Kamis, 16 Februari 2012

Larangan Seorang Isteri Menolak Berhubungan Intim dengan Suaminya




Dirwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang suami mengajak isterinya berhubungan intim lalu si isteri menolaknya, maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi," (HR Bukhari [5193] dan Muslim [1436]).

Dalam riwayat lain berbunyi, "Apabila seorang isteri bermalam menjauhi ranjang suaminya maka para malaikat akan melaknatnya sampai dia kembali," (HR Bukhari [5194] dan Muslim [1436]).

Dalam riwayat lain, "Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan intim lalu si isteri menolaknya maka Allah yang ada di langit akan murka kepadanya hingga suami meridhainya," (HR Muslim [1436]).

Diriwayatkan dari dari Mu'adz bin Jabal r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, "Jika seorang isteri menyakiti suaminya di dunia maka isterinya dari bidadari surga akan berkata, 'Jangan sakiti dia, semoga Allah mengutukmu! Sesungguhnya dia hanyalah tamu di sisimu dan tak lama lagi akan berpisah darimu untuk menemui kami," (Shahih, HR at-Tirmidzi [1174] dan Ibnu Majah [2014]).

Penjelasan :

1.        Haram hukumnya atas seorang isteri menolak ajakan suaminya berhubungan intim selama ia tidak memiliki udzur syar'i untuk menolaknya. Karena perkara yang paling mengganggu seorang laki-laki adalah pelampiasan nafsu seksual yang terkekang. Oleh karena itu, syari'at memerintahkan para isteri agar membantu suaminya dalam masalah ini agar si suami dapat menahan pandangan dan memelihara kemaluannya. 

2.       Kesabaran laki-laki menahan nafsu seksual lebih lemah ketimbang kesabaran kaum wanita. Oleh karena itu, penolakan seorang isteri untuk berhubungan intim dengan suaminya termasuk dosa besar yang menyebabkan ia berhak mendapat murka Allah. 

3.       Isteri tidak boleh beralasan sibuk dengan urusan rumah tangga lantas mengabaikan hak suaminya. Karena setiap urusan memiliki skala prioritas yang berbeda. Sebagian urusan lebih penting dari pada urusan lainnya. Oleh karena itu diriwayatkan dari Thalq bin Ali r.a, bawha Rasulullah saw. bersabda,"Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk memenuhi hajatnya hendaklah ia menyambut ajakannya meskipun ia berada di depan tungku (tempat memasak)," (Shahih, HR at-Tirmidzi [1160]).


Sebagian ahli bid'ah menakwil sabda Nabi saw. dalam riwayat muslim, "Yang berada di langit" dengan para malaikat. Ini adalah takwil yang keliru. Maksud yang ada di langit adalah Allah SWT sebagaimana yang telah aku jelaskan dalam bantahanku terhadap perkataan mereka dan penjelasanku terhadap kesesatan mereka dalam kitabku yang berjudul Bahjatun Naazhirin (I/367)



Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/13-15.


Etika terhadap Orang Tua


Orang Muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya penyebab keberadaannya atau karena keduanya memberikan banyak hal kepadanya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya. Tetapi, karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti, dan berbuat baik kepada keduanya.

Bahkan, Allah Ta‘ala mengaitkan hak orang tua tersebut dengan hak-Nya yang berupa penyembahan kepada Diri-Nya dan tidak kepada yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Al-Isra': 23).

Allah SWT berfirman, "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (Luqman: 14).

Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah orang yang berhak mendapatkan pergaulanku yang baik?" Rasulullah saw. bersabda, "Ibumu." Orang tersebut bertanya lagi, "Siapa lagi?" Rasulullah saw. bersabda, "Ibumu." Orang tersebut bertanya lagi, "Siapa lagi?" Rasuluilah saw., "Ibumu."Orang tersebut berlanya lagi, "Siapa lagi?" Rasulullah saw. bersabda, "Ayahmu."

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang tua, menahan hak, dan mengubur hidup anak perempuan. Allah membenci untuk kalian gosip, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta." (Muttafaq Alaih).

Rasulullah saw. bersabda, "Maukah kalian aku jelaskan tentang dosa yang paling besar?" Para sahabat menjawab, "Mau, wahai Rasulullah." Rasulullah saw. bersabda, "Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua." Ketika itu, Rasulullah saw. bersandar, kemudian beliau duduk, dan bersabda,"Ketahuilah (setelah itu ialah berkata bohong, dan kesaksian palsu). Ketahuilah, berkata bohong, dan kesaksiaan palsu." Rasulullah saw. terus-menerus mengatakan kalimat terakhir, hingga Abu Bakar berkata, "Ah, seandainya Rasulullah saw. diam tidak mengatakan secara terus-menerus kalimat terakhir." (Muttafaq Alaih).

Rasulullah saw. bersabda, "Seorang anak tidak bisa membalas ayahnya, kecuali ia menemukan ayahnya menjadi budak, kemudian ia membelinya, dan memerdekakannya." (Muttafaq Alaih).

Abdullah bin Mas'ud ra berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah Ta‘ala?' Rasulullah saw. bersabda, "Shalat di awal waktu." Aku bertanya, ‘Kemudian amalan apa lagi?' Rasulullah saw. bersabda, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, ‘Kemudian amalan apa lagi?' Rasulullah saw. bersabda, "Jihad di jalan Allah." (HR Muslim).

Salah seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta izin berjihad, kemudian beliau bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Sahabat tersebut menjawab, "Ya, keduanya masih hidup." Rasulullah saw. bersabda, "Mintalah izin kepada keduanya, kemudian berjihadlah." (Muttafaq Alaih).
Salah seorang dan kaum Anshar datang kepada Rasulullah saw., kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?" Rasulullah saw. bersabda, "Ya ada, yaitu empat hal: mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah kematian keduanya."(HR Abu Daud).

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya bakti terbaik ialah hendaknya seorang anak tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya setelah ayahnya menyambungnya." (HR Muslim).

Setelah orang Muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya, dan menunaikannya dengan sempurna karena mentaati Allah Ta'ala, dan merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini terhadap kedua orang tuanya:

1. Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah dan pelanggaran terhadap syariat-Nya. Karena, manusia tidak berkewajiban taat kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (Luqman: 15).
Sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya ketaatan itu hanya ada dalam kebaikan." (Muttafaq ‘Alaih).
Sabda Rasulullah saw., "Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah."

2. Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya dengan panggilan, "Ayah, ibu," dan tidak bepergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.

3. Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan, dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan pakaian kepada keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat dari keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.

4. Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dan jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman keduanya.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 131-135.

Calon Isteri dan Suami Ideal



Calon Isteri Ideal


Barangsiapa yang ingin menikah maka pilihlah calon istri yang memiliki sifat dan kriteria sebagai berikut:

1.   Perempuan yang ta'at beragama, ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Perempuan dinikahi karena empat faktor: (pertama) karena harta bendanya, (kedua) karena kemulyaan leluhurnya, (ketiga) karena kecantikannya), dan (keempat) karena kepatuhannya kepada agamanya, maka utamakanlah perempuan yang ta'at kepada agamanya; (jika tidak), pasti celaka kamu." (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari IX:132 no: 5090, Muslim II:1086 no:1466, 'Aunul Ma'bud VI:42 no:2032, Ibnu Majah I:597 no:1858 dan Nasa'i VI:68).

2.   Sebaiknya perawan, kecuali memang ada kemashlahatan sehingga patut menikah dengan janda, berdasarkan hadits, dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, pada masa Rasulullah saw. saya pernah kawin dengan seorang wanita muda, kemudian bertemu Nabi saw. lalu beliau bertanya, "Ya Jabir, sudahkah engkau kawin?" Saya jawab, "Ya (sudah)." Beliau bertanya (lagi), "Perawan atau janda?" Saya jawab," Janda." Tanya beliau (lagi), "Mengapa engkau tidak (menikah) dengan perawan, engkau bisa bercumbu rayu dengannya?" Saya menjawab, "Ya Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai beberapa saudara perempuan, saya merasa khawatir kalau seorang gadis yang berada di antara kami dan mereka (akan timbul masalah, yang tidak diinginkan)." Maka sabda beliau, "Maka kalau begitu (alasanmu) pantas untukmu. Sesungguhnya perempuan dinikahi karena agamanya, harta bendanya, dan kecantikannya. Maka hendaklah kamu mengutamakan perempuan yang ta'at kepada agamanya. (jika tidak) pasti celaka kamu," (Muttafaqun 'alaih: Muslim II:1087 no:715, lafadz ini baginya, dan yang sema'na, dengan riwayat ini, tanpa kalimat terakhir, diriwayatkan oleh Imam, Bukhari dalam Fathul Bari IX:125 no:5079, 'Aunul Ma'bud VI:43: no:2033, Tirmidzi II:280 no:1106, Ibnu Majah I:598 no:1860 Nasa'i VI:65 dengan lafadz yang sama dengan yang diriwayatkan Imam Muslim dengan sedikit tambahan).

3.   Perempuan yang subur. Berdasarkan hadits Dari Anas r.a. dari Nabi saw, Beliau bersabda, "Kawinlah perempuan yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan besarnya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:294, Irwa-ul Ghalil no:1784, 'Aunul Ma'bud VI:47 no:2035 dan Nasa'i VI:65).


Calon Suami Ideal


Apabila laki-laki diharuskan memilih calon isteri sebagaimana yang telah saya uraikan, maka wali seorang wanita wajib juga berupaya menjatuhkan pilihannya pada calon suami yang salihuntuk dinikahi dengan putrinya.
Dari Abu Hatim al-Muzanni r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Manakala ada orang yang kalian ridhai dan akhlaqnya datang kepada kalian (untuk melamar puteri kalian). Maka hendaklah nikahlah ia (dengan puterimu); jika tidak niscaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan besar." (Shahih: Shahih Tirmidzi no:866 dan Tirmidzi II:274 no:1091).

Tidak mengapa seseorang menawarkan puterinya atau saudara perempuannya kepada laki-laki yang baik.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin Khattab, tatkala Hafshah binti Umar ditinggal menjanda oleh suaminya, Khunais bin binti Umar Khudzafah as-Saham sahabat Rasulullah saw. yang wafat di Madinah maka Umar bin Khattab berkata, "Saya datang kepada Utsman bin Affan menawarkan Hafshah kepadanya." lalu ia berkata, "Saya akan pertimbangkan dalam urusan ini." Lalu saya tunggu beberapa hari, kemudian dia berjumpa denganku, lalu dia berkata, "Hai Umar, sungguh kelihatannya aku tidak menikah (lagi) pada hari-hari ini."

Bab ilaa


Pengertian Ilaa’

Secara bahasa kata ilaa’ berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah

Sedangkan menurut istilah terminologis, kata ilaa’ berarti sumpah untuk tidak mencampuri lagi isteri dalam waktu empat bulan dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Hukum Ilaa’

Apabila seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya dalam waktu kurang dari empat bulan, maka lebih utama hendaklah ia membatalkannya dengan membayar kafarah, lantas mencampurinya. Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat yang lainnya  lebih baik daripada sumpahnya tersebut maka hendaknya ia membatalkan dan membayar kafarah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6208, Muslim III:1271 no:1650 Nasa’i VII:11 dan Ibnu Majah I:681 ni:2108).

Bilamana sang suami tidak mau membatalkannya, maka hendaknya sabar dan tabah hingga jangka waktu yang telah ditetapkan suaminya berakhir. Karena ada riwayat, Rasulullah saw. pernah bersumpah untuk tidak mencampuri sebagian isterinya, padahal ia sudah mengajak beliau melakukan hubungan intim, kemudian beliau menetap di dalam kamarnya, selama dua puluh sembilan hari, kemudian turun keluar, lalu para sahabat bertanya ”Ya Rasulullah, apakah engkau bersumpah untuk tidak bercampur selama sebulan?” Jawab beliau,  ”Satu bulan berjumlah dua puluh sembilan hari.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:2133, Fathul Bari IX:415 no:5289, Nasa’i VI:166 dan Tirmidzi II: 99 no:685).

Adapun apabila sang suami bersumpah untuk tidak bergaul dengan isterinya selama-lamanya atau dalam jangka waktu lebih dari empat bulan, maka jika dia membatalkannya dengan membayar kafarah dan kembali mencampurinya (maka selesalah urusannya); dan jika tidak sang isteri harus menunggu empat bulan, lalu menuntut kepada suaminya agar mencampurinya atau menceraikannya. Hal ini merujuk pada firman Allah SWT, ”Kepada orang-orang yang meng-illa' isterinya di beri tangguh empat bulan, kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berlain (bertetap hati untuk) tidak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar" (Al-Baqarah:226-227).

Dari Naf’i bahwa Ibnu Umar r.a. berkata tentang ilaa’ yang telah ditentukan Allah Ta’ala, ”Tidak halal bagi seseorang setelah berlalunya waktu empat bulan melainkan dia menahan (isterinya) dengan cara yang ma’ruf atau ber’azam hendak mencerai(nya) sebagaimana yang Allah swt perintahkan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2080 dan Fathul Bari IX:426 no:5290).



Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 620 -622. 




Bab Khulu


Pengertian Khulu’

Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri.

 Allah SWT berfirman,”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187).

Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan  mengambil sesuatu darinya. 
Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) (Fiqhus Sunnah II:253, Manarus Sabil II:226 dan Fathul Bari IX:395).

Persyaratan Khulu’

Jika persengketaan  antara suami isteri kian parah dan tidak mungkin lagi diambil langkah-langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai dengannya, Allah SWT berfirman, ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276).

Peringatan Keras Terhadap Masalah Khulu’

Dari Tsauban  r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita yang mau talak kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium seberbak surga.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah I:662 no:20555 dan Tirmidzi II:329 no:1199).
“Darinya (Tsauban) r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329 no:1198).

Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya

Manakala seorang suami tidak senang kepada isterinya dan benci kepadanya karena suatu hal, maka hendaklah mentalaknya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Ia tidak boleh manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman, ”Dan apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:231).

Dan,  Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah  menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19).

Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak

Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.

Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.

Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.

Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.

Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh.
Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga.

Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak.
Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah  dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 636 - 641.


Bab Zhihar


Pengertian Zhihar

Secara lugwahi bahasa ‘kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada isterinya, ”Bagiku kamu seperti punggung ibuku” dengan maksud dia hendak mengharamkan isterinya bagi dirinya.

Contoh dan Beberapa Kasus Zhihar

Barangsiapa yang mengatakan kepada isterinya ’Bagiku engkau seperti punggung ibuku”, berarti dia menzhihar isterinya dan menjadi haram baginya isterinya, maka dia tidak boleh mencampurinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya:

”Dan orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-tutur sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orang kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 3-4).

Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah bertutur, ”Suamiku Aus bin ash-Shamit telah menzhiharku. Lalu aku datang, menemui Rasulullah saw. mengadukan hal tersebut kepada beliau, namun beliau mendebat aku perihal suamiku. Beliau bersabda (kepadaku), ’Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya dia (suamiku) itu adalah pamanmu’, Aku tidak bisa tidur malam hingga Allah menurunkan ayat, ’Sesungguhnya Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.’ Kemudian beliau bersabda, ’Dia harus memerdekakan seorang budak.’ Saya jawab, (Ya Rasulullah), ’Dia tidak mempunyai kekayaan yang bisa dipergunakan untuk memerdekakan budak.’ Sabda beliau lagi, ’Hendaklah dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.’ Saya jawab, ’Ya Rasulullah, dia adalah seorang yang sangat tua, sehingga tidak mungkin dia sanggup berpuasa sebanyak itu.’  lanjut beliau, ’Hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin.’ saya jawab, ’Dia sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang cukup dishadaqahkan kepada mereka itu,’  maka pada saat itu dia dibawakan satu ’arak(sha’) kurma kering. Kemudian saya berkata, ”Ya Rasulullah aku akan membantunya dengan satu arak (satu sha’) yang lain.’ Sabda beliau, ”Engkau telah berbuat baik, pergi dan bershadaqahlah untuknya dengan korma itu kepada enam puluh orang miskin. Kemudian hendaklah engkau kembali ke pangkuan putera pamanmu.’ Sabda beliau (lagi), ’Dan satu ’arak itu adalah enam puluh sha.’” (Hasan: Shahih Abu Daud no:1934, tanpa perkataan ”WAL ’ARAK” (Dan, satu ’arak), dan ”Aunul Ba’bud VI: 301 no:2199).

Dari Urwah bin az-Zubair bahwa Aisyah r.a. berkata, ”Maha Suci Dia yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya aku benar-benar mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah yang sebagian perkataannya untuk tidak jelas bagiku, yaitu dia mengadukan ikwal suaminya kepada Rasulullah saw. yakni ia berkata, ”Ya Rasulullah, dia (suamiku) telah menikmati masa mudaku dan perutku telah melahirkan banyak anak darinya hingga ketika usiaku tua dan sudah menopouse, dia menzhiharku. Allahumma, ya Allah, sejatinya aku mengadukan (ihwalnya) kepadamu. Maka hingga malaikat Jibril menurunkan beberapa ayat, ”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.”(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1678 dan Ibnu Majah I:666 no:2063).

Barangsiapa yang menzhihar isterinya dalam jangka sehari atau sebulan, semisalnya, yaitu dia berkata, ”Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan”, misalnya jika dia menepati sumpahnya, maka, dia tidak terkena denda namun manakala dia mencampurinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar kafarah zhihar.

Dari Salamah bin Shakhr al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang. Ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir. Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka,  ’kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).”(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298 no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215 secara ringkas).

Walhasil bahwa Nabi saw tidak menegur Salamah bin Shakhr al-Bayadhi karena Menshihar isterinya. Beliau menegurnya, karena ia mencampuri isterinya. Beliau menegurnya, kerena ia mencampuri isterinya sebelum berakhir rentang waktu yang ditetapkannya. 

Hukum Zhihar

zhihar adalah haram, karena Allah SWT mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta, dan Dia mengingkari orang yang menzhihar isterinya.

Allah SWT berfirman, ”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu (menganggap isterinya sebagai ibunya), padahal tiadalah isteri mereka ibu mereka. Ibu-ibu meraka tidak lain hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapka suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesugguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Al-Mujadilah:2).


Sumber:

Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 622 -627.


Bab Iddah



Pengertian Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.

Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Macam-Macam Masa Iddah

Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).

Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan,”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).

Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).

Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang dikandungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).

Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).

Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah  SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).

Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada  hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).

Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kailan jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4).

Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 642 – 645.