Rabu, 05 September 2012

AL-KHUJANDI - KREASI ASTRONOMI ( ASAL MULA SEXTANT )


Beragam instrumen astronomi tercipta. Sejarah mencatat observatorium pernah berdiri di Baghdad pada abad kesembilan. Umat Islam juga mencipta astrolabe yang digunakan untuk menentukan letak matahari dan bintang. Di luar itu, masih ada lagi instrumen astronomi kreasi ahli astronomi Muslim. Kreasi itu adalah sextant.
Alat ini berfungsi untuk mengukur kecondongan dataran garis ekliptik secara lebih akurat. Sextant dinding dirancang oleh seorang astronom Muslim bernama Abu Mahmud Hamid al-Khujandi. Ia terlahir pada 940.
Nama belakangnya, Khujandi, dinisbatkan terhadap kota asalnya Khudzhand di Rey, Persia. Wilayah kota itu tepatnya berada di tepian Sungai Syrdara. Masa awal kehidupannya tidak banyak diketahui. Namun melalui komentar Nasir al-Din al-Tusi, astronom terkemuka dari abad ke-10, tersingkap bahwa tokoh itu juga seorang ahli matematika andal.
Seperti ditulis sejarawan sains JJ Connor dan EF Robertson dalam buku The Impact of Muslim Science, karier intelektual al-Khujandi berlangsung seiring era kekuasaan Dinasti Buwaihi. Saat itu, pemimpinnya adalah Ahmad ad-Dawlah, yang naik tahta pada 945. Al-Khujandi pun mengabdikan diri pada salah satu keturunan dinasti ini, yakni Fakhr ad-Dawlah (976-997).
Menurut JJ Connor dan EF Robertson, sang penguasa mendukung penuh al-Khujandi dalam mengembangkan bidang astronomi. Berbekal restu tersebut al-Khujandi lantas membangun fasilitas observatorium pribadi yang cukup besar di Kota Rey.
Setelah itu, ia melengkapi observatoriumnya dengan sebuah peralatan hebat. Al-Khujandi menyebut temuannya itu sebagai al-suds al-Fakhr atau al-Fakhri sextant. Ini merupakan instrumen astronomi yang dimensinya cukup besar dan berat.
Berbeda dengan teropong bintang yang fungsinya untuk mengamati benda-benda langit, sextant hasil inovasi al-Khujandi digunakan untuk menentukan posisi atau menghitung jarak. Peralatan yang sama juga kerap dipakai dalam dunia pelayaran.
Instrumen terbesar
Dikatakan lebih jauh oleh JJ Connor dan EF Robertson, sextant dinding buatan al-Khujandi termasuk instrumen astronomi terbesar yang pernah ada di dunia Islam abad pertengahan. “Akurasi perhitungannya juga sangat hebat,” kata keduanya.
Sextant dinding (mural sextant) milik al-Khujandi telah sanggup membuat rincian secara per detik. Padahal sebelumnya, peralatan hitung jarak serupa hanya bisa memaparkan perhitungan dalam skala derajat dan menit. Hal ini dikonfirmasi oleh sejumlah ilmuwan dan astronom Muslim terkemuka semisal al-Biruni, al-Marakushi, hingga al-Kashi.
Instrumen ini diletakkan miring sekitar enam derajat di antara dua dinding, mengikuti garis meridian utara-selatan. Laman wikipedia mengungkap, radius sextant dinding ini mencapai jarak 20 meter, dan menjadi yang terpanjang sebelum dikembangkan oleh Ulugh Beg dengan radius 40,4 meter pada abad ke-16.
Alat itu dibangun menggunakan rangka kayu dikombinasi dengan bahan kuningan. Karena cukup berat, fondasinya harus kuat sehingga harus memakai bahan besi. Hal ini terutama agar dudukan sextant tidak mudah bergeser saat digunakan yang bisa memengaruhi hasil perhitungan. Sextant bisa diatur posisinya disesuaikan dengan objek yang menjadi sasaran. Biasanya, pengerjaan perhitungan dengan sextant dinding melibatkan dua orang. Yang seorang bertindak sebagai na vigator dan lainnya adalah asisten.
Dijelaskan JJ Connor dan EF Robertson lagi, navigator mengarahkan posisi sextant ke arah matahari, bintang atau bulan, dan melihat benda angkasa itu lewat kaca pembesar. Kemudian disesuaikan dengan garis horizontal serta memperkirakan ketinggian objek. Karena memakai kaca pembesar, dari hitungan al-Khujandi, sudut hitung dua kali lebih besar dari ukuran sextant. Maka, navigator pun harus menentukan posisi busur 120 derajat serta sudut 60 derajat.
Al-Khujandi meneliti serangkaian perubahan garis meridian balik matahari pada 994. Ia ingin menghitung ketepatan sudut ekliptik (garis bintang yang terpancar hingga setahun penuh) dan ketinggian dari wilayah Rey. Hasil perhitungannya dicatat pada artikelnya mengenai posisi lintang dan bujur tempat-tempat di ber bagai wilayah.
Al-Khujandi memaparkan, peradaban India menetapkan garis ekliptik sekitar 24 derajat dan Ptolemeus, ilmuwan Yunani, sebesar 23 derajat dan 51 menit. Sedang -kan, ia punya hitungan 23 derajat, 32 menit, 19 detik. Perbedaan itu, kata dia, bukan disebabkan faktor instrumen yang dipakai. “Tapi karena garis edar ekliptik memang senantiasa berubah, menyesuaikan dengan penurunan kuantitas,” kata al-Khujandi.
Di antara karya paling terkenal milik ilmuwan ini adalah buku berjudul Risala fi A’mal al-Amma (Buku Petunjuk Konstruksi Instrumen Bintang). Ia tak hanya membahas sextant dinding ciptaannya, tapi juga alat observasi lain yang dibuatnya, semisal astrolabe atau shamila.
Helaine Slaine melalui bukunya Encyclopedia of the History of Science, Technology, and Medicine mengatakan, al-Khujandi membuktikan kapasitas dirinya sebagai perancang instrumen astronomi yang mumpuni. Astrolabe miliknya tidak terlalu besar sehingga bisa dibawa-bawa.
Astrolabe sangat penting untuk menghitung ketinggian matahari. Alat ini juga mampu menunjukkan posisi benda-benda angkasa secara tepat. Keunggulan astrolabe kreasi al-Khujandi adalah dapat digunakan di wilayah yang lebih luas dari astrolabe yang ada sebelumnya.ed: wachidah handasah
Dipuji Para Astronom Besar
Meski tidak setenar astronom terkemuka seperti al-Battani, al-Biruni, Jabir ibn Aflah, dan lainnya, nama al-Khujandi cukup diperhitungkan di ranah astronomi Islam pada abad pertengahan. Para astronom besar memberikan komentar terhadap karya dan pemikiran tokoh tersebut.
Inovasi al-Khujandi berupa instrumen sextant mendapat banyak pujian. Salah satunya dari al-Biruni yang tertera pada risalahnya yang berjudul Geodesy. Kata al-Biruni, “Alat itu ditempatkan di Gunung Tabarak di Rey dan sangat penting untuk mengukur perkiraan jarak matahari dan garis ekliptik.”
Perhitungan ekliptik yang dilakukan al-Khujandi berhasil mencatat angka 23 derajat, 32 menit, 19 detik. Di sini, ada perbedaan dengan pengukuran dari ilmuwan Hindustan maupun Ptolemeus.

Hal itu tidak luput dari perhatian sejumlah astronom. Melalui karyanya bertajuk Tahdid, al-Biruni melihat perkiraan dari al-Khujandi lebih rendah sekitar dua menit. Al-Biruni menduga posisi sextant sempat bergeser beberapa inci karena dimensinya yang cukup berat. Namun, al-Biruni yang juga menguasai ilmu matematika, kedokteran, sejarah, geografi, dan bahasa itu memuji keakuratan perhitungan posisi Kota Rey, yakni 35 derajat, 34 menit, dan 38 detik.
Tak hanya ilmuwan klasik, para sejarawan kontemporer masih mengagumi teknologi yang terdapat pada alat sextant itu. CE Bosworth melalui bukunya History of Civilization of Central Asia mengatakan, instrumen ini mengusung prinsip kerja yang sama sekali baru. Dijelaskan, objek matahari tidak diamati secara langsung dengan mata, namun menggunakan kaca dioptik. Penempatan alat itu berada di bagian teratas dari kotak gelap pada sextant sehingga matahari lantas ditangkap dalam wujud bayangan yang disesuaikan dengan skala ukur sextant.
Kegemilangan alat buatan al-Khujandi bertahan hingga beberapa abad kemudian. Ilmuwan besar Ulugh Beg pada 1420 mengembangkan sextant itu sehingga menjamin keakuratannya. Ia membangun sextant yang serupa dengan karya milik al-Khujandi di Gunung Kuhak, Samarkand.
Ulugh Beg membuat instrumen yang lebih besar. Dimensinya mencapai 84 meter. Selain itu, sextant ini juga mengusung fungsi sebagai kuadran. Beberapa alat lain yang diaplikasikan pada observatorium Ulugh Beg antara lain sinus kuadran, lensa dioptik, dan kuadran azimut.[republika]

Tidak ada komentar: