pada dasarnya kedua bentuk kehidupan tersebut terjadi di dalam otak. Jika kita dengan mudah dapat hidup dalam dunia tak nyata selama bermimpi, hal yang sama dapat terjadi di dunia yang kita diami. Ketika kita terbangun dari sebuah mimpi, tidak ada alasan logis untuk tidak berpikir bahwa kita telah memasuki mimpi yang lebih panjang yang kita sebut "kehidupan nyata". Anggapan kita bahwa mimpi adalah khayalan dan dunia sadar adalah dunia sesungguhnya, merupakan kebiasaan dan praduga. Jadi bisa saja kita dibangunkan dari kehidupan di bumi — yang kita anggap tempat kita hidup sekarang — sebagaimana kita dibangunkan dari sebuah mimpi.

Contoh Penyambungan Saraf secara Paralel

Marilah kita pikirkan tabrakan mobil yang dicontohkan Politzer. Dalam kecelakaan ini, jika saraf orang yang tertabrak — yang menghubungkan kelima indra dengan otaknya — dihubungkan dengan otak orang lain, misalnya otak Politzer, melalui sambungan paralel, maka pada saat bis menabrak orang tersebut, bis yang sama akan menabrak Politzer yang sedang duduk di rumahnya. Dengan kata lain, semua perasaan yang dialami orang tersebut akan dialami oleh Politzer, seperti halnya lagu yang sama didengarkan dari dua pengeras suara yang terhubungkan ke tape recorder yang sama. Politzer akan merasa, melihat dan mengalami bunyi rem bis, benturan bis pada tubuhnya, gambaran lengan patah dan darah tertumpah, nyeri patah tulang, gambaran dirinya memasuki ruang operasi, kerasnya gips dan lemahnya tangan.
Setiap orang yang terhubung ke saraf tersebut secara pararel, akan mengalami kejadian yang sama dari awal hingga akhir seperti Politzer. Jika orang dalam kecelakaan tersebut mengalami koma, mereka semua akan mengalami koma. Bahkan jika semua persepsi yang berkaitan dengan kecelakaan direkam dalam suatu alat dan jika semua persepsi ini ditransmisikan ke seseorang, maka bis akan menabrak orang ini berkali-kali.
Dengan demikian, bis penabrak manakah yang benar-benar ada? Filosofi materialis tidak memiliki jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Jawaban yang benar adalah mereka semua mengalami kecelakaan mobil secara mendetail di dalam pikiran mereka sendiri.
Prinsip yang sama berlaku pada contoh kue dan batu. Jika saraf dari organ indra Engels, yang merasa puas dan kenyang setelah makan kue, dihubungkan secara pararel ke otak orang kedua, maka orang ini juga akan merasa kenyang seperti Engels. Jika saraf Johnson, yang merasakan kakinya sakit ketika menendang batu dengan keras, dihubungkan ke orang kedua secara paralel, orang ini juga akan merasakan sakit yang sama.
Jadi, kue atau batu mana yang benar-benar ada? filsafat materialis kembali tidak mampu memberikan jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Jawaban yang benar dan konsisten adalah: baik Engels dan orang kedua telah memakan kue dalam pikiran mereka dan merasa kenyang; baik Johnson dan orang kedua mengalami saat-saat menendang batu dalam pikiran mereka.
Mari kita buat perubahan dalam contoh kasus Politzer. Kita hubungkan saraf orang yang tertabrak bis ke otak Politzer, dan sebaliknya kita hubungkan saraf Politzer yang duduk di rumah ke otak orang yang tertabrak bis. Dalam kasus ini, Politzer akan merasa bahwa bis telah menabraknya meskipun dirinya sedang duduk di rumah; sedangkan orang yang sebenarnya tertabrak tidak akan pernah merasakan akibat kecelakaan tersebut dan merasa bahwa dirinya sedang duduk di rumah Politzer. Logika yang sama berlaku pula untuk contoh kue dan batu.
Sebagaimana terlihat, manusia tidak mungkin melampaui dan terlepas dari indranya. Dalam hal ini, jiwa manusia dapat dihadapkan pada semua macam situasi meskipun tidak memiliki tubuh, tidak berwujud materi dan tidak memiliki bobot materi. Tidak mungkin manusia menyadari hal ini karena ia berasumsi bahwa citra tiga dimensi ini benar-benar ada dan sangat meyakini keberadaannya karena setiap orang tergantung pada persepsi yang dibentuk oleh organ-organ sensorinya.
Filsuf Inggris terkemuka, David Hume mengungkapkan pemikirannya tentang fakta ini:
Sejujurnya, ketika saya menempatkan diri pada apa yang saya sebut ‘diri sendiri’, saya selalu mengakui persepsi tertentu yang berhubungan dengan panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, asam atau manis atau konsep-konsep lainnya. Tanpa keberadaan persepsi, saya tidak pernah dapat menemukan diri sendiri pada waktu tertentu dan saya tidak dapat mengamati apa pun. 12
Kita tidak akan pernah mampu melangkah lebih jauh dari pengindraan ini dan merasakan materi sebagaimana "wujud aslinya", sehingga sama sekali tidaklah masuk akal untuk merumuskan pemikiran [filsafat] apa pun yang menganggap materi sebagai wujud mutlak yang dapat kita rasakan langsung. Sebagai sebuah teori, materialisme benar-benar tidaklah memiliki landasan, sejak awal kemunculannya.

Pembentukan Persepsi dalam Otak Bukan Filsafat Melainkan Fakta Ilmiah

Materialis mengatakan bahwa apa yang telah kita bahas dalam buku ini adalah pandangan filsafat. Akan tetapi, pernyataan bahwa "dunia luar" merupakan kumpulan persepsi adalah fakta ilmiah yang jelas, bukan sebentuk filsafat. Bagaimana citra dan perasaan terbentuk di dalam otak telah diajarkan secara detail di semua sekolah kedokteran. Fakta-fakta tersebut, yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan abad ke-20, khususnya bidang fisika, dengan jelas menunjukkan bahwa materi tidak memiliki realitas absolut dan bahwa setiap orang dapat dikatakan sedang mengamati "monitor di dalam otaknya".
Setiap orang yang meyakini ilmu pengetahuan, baik ia ateis, penganut Buddha, atau meyakini pandangan lain, harus menerima fakta ini. Seorang materialis mungkin mengingkari keberadaan Pencipta namun ia tidak dapat menolak kenyataan ilmiah ini.
Ketidakmampuan Karl Marx, Friedrich Engels, Georges Politzer dan lainnya memahami fakta sederhana dan jelas ini masih mengejutkan, sekalipun pemahaman dan kemungkinan ilmu pengetahuan di masa mereka memang tidak mencukupi. Di masa sekarang, kemajuan ilmu dan teknologi serta penemuan-penemuan terakhir mempermudah kita memahami fakta ini. Akan tetapi, materialis justru diliputi ketakutan untuk memahami fakta ini dan menyadari bagaimana keyakinan mereka akan hancur karenanya.

Ketakutan Besar Materialis

Pokok bahasan ini mengungkapkan fakta bahwa materi hanya suatu persepsi. Untuk sementara waktu, tidak ada serangan balik yang substansial dari kalangan materialis Turki terhadap pemikiran-pemikiran yang diungkapkan di sini. Karenanya, kami mendapat kesan bahwa maksud kami belum mereka tangkap dengan jelas dan diperlukan penjelasan lebih lanjut. Akan tetapi, belum lama ini, terungkap bahwa materialis merasa gelisah atas kepopuleran pemikiran ini dan bahkan sangat takut padanya.
Materialis dengan gencar mengungkapkan ketakutan dan kepanikan mereka melalui berbagai terbitan, konferensi dan diskusi panel. Wacana mereka yang propagandis dan tanpa harapan menyiratkan bahwa mereka mengalami krisis intelektual yang hebat. Keruntuhan ilmiah teori evolusi, yang menjadi dasar keyakinan mereka, telah sangat mengejutkan mereka. Sekarang mereka mulai menyadari bahwa mereka mulai kehilangan materi itu sendiri, inti keyakinan yang lebih penting daripada Darwinisme. Ini membuat mereka lebih terpukul. Mereka menyatakan bahwa selain merupakan "ancaman terbesar" bagi mereka, permasalahan ini juga "merusak struktur budaya mereka".
Salah seorang materialis yang menyatakan kepanikan dan kecemasan secara terang-terangan adalah Renan Pekunlu, akademisi dan penulis majalah Bilim ve Utopya (Ilmu Pengetahuan dan Utopia). Dalam artikel majalah yang membela materialisme ini dan diskusi panel yang diikutinya, Rennan Pekunlu menyatakan buku Keruntuhan Teori Evolusi (Evolution Deceit) sebagai "ancaman" nomor satu terhadap materialisme. Ia sudah cukup risau dengan bab-bab yang meruntuhkan Darwinisme, tetapi bagian yang Anda baca sekarang adalah bagian yang paling mengganggunya. Kepada para pembaca dan (hanya segelintir) peserta diskusinya, Pekunlu berpesan, "Jangan biarkan diri Anda hanyut dalam indoktrinasi idealisme dan jagalah keyakinan Anda pada materialisme". Ia merujuk Vladimir I. Lenin, pemimpin revolusi berdarah di Rusia, sebagai panutan. Sambil menyarankan setiap orang membaca buku Lenin yang berjudul Materialism and Empirio-Criticism dan sudah berumur satu abad, Pekunlu hanya dapat mengulang kata-kata Lenin: "Jangan memikirkan persoalan ini, atau Anda akan kehilangan materialisme dan terhanyut oleh agama". Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada majalah Bilim ve Utopya, Pekunlu mengutip pernyataan Lenin berikut:
Sekali Anda menolak realitas kebendaan, menyerah pada pengindraan, Anda telah kehilangan segala daya untuk melawan fideisme*), karena Anda telah tergelincir kepada agnotisisme**) atau subjektivisme***) — hanya itu yang dibutuhkan fideisme. Satu cakar saja terjerat, seekor burung tertangkap. Dan semua pengikut kita akan terjerat dalam idealisme, yaitu fideisme yang tidak kentara; mereka terjerat segera setelah menganggap "pengindraan" bukan lagi suatu citra dunia luar tetapi sebagai "unsur" khusus. Pengindraan, pikiran, jiwa dan keinginan bukan seperti itu adanya. 13
Kata-kata ini secara eksplisit menunjukkan bahwa fakta yang menggusarkan Lenin dan ingin ia keluarkan dari pikirannya dan "kameradnya"; yang juga meresahkan materialis dewasa ini. Akan tetapi, Pekunlu dan materialis lain mengalami keadaan lebih menyusahkan; karena mereka sadar bahwa sekarang fakta ini dikemukakan dengan cara dan bentuk lebih eksplisit dan meyakinkan daripada 100 tahun lalu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, persoalan ini dijelaskan dengan cara yang tidak mungkin ditolak.
Meski demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sejumlah besar ilmuwan materialis tidak sungguh-sungguh menanggapi fakta bahwa "materi hanyalah ilusi". Persoalan yang dijelaskan dalam bab ini adalah salah satu persoalan paling penting dan menarik yang pernah dijumpai seseorang dalam hidupnya. Mereka pasti belum pernah menghadapi persoalan sepenting ini sebelumnya. Namun, reaksi ilmuwan-ilmuwan itu atau sikap mereka dalam ceramah dan artikel mereka mengisyaratkan betapa dangkalnya pemahaman mereka.
Reaksi sebagian materialis terhadap permasalahan yang didiskusikan di sini menunjukkan bahwa ketaatan buta terhadap materialisme telah merusak logika mereka, sehingga semakin sulit memahami persoalan ini. Sebagai contoh, Alaettin Senel, yang juga seorang akademisi dan penulis untuk Bilim ve Ütopya, berpesan seperti Rennan Pekunlu: "Lupakan keruntuhan Darwinisme, ancaman sungguhnya adalah persoalan ini". Dia juga membuat tuntutan seperti "Buktikan saja apa yang Anda katakan" karena merasa bahwa filsafatnya sendiri tidak berdasar. Yang lebih menarik adalah dalam salah satu tulisannya, ia menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak dapat memahami fakta yang dianggapnya sebagai ancaman ini.
Dalam sebuah artikel yang ditulis khusus membahas masalah ini, Senel menerima bahwa dunia luar ditangkap oleh otak sebagai sebuah citra. Akan tetapi, kemudian ia menyatakan bahwa citra terbagi menjadi dua jenis yaitu citra berkorelasi fisik dan citra yang tidak berkolerasi fisik, dan bahwa citra dunia luar termasuk ke dalam citra yang berkolerasi fisik. Untuk mendukung pernyataannya, ia memberikan "contoh telepon". Ringkasnya, ia menulis: "Saya tidak tahu apakah citra dalam otak saya berkolerasi dengan dunia luar atau tidak, tetapi hal yang sama berlaku ketika saya berbicara di telepon. Ketika saya berbicara di telepon, saya tidak dapat melihat orang yang saya ajak bicara, tetapi saya dapat mengkonfirmasikan percakapan tersebut ketika saya bertemu langsung dengannya." 14
Dengan pernyataan di atas, Senel sebenarnya bermaksud menyatakan: "Jika kita meragukan persepsi kita, kita dapat melihat pada materi itu sendiri dan memeriksa realitasnya". Konsep ini jelas-jelas salah karena kita tidak mungkin menjangkau materi itu sendiri. Kita tidak dapat keluar dari pikiran kita dan mengetahui apakah "luar" itu. Apakah suara dalam telepon berkorelasi atau tidak, dapat dikonfirmasikan pada lawan bicara di telepon. Namun, konfirmasi ini juga hanya persepsi yang dialami otak kita.
Sebenarnya, orang-orang ini juga mengalami kejadian yang sama di dalam mimpi mereka. Sebagai contoh, Senel dapat saja melihat dalam mimpinya bahwa ia berbicara di telepon dan kemudian meminta orang yang ia ajak bicara mengkonfirmasikan pembicaraan tersebut. Atau Pekunlu dalam mimpinya mengalami "ancaman serius" dan menyarankan orang-orang membaca buku-buku Lenin yang sudah kuno. Apa pun yang mereka lakukan, para materialis ini tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa kejadian-kejadian yang mereka alami dan orang-orang yang mereka ajak bicara di dalam mimpi hanyalah persepsi belaka.
Lalu kepada siapakah seseorang dapat mengkonfirmasi bahwa citra di dalam otak berkorelasi atau tidak? Apakah kepada wujud bayangan di dalam otaknya lagi? Tak diragukan lagi, materialis mustahil menemukan sumber informasi yang dapat memberikan data mengenai keadaan di luar otak dan mengkonfirmasikannya.
Mengakui bahwa semua persepsi terbentuk di dalam otak, tetapi juga mengasumsikan bahwa seseorang dapat melangkah "keluar" dari otak dan mengkonfirmasikan persepsi ini pada dunia luar, menunjukkan kapasitas pemahaman yang terbatas dan penalaran yang terganggu.
Sebenarnya fakta yang dijelaskan di sini dapat dengan mudah ditangkap oleh orang dengan tingkat pemahaman dan penalaran normal. Setiap orang yang berpikiran lurus akan mengetahui, sehubungan dengan semua yang telah kita bicarakan, bahwa ia mustahil menguji keberadaan dunia luar dengan indranya. Namun, terlihat jelas bahwa ketaatan buta terhadap materialisme telah mengganggu penalaran manusia. Oleh karenanya, materialis kontemporer menunjukkan gangguan logika berat seperti guru-guru mereka yang mencoba "membuktikan" keberadaan materi dengan menendang batu atau memakan kue.
Seperti telah dikatakan sebelumnya pula, kondisi ini bukan sesuatu yang mengherankan; sebab ketidakmampuan memahami adalah sifat umum semua orang yang tidak beriman.
Penulis materialis Turki, Rennan Pekunlu mengatakan bahwa "teori evolusi tidaklah sepenting ini, ancaman sesungguhnya adalah subjek ini", karena meniadakan materi, satu-satunya konsep yang diyakininya.

Materialis Telah Terperosok dalam Perangkap Terbesar Sepanjang Sejarah

Di Turki, gelombang kepanikan yang melanda kalangan materialis, seperti beberapa contoh terdahulu, menunjukkan bahwa materialis menghadapi kekalahan telak yang belum pernah mereka hadapi sepanjang sejarah. Fakta bahwa materi hanyalah persepsi telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Fakta ini dikemukakan dalam sangat jelas, jujur dan kuat. Yang tersisa bagi materialis hanya keruntuhan seluruh dunia materi, dunia yang mereka percayai secara buta dan menjadi sandaran selama ini.
Sepanjang sejarah manusia, pemikiran materialis selalu hadir. Mereka menentang Allah yang menciptakan mereka karena sangat yakin pada diri sendiri dan filsafat yang mereka pegang. Skenario yang mereka rumuskan menyatakan bahwa materi tidak bermula dan tidak pula berakhir, dan semua materi tidak mungkin memiliki Pencipta. Mereka mengingkari Allah hanya karena kesombongan, dengan berlindung di balik materi yang mereka anggap memiliki keberadaan nyata. Mereka begitu meyakini filsafat ini sehingga menganggap tak mungkin ada penjelasan yang membuktikan sebaliknya.
Semua alasan di atas menjelaskan mengapa fakta-fakta yang disajikan dalam buku ini, yang berkaitan dengan sifat-sifat sejati materi, sangat mengejutkan mereka. Penjelasan buku ini telah menghancurkan dasar filsafat mereka dan tak menyisakan apa pun untuk dibicarakan lagi. Materi, yang telah menjadi dasar pemikiran, kehidupan, kesombongan dan penolakan mereka, lenyap tiba-tiba. Bagaimana materialisme bisa bertahan jika materi tidak ada?
Allah menjebak materialis dengan membuat mereka berasumsi bahwa materi benar-benar ada, dan mempermalukan mereka dengan cara-Nya. Materialis beranggapan bahwa harta benda, status, jabatan, masyarakat lingkungan mereka, seluruh dunia dan lain-lainnya benar-benar ada, dan dengan mengandalkan semua itu mereka menjadi sombong terhadap Allah. Mereka menentang Allah dengan kesombongan yang melengkapi ketidakpercayaan mereka. Mereka sepenuhnya bergantung pada materi. Akan tetapi, mereka benar-benar tidak memahami bahwa Allah meliputi segala sesuatu.
Barangkali inilah kekalahan terbesar sepanjang sejarah. Sementara materialis menjadi sombong atas kemauan sendiri, mereka mengobarkan peperangan terhadap Allah, dengan cara memunculkan sesuatu yang berlebih-lebihan untuk melawannya.
Ketika orang-orang yang tidak beriman mencoba menyusun rencana, mereka tidak menyadari sebuah fakta penting sebagaimana ditekankan dengan kalimat "mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadarinya" dalam ayat tersebut. Faktanya, segala sesuatu yang mereka alami adalah gambaran yang sengaja dirancang untuk mereka tangkap, dan seluruh rencana yang mereka susun hanyalah citra yang terbentuk di dalam otak mereka, seperti juga seluruh tindakan yang mereka lakukan. Kebodohan telah membuat mereka lupa bahwa tidak ada yang bersama mereka selain Allah, dan karenanya, mereka terjebak dalam rencana jahat mereka sendiri.
Sebagaimana kaum tidak beriman di zaman dahulu, kaum tidak beriman yang hidup sekarang juga menghadapi kenyataan yang akan menghancurkan rencana jahat mereka sampai ke akar-akarnya.
Begitu pula materialisme, menjadi "fatamorgana" bagi para pembangkang seperti yang disebutkan dalam ayat itu; ketika mereka menemukan jalan keluar, yang mereka dapati hanya ilusi. Allah telah menipu mereka dengan fatamorgana seperti itu, dan memperdaya mereka untuk menerima kumpulan citra ini sebagai suatu kenyataan. Semua orang "penting" tersebut; profesor, ahli astronomi, ahli biologi, ahli fisika dan lain-lain, apa pun pangkat dan jabatan mereka, benar-benar telah tertipu seperti anak-anak, dan dipermalukan karena mereka mempertuhankan materi. Mereka membangun filsafat dan ideologi di atas asumsi bahwa kumpulan citra tersebut absolut. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius dan menyebutnya wacana "intelektual". Mereka menganggap diri mereka cukup bijaksana untuk menawarkan suatu argumentasi tentang kebenaran alam semesta, bahkan membantah Tuhan dengan kecerdasan mereka yang terbatas.
Bisa saja mereka lolos dari jebakan lain; tetapi rencana yang telah ditetapkan Allah untuk orang-orang tidak beriman begitu sempurna sehingga tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Apa pun yang mereka lakukan atau kepada siapa pun mereka meminta pertolongan, mereka tidak akan pernah menemukan penolong selain Allah.
Materialis tidak pernah menyangka akan jatuh ke dalam perangkap seperti ini. Berbekal seluruh kecanggihan abad ke-21, mereka mengira dapat bertahan dengan pengingkaran mereka dan mengajak orang lain untuk ingkar pula.
Fakta yang disampaikan ayat ini berarti: materialis harus menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka miliki hanya ilusi, dan karenanya semua itu telah dihancurkan. Saat mereka menyaksikan seluruh harta benda, pabrik, emas, uang, anak, suami/istri, teman, pangkat dan status, bahkan tubuh mereka, semua yang mereka anggap ada, terlepas dari genggaman, mereka telah "dihancurkan".
Tidak diragukan lagi, menyadari kebenaran ini mungkin merupakan hal terburuk bagia materialis. Fakta bahwa segala sesuatu yang mereka miliki hanyalah ilusi, adalah sama dengan — menurut istilah mereka — "kematian sebelum ajal" di dunia ini.
Mereka yang menjadikan materi sebagai tuhannya telah datang dari Allah dan akan kembali pada-Nya. Mau atau tidak, mereka telah menyerahkan kehendak mereka kepada Allah. Sekarang mereka menunggu Hari Perhitungan di mana setiap orang akan dipanggil untuk diadili. Betapa pun mereka tidak berkeinginan untuk memahaminya.

Kesimpulan

Topik yang telah kami jelaskan sejauh ini merupakan salah satu kebenaran terbesar yang pernah Anda temui dalam hidup Anda. Dengan membuktikan bahwa seluruh dunia materi ini sesungguhnya hanyalah "wujud bayangan", topik ini menjadi kunci untuk memahami keberadaan Allah dan penciptaan oleh-Nya, di samping untuk memahami bahwa Dialah satu-satunya wujud mutlak.
Mereka yang memahami permasalahan ini sadar bahwa dunia ini bukanlah tempat seperti anggapan orang pada umumnya. Dunia bukanlah tempat mutlak yang benar-benar ada, seperti yang dipikirkan oleh mereka yang mengembara tanpa tujuan di jalanan, yang bertengkar di klab-klab, yang menyombongkan diri di kafe-kafe mewah, yang membanggakan rumah dan tanah, atau yang mengabdikan hidup mereka untuk tujuan palsu. Dunia hanyalah kumpulan persepsi, sebuah ilusi. Semua orang yang telah kami kutip sebelumnya hanya wujud bayangan yang menyaksikan persepsi ini di dalam otak mereka: meskipun demikian mereka tidak menyadari hal ini.
Konsep ini sangat penting karena meruntuhkan filsafat materialis yang menolak keberadaan Allah, dan menghancurkan filsafat tersebut. Inilah sebabnya materialis seperti Marx, Engels, dan Lenin menjadi panik dan gusar, dan memperingatkan pengikut mereka "untuk tidak memikirkannya" jika ada orang yang menyampaikan konsep ini. Sesungguhnya orang-orang seperti ini cacat mentalnya sehingga tidak dapat memahami fakta bahwa persepsi terbentuk dalam otak. Mereka menganggap dunia yang mereka saksikan di dalam otak adalah "dunia luar". Mereka tidak dapat memahami bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Anda dapat mengkaji lebih jauh lagi dengan menggunakan kekuatan refleksi pribadi Anda. Untuk itu Anda harus berkonsentrasi, memusatkan perhatian dan merenungkan cara Anda melihat benda-benda di sekeliling Anda dan cara Anda menyentuhnya. Jika Anda berpikir dengan penuh konsentrasi, Anda dapat merasakan bahwa wujud bijak yang melihat, mendengar, menyentuh, berpikir, dan membaca buku pada saat ini hanyalah jiwa. Jiwa ini pula yang menyaksikan persepsi yang disebut "materi" pada sebuah layar. Orang yang telah memahami hal ini dianggap telah beranjak dari tataran dunia materi yang telah menipu sebagian besar kemanusiaan, dan masuk ke dalam tataran eksistensi sesungguhnya.
Dalam zaman kita hidup, fakta ini telah teruji secara empiris berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, fakta bahwa alam semesta adalah wujud bayangan telah digambarkan secara nyata, jelas dan eksplisit.
Dengan alasan inilah, abad ke-21 akan menjadi titik balik sejarah di mana manusia pada umumnya akan memahami realitas ilahiah dan akan berbondong-bondong menuju Allah, satu-satunya Wujud Mutlak. Dalam abad ke-21, paham materialistis abad ke-19 akan dibuang ke keranjang sampah sejarah, eksistensi dan penciptaan Allah akan dipahami, seperti dipahaminya fakta ketiadaan ruang dan waktu, manusia akan terbebaskan dari selubung, penipuan dan takhayul kuno yang menyelimuti mereka.
Tidak mungkin kenyataan tak terbantahkan ini dapat dihalangi oleh suatu wujud bayangan.
xx

1. Frederic Vester, Denken, Lernen, Vergessen, (Munih: Dtv, 1978), hal. 6
2. R. L. Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, (New York: Oxford University Press Inc., 1990), hal. 9

3. Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal.24

4. Orhan Hancerlioglu, Dusunce Tarihi (The History of Thought), (Istanbul: Remzi Bookstore, 6th edition, 1995) hal. 447

5. George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Internet edition,
http://eserver.org/18th/berkeley.txt

6. Bertrand Russell, ABC of Relativity, (London: George Allen and Unwin, 1964), hal. 161-162

7. R. L. Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, (New York: Oxford University Press Inc., 1990), hal. 9

8. Ken Wilber, Holographic Paradigm and Other Paradoxes, (New York: Random House, 1982), hal. 20

9. George Politzer, Principes fondamentaux de Philosophie, (Paris: Editions Sociales, 1954), hal. 65

10. Orhan Hancerlioglu, Dusunce Tarihi (The History of Thought), (Istanbul: Remzi Bookstore, 6th edition, 1995) hal. 261

11. George Politzer, Principes fondamentaux de Philosophie, (Paris: Editions Sociales, 1954), hal. 65

12. David Hume, A Treatise of Human Nature, Book I, Section IV: Of Personal Identity, Internet edition

13. Rennan Pekunlu, "Aldatmacanin Evrimsizligi," (Non-Evolution of Deceit), Bilim ve Utopya, December 1998 (V. I. Lenin, Materialism and Empirio-criticism, (Moscow: Progress Publishers, 1970), hal. 334-335)

14. Alaettin Senel, "Evrim Aldatmacasi mi?, Devrin Aldatmacasi mi?," (Evolution Deceit or Deceit of the Epoch?), Bilim ve Utopya, December 1998
 
RELATIVITAS WAKTU DAN REALITAS TAKDIR

Semua pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa "ruang tiga dimensi" tidak ada dalam kenyataan, dan merupakan praduga yang sepenuhnya diilhami oleh persepsi, sehingga manusia menjalani hidup dalam "ketiadaan ruang". Menyatakan sebaliknya berarti mempercayai mitos yang jauh dari penalaran dan kebenaran ilmiah, karena tidak ada bukti absah tentang keberadaan dunia tiga dimensi.
Kenyataan ini menyangkal asumsi pokok filsafat materialis yang menjadi dasar teori evolusi bahwa materi bersifat absolut dan abadi. Asumsi filsafat materialis lainnya adalah bahwa waktu juga absolut dan abadi. Asumsi kedua ini sama tidak masuk akalnya dengan asumsi pertama.

Persepsi tentang Waktu

Apa yang kita persepsikan sebagai waktu sesungguhnya sebuah metode untuk membandingkan satu momen dengan momen lain. Ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika seseorang memukul sebuah benda, ia mendengar bunyi tertentu. Ketika ia memukul benda yang sama lima menit kemudian, ia mendengar bunyi lagi. Orang tersebut merasakan jeda antara bunyi pertama dengan bunyi kedua, dan menyebut jeda ini sebagai "waktu". Namun saat ia mendengar bunyi kedua, bunyi pertama yang didengarnya tak lebih dari sebuah imajinasi dalam pikirannya. Bunyi pertama hanyalah sepotong kecil informasi dalam memori. Ia merumuskan konsep "waktu" dengan membandingkan momen yang sedang dijalaninya dengan momen yang ada dalam memorinya. Jika perbandingan ini tidak dilakukan, maka persepsi waktu pun tidak ada.
Sama halnya dengan seseorang yang membuat perbandingan ketika ia melihat orang lain memasuki ruangan dan duduk di kursi di tengah ruangan. Ketika orang tersebut duduk di kursi, citra yang berkaitan dengan saat ia membuka pintu, masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke kursi, disusun sebagai potongan-potongan informasi di dalam otak. Persepsi tentang waktu terjadi ketika ia membandingkan kejadian orang yang duduk di kursi dengan kumpulan informasi yang dimilikinya.
Singkatnya, waktu muncul sebagai hasil perbandingan antara beberapa ilusi yang tersimpan di dalam otak. Bila seseorang tidak memiliki memori, maka otaknya tidak dapat melakukan interpretasi seperti itu sehingga persepsi tentang waktu tidak terbentuk. Alasan seseorang menyatakan dirinya berumur 30 tahun hanyalah karena ia telah mengakumulasi informasi berkaitan dengan 30 tahun tersebut di dalam otaknya. Bila memorinya tidak ada, maka ia tidak akan berpikir tentang keberadaan periode yang telah berlalu dan ia hanya akan mengalami "momen" tunggal yang sedang dijalaninya.

Penjelasan Ilmiah tentang Ketiadaan Waktu

Kutipan penjelasan beberapa ilmuwan dan cendekiawan berikut akan lebih menerangkan subjek ini. François Jacob, seorang intelektual terkenal dan profesor bidang genetika penerima hadiah Nobel, dalam bukunya Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Aktual) menjelaskan tentang waktu yang berjalan mundur:
Film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia di mana waktu berjalan mundur: sebuah dunia di mana susu memisahkan diri dari kopi, meloncat keluar dari cangkir dan masuk kembali ke dalam panci susu; di mana berkas-berkas cahaya dipancarkan dari dinding-dinding dan menyatu dalam sebuah pusat, bukannya memancar keluar dari sumber cahaya; di mana sebuah batu naik ke telapak tangan seseorang karena kerja sama menakjubkan dari banyak tetes air yang membuat batu tersebut keluar dari dalam air. Namun dalam dunia di mana waktu berjalan mundur, proses-proses di dalam otak dan cara memori kita mengumpulkan informasi pun mengikutinya. Hal serupa juga berlaku bagi masa lalu dan masa depan, dan bagi kita, dunia akan tampak seperti apa adanya. 1
Dunia tidak berjalan seperti dinyatakan di atas karena otak kita tidak terbiasa dengan urutan kejadian demikian, dan kita beranggapan bahwa waktu selalu bergerak ke depan. Bagaimanapun, anggapan ini merupakan keputusan yang diambil di dalam otak sehingga bersifat relatif. Sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana waktu mengalir, atau bahkan tidak tahu apakah ia mengalir atau tidak. Semua ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah fakta absolut melainkan hanya sebuah persepsi.
Fakta bahwa waktu bersifat relatif didukung juga oleh ahli fisika terpenting di abad ke-20, Albert Einstein. Lincoln Barnett, dalam bukunya The Universe and Dr. Einstein (Alam Semesta dan Dr. Einstein), menulis:
Bersamaan dengan menyingkirkan konsep ruang absolut, Einstein sekaligus membuang konsep waktu absolut — aliran waktu universal yang tidak berubah, mengalir terus-menerus dari masa lalu tak terhingga ke masa depan yang tak terhingga. Sebagian besar ketidakjelasan yang meliputi Teori Relativitas berasal dari keengganan manusia untuk menyadari bahwa pengertian waktu, seperti juga pengertian warna, adalah sebuah bentuk persepsi. Sebagaimana ruang hanyalah suatu susunan objek-objek material yang mungkin, waktu juga hanyalah susunan kejadian-kejadian yang mungkin. Subjektivitas waktu paling tepat dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri. "Pengalaman-pengalaman individu," katanya, "kita lihat sebagai rangkaian berbagai kejadian; dalam rangkaian ini, kejadian tunggal yang kita ingat terurut sesuai dengan kriteria 'lebih dulu' dan 'kemudian'. Oleh karena itu setiap individu akan memiliki 'waktu-saya' atau waktu subjektif. Waktu ini, dengan sendiri-nya, tidak dapat diukur. Saya, tentu saja, dapat menghubungkan angka-angka dengan kejadian-kejadian sedemikian rupa sehingga angka terbesar melambangkan kejadian terkini dan bukan dengan kejadian lebih awal. 2
Einstein sendiri menunjukkan, seperti yang dikutip dari buku Barnett: "ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi tidak terpisahkan dari kesadaran, seperti halnya konsep warna, bentuk atau ukuran". Menurut Teori Relativitas Umum: "eksistensi waktu tidak dapat dipisahkan dari urutan kejadian yang kita gunakan untuk mengukurnya." 3
Karena waktu terdiri atas persepsi, maka waktu bergantung sepenuhnya pada orang yang merasakannya. Karena itulah waktu bersifat relatif.
Kecepatan waktu mengalir akan berbeda berdasarkan acuan yang digunakan untuk mengukurnya, karena tubuh manusia tidak memiliki jam alami yang dapat menentukan secara tepat kecepatan waktu berjalan. Seperti yang ditulis Lincoln Barnett: "Sebagaimana tidak ada warna bila tak ada mata untuk melihatnya, tidak ada pula ukuran sesaat, sejam atau sehari bila tak ada kejadian untuk menandainya." 4
Relativitas waktu dapat dialami secara sederhana di dalam mimpi. Walaupun apa yang kita lihat dalam mimpi tampaknya berlangsung berjam-jam, sesungguhnya hanya berlangsung beberapa menit, atau bahkan beberapa detik.
Mari kita lihat sebuah contoh untuk memperjelas masalah ini. Bayangkan kita dimasukkan ke dalam ruangan dengan sebuah jendela yang dirancang khusus, dan kita berada di sana selama waktu tertentu. Ruangan tersebut dilengkapi sebuah jam sehingga kita dapat mengetahui berapa lama waktu yang telah kita lewati. Pada saat yang sama kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam. Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak berarti.
Contoh ini menegaskan bahwa informasi yang kita miliki tentang laju waktu hanyalah berdasarkan acuan relatif. Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang telah dibuktikan melalui metodologi ilmiah. Teori Relativitas Umum Einstein menyatakan bahwa kecepatan perubahan waktu tergantung pada kecepatan benda tersebut dan jaraknya dari pusat gravitasi. Begitu kecepatan meningkatnya, waktu menjadi lebih singkat dan termampatkan; dan melambat sehingga bisa dikatakan "berhenti".
Hal ini diperjelas dengan contoh dari Einstein. Bayangkan dua saudara kembar: salah seorang tinggal di bumi sementara yang lainnya pergi ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika penjelajah luar angkasa ini kembali ke bumi, ia akan mendapati saudaranya menjadi lebih tua daripada dirinya. Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi. Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun; ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun! 5
Harus digarisbawahi bahwa relativitas waktu tidak disebabkan oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan pegas mekanis alat penghitung waktu. Relativitas ini merupakan hasil perbedaan waktu operasi sistem materi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya partikel-partikel sub atom. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya, perlambatan waktu bukan berarti menjalani kejadian seperti dalam film gerak lambat. Dalam keadaan di mana waktu memendek, detak jantung, replikasi sel, fungsi otak dan segala sesuatunya berjalan lebih lambat daripada manusia yang bergerak di bumi. Orang tersebut akan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa menyadari sama sekali adanya pemendekan waktu. Pemendekan waktu tersebut tak akan terlihat jelas, sampai dilakukan perbandingan.

Relativitas dalam Al Quran

Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu tidak bersifat absolut seperti anggapan materialis, tetapi merupakan persepsi relatif. Sangat menarik bahwa fakta yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20 ini, telah disampaikan dalam Al Quran kepada manusia 14 abad yang lalu.
Waktu adalah persepsi psikologis yang dipengaruhi oleh peristiwa, tempat dan kondisi. Fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah ini dapat kita temukan pada banyak ayat Al Quran. Sebagai contoh, Al Quran menyatakan bahwa masa hidup seseorang sangat pendek:
Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Israa', 17: 52)
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari; (di waktu itu) mereka akan saling berkenalan. (QS. Yunus, 10: 45)
Beberapa ayat menunjukkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda dan kadang-kadang manusia bisa menganggap suatu periode yang sangat pendek sebagai periode yang sangat panjang. Contoh yang tepat adalah dialog antara beberapa manusia yang terjadi di saat pengadilan mereka di hari kiamat:
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al Mu'minuun, 23: 112-114)
Dalam beberapa ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa di tempat yang berbeda, waktu dapat mengalir dengan cara berbeda pula:
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-sekali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj, 22: 47)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (QS. Al Ma'aarij, 70: 4)
Ayat-ayat ini mengungkapkan dengan jelas perihal relativitas waktu. Fakta yang telah disampaikan kepada manusia sekitar 1.400 tahun yang lalu ini baru dimengerti oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran diturunkan oleh Allah, Dia yang meliputi seluruh ruang dan waktu.
Banyak ayat Al Quran lainnya menunjukkan bahwa waktu adalah persepsi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam kisah-kisah Al Quran. Sebagai contoh, Allah telah membuat Ashhabul Kahfi (Penghuni-penghuni Gua) — sekelompok orang beriman yang disebutkan dalam Al Quran — tertidur lelap selama lebih dari tiga abad. Ketika terbangun, mereka mengira telah tertidur sebentar tetapi tidak dapat memastikan berapa lama:
Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al Kahfi, 18: 11-12)
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui…" (QS. Al Kahfi, 18: 19)
Keadaan yang diceritakan dalam ayat di bawah ini juga membuktikan bahwa sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berkata, "Berapa lamakah engkau tinggal di sini?" Dia berkata, "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya engkau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah makanan dan minumanmu yang tidak tampak berubah; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunya kembali, kemudian kami menutupinya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), diapun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah-lah yang menciptakan waktu, dan keberadaan-Nya tidak terbatasi oleh waktu. Di sisi lain, manusia dibatasi oleh waktu yang ditakdirkan Allah. Sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas, manusia bahkan tidak mampu mengetahui berapa lama ia tertidur. Dalam keadaan seperti ini, menyatakan bahwa waktu adalah absolut (sebagaimana dikatakan materialis) merupakan hal yang tidak masuk akal.

Takdir

Relativitas waktu memperjelas sebuah permasalahan yang sangat penting. Relativitas sangat bervariasi. Apa yang bagi kita tampak seperti bermiliar-miliar tahun, mungkin dalam dimensi lain hanya berlangsung satu detik. Bahkan, bentangan periode waktu yang sangat panjang dari awal hingga akhir dunia, dalam dimensi lain hanya berlangsung sekejap.
Ini adalah intisari dari konsep takdir — sebuah konsep yang belum dipahami dengan baik oleh kebanyakan manusia, khususnya materialis yang jelas-jelas mengingkari hal tersebut. Takdir adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan. Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir. "Kejadian yang belum terjadi" hanya belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang ataupun waktu, karena Dialah pencipta keduanya. Oleh sebab itu, masa lalu, masa mendatang, dan sekarang, seluruhnya sama bagi Allah; bagi-Nya segala sesuatu telah berjalan dan telah selesai.
Dalam The Universe and Dr. Einstein, Lincoln Barnett menjelaskan bagaimana Teori Relativitas Umum membawa kita kepada kesimpulan di atas. Menurut Barnett, alam semesta "dengan seluruh keagungannya hanya dapat dicakupi oleh sebuah intelektual kosmis." 6 Kehendak yang disebut Barnett sebagai "intelektual kosmis" tak lain adalah ketetapan dan pengetahuan Allah yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Allah memahami waktu yang berlaku pada diri kita dari awal hingga akhir sebagai kejadian tunggal, sebagaimana kita dapat melihat awal, tengah dan akhir sebuah mistar beserta semua unitnya sebagai satu kesatuan. Manusia mengalami kejadian hanya bila saatnya tiba, dan mereka menjalani takdir yang telah Allah tetapkan atas mereka.
Perlu diperhatikan pula kedangkalan dan penyimpangan pemahaman masyarakat tentang takdir. Mereka berkeyakinan bahwa Allah telah menentukan "takdir" setiap manusia, tetapi takdir ini terkadang dapat diubah oleh manusia itu sendiri. Sebagai contoh, orang akan mengomentari seorang pasien yang kembali dari gerbang kematian dengan pernyataan seperti "ia telah mengalahkan takdirnya". Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dapat mengubah takdirnya. Orang yang kembali dari gerbang kematian tidak mati karena ia ditakdirkan tidak mati saat itu. Mereka yang mengatakan "saya telah mengalahkan takdir saya" berarti telah menipu diri sendiri. Takdir mereka pulalah sehingga mereka berkata demikian dan mempertahankan pemikiran seperti itu.
Takdir adalah pengetahuan abadi kepunyaan Allah, Dia yang memahami waktu sebagai kejadian tunggal dan Dia yang meliputi keseluruhan ruang dan waktu. Bagi Allah, segalanya telah ditentukan dan sudah selesai dalam sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan dalam Al Quran, kita juga dapat memahami bahwa waktu bersifat tunggal bagi Allah. Kejadian yang bagi kita terjadi di masa mendatang, digambarkan dalam Al Quran sebagai kejadian yang telah lama berlalu. Sebagai contoh, ayat-ayat yang menggambarkan manusia menyerahkan catatan amalnya kepada Allah di akhirat kelak, mengungkapkan kejadian tersebut sebagai peristiwa yang telah lama terjadi:
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangka-kala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dirugikan... Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahanam berombong-rombongan... (QS. Az Zumar, 39: 73)
Ayat lainnya mengenai masalah ini adalah:
Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. (QS. Qaaf, 50: 21)
Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. (QS. Al Haaqqah, 69: 16)
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. (QS. Al Insan, 76: 12-13)
Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. (QS. An Naazi'aat, 79: 36)
Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. (QS. Al Muthaffifiin, 83: 34)
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling daripadanya. (QS. Al Kahfi, 18: 53)
Terlihat bahwa peristiwa yang akan terjadi setelah kematian kita (dari sudut pandang manusia) dibicarakan dalam Al Quran sebagai peristiwa yang sudah selesai dan telah lama berlalu. Allah tidak terbatasi kerangka waktu relatif yang membatasi kita. Allah menghendaki semua ini dalam ketiadaan waktu; manusia sudah selesai melakukannya, seluruh peristiwa telah dilalui dan telah berakhir. Dalam ayat di bawah ini disebutkan bahwa setiap kejadian, kecil maupun besar, seluruhnya berada dalam pengetahuan Allah dan tercatat dalam sebuah kitab:
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam sebuah kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus, 10: 61)

Kekhawatiran Materialis

Topik tentang kebenaran yang mendasari materi, ketiadaan waktu dan ketiadaan ruang telah dengan sangat jelas dibahas dalam bab ini. Seperti dinyatakan sebelumnya, ini bukan sebuah filsafat atau cara berpikir, namun merupakan kebenaran nyata yang tidak mungkin diingkari. Selain merupakan kenyataan teknis, bukti-bukti rasional dan logis pun membawa kita kepada satu-satunya alternatif: alam semesta beserta seluruh zat yang membangunnya dan seluruh manusia yang hidup di dalamnya, merupakan sebuah ilusi. Semuanya merupakan kumpulan persepsi.
Materialis mengalami kesulitan memahami hal di atas. Sebagai contoh, mari kita tinjau kembali perumpamaan bis Politzer: meskipun secara teknis Politzer tahu bahwa ia tidak dapat keluar dari persepsinya, ia hanya mengakuinya untuk beberapa kasus tertentu. Bagi Politzer, peristiwa berlangsung di dalam otak hingga bis menabraknya. Namun segera setelah tabrakan terjadi, segalanya keluar dari otak dan menjadi realitas fisik. Pada tahap ini kecacatan logikanya sangat jelas: Politzer telah melakukan kesalahan yang sama seperti filsuf materialis Johnson yang mengatakan "Saya tendang batu, kaki saya sakit, karena itulah batu itu ada". Politzer tidak dapat memahami bahwa rasa sakit yang dirasakan setelah tabrakan bis semata-mata adalah persepsi juga.
Alasan dasar mengapa materialis tidak dapat memahami permasalahan ini adalah ketakutan mereka terhadap fakta harus hadapi setelah memahaminya. Lincoln Barnett menggambarkan bagaimana beberapa ilmuwan "melihat" permasalahan ini:
Bersamaan dengan pereduksian para filsuf atas seluruh realitas objektif menjadi dunia maya yang dibangun oleh persepsi, ilmuwan menyadari keterbatasan-batasan yang menakutkan dari indra manusia. 7
Acuan apa pun yang menyatakan bahwa materi dan waktu hanya persepsi sangat menakutkan bagi seorang materialis, karena hanya itulah pegangannya sebagai makhluk absolut. Pada tingkat tertentu, ia mempertuhankan materi dan waktu; karena berkeyakinan bahwa ia telah diciptakan oleh materi dan waktu (melalui evolusi).
Ketika ia menyadari bahwa segala sesuatu — alam semesta tempatnya hidup, dunia, tubuhnya sendiri, orang-orang lain, filsuf materialis lain yang telah mempengaruhi pemikirannya, dan lain-lain — adalah persepsi, ia merasa sangat ketakutan. Segala sesuatu yang diandalkan, dipercayai, dan ditujunya, secara tiba-tiba menghilang. Ia merasakan putus asa; hal yang sesungguhnya akan dirasakannya pula pada hari perhitungan dalam arti sebenarnya, seperti yang digambarkan ayat "Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. An Nahl, 16: 87).
Sejak itulah materialis ini mencoba meyakinkan diri tentang kenyataan materi, dan membuat-buat "bukti" untuk tujuan ini. Ia memukulkan tangan ke dinding, menendang batu, berteriak, mencemooh, namun tidak pernah bisa lepas dari kenyataan.
Sebagaimana mereka ingin menyingkirkan kenyataan ini dari pikiran, mereka juga ingin orang lain melakukan hal serupa. Mereka sadar bahwa apabila khalayak umum mengetahui sifat sejati materi, keterbelakangan filsafat dan kebodohan pandangan dunia mereka akan terungkap sehingga tidak ada landasan lagi untuk merasionalisasikan pemikiran mereka. Ketakutan ini menyebabkan mereka sangat terganggu oleh fakta yang dibicarakan di sini.
Allah menyatakan bahwa ketakutan orang-orang yang tidak percaya tersebut akan semakin bertambah pada hari kiamat. Pada hari pengadilan, mereka akan mengalami hal sebagai berikut:
Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun; mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?" (QS. Al An'aam, 6: 22)
Setelah itu, mereka akan menyaksikan segala kekayaan, anak-anak, dan lingkungan terdekat yang dianggap nyata dan dijadikan sekutu bagi Allah, meninggalkan mereka dan menghilang. Kenyataan ini Allah ungkapkan dalam ayat "Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dulu mereka ada-adakan.." (QS. Al An'aam, 6: 24).

Keuntungan Orang-Orang Beriman

Sementara materialis gelisah dengan fakta bahwa materi dan waktu hanya persepsi, hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang beriman. Mereka yang beriman menjadi senang ketika memahami rahasia di balik materi, karena kenyataan ini adalah kunci bagi segala pertanyaan. Dengan kunci ini, semua rahasia terbuka. Mereka akan dengan mudah memahami berbagai hal yang sebelumnya sukar dipahami.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, pertanyaan tentang kematian, surga, neraka, hari kiamat, perubahan dimensi, dan pertanyaan penting seperti "Di manakah Allah?", "Apa yang ada sebelum Allah?", "Siapa yang menciptakan Allah?", "Berapa lamakah kehidupan dalam kubur?", dan "Di manakah surga dan neraka?" akan mudah terjawab. Orang-orang beriman akan mengerti bagaimana Allah menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan. Begitu pahamnya, sehingga dengan rahasia ini pertanyaan "kapan" dan "di mana" menjadi tidak berarti karena karena tidak ada lagi ruang dan waktu. Ketika ketiadaan ruang dipahami, akan dimengerti bahwa neraka, surga dan bumi sesungguhnya adalah tempat yang sama. Bila ketiadaan waktu dipahami, akan dimengerti bahwa segala sesuatu terjadi pada suatu momen tunggal: tidak ada yang perlu ditunggu dan waktu tidak berjalan, karena segalanya telah terjadi dan telah selesai.
Dengan terpahaminya rahasia ini, dunia bagaikan surga bagi orang-orang beriman. Segala kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan material akan hilang. Manusia beriman akan memahami bahwa seluruh alam semesta memiliki satu Penguasa, bahwa Dialah yang mengubah seluruh dunia fisik menurut kehendak-Nya, dan yang harus ia lakukan hanya kembali kepada-Nya. Manusia ini kemudian sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, "menjadi hamba yang saleh" (QS. Ali Imran, 3: 35).

Memahami rahasia ini adalah keberuntungan terbesar di dunia.

Dengan rahasia ini, akan terungkap kenyataan penting lainnya yang disebutkan di dalam Al Quran bahwa "Allah lebih dekat kepadanya dari-pada urat lehernya sendiri" (QS. Qaaf, 50: 16). Sebagaimana diketahui setiap manusia, urat leher berada di dalam tubuh. Apa yang dapat lebih dekat kepada seseorang selain yang ada di dalam tubuhnya sendiri? Keadaan ini dapat dijelaskan dengan realitas ketiadaan ruang. Ayat ini juga akan lebih mudah dimengerti setelah memahami rahasia tersebut.
Inilah kebenaran nyata. Manusia harus benar-benar yakin bahwa tidak ada penolong dan pemberi selain Allah. Tidak ada satu pun selain Allah; Dialah satu-satunya yang nyata, tempat manusia mencari perlindungan, memohon pertolongan dan mengharapkan balasan.
Ke mana pun kita menghadapkan wajah, di sanalah Allah hadir.
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2: 32)


1. François Jacob, Le Jeu des Possibles (The Play of Possibilities), (Paris: LGF, 1986), hal. 111
2. Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal. 50-51

3. Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal. 21-22

4. Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal. 51

5. Paul Strathern, The Big Idea: Einstein and Relativity, (London: Arrow Books, 1997), hal. 57

6. Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal. 78

7. Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, (New York: Mentor Books, 1952), hal. 22

Tidak ada komentar: