Beragam
instrumen astronomi tercipta. Sejarah mencatat observatorium pernah berdiri di
Baghdad pada abad kesembilan. Umat Islam juga mencipta astrolabe yang digunakan
untuk menentukan letak matahari dan bintang. Di luar itu, masih ada lagi
instrumen astronomi kreasi ahli astronomi Muslim. Kreasi itu adalah sextant.
Alat
ini berfungsi untuk mengukur kecondongan dataran garis ekliptik secara lebih
akurat. Sextant dinding dirancang oleh seorang astronom Muslim bernama Abu
Mahmud Hamid al-Khujandi. Ia terlahir pada 940.
Nama
belakangnya, Khujandi, dinisbatkan terhadap kota asalnya Khudzhand di Rey,
Persia. Wilayah kota itu tepatnya berada di tepian Sungai Syrdara. Masa awal
kehidupannya tidak banyak diketahui. Namun melalui komentar Nasir al-Din
al-Tusi, astronom terkemuka dari abad ke-10, tersingkap bahwa tokoh itu juga
seorang ahli matematika andal.
Seperti
ditulis sejarawan sains JJ Connor dan EF Robertson dalam buku The Impact of
Muslim Science, karier intelektual al-Khujandi berlangsung seiring era kekuasaan
Dinasti Buwaihi. Saat itu, pemimpinnya adalah Ahmad ad-Dawlah, yang naik tahta
pada 945. Al-Khujandi pun mengabdikan diri pada salah satu keturunan dinasti
ini, yakni Fakhr ad-Dawlah (976-997).
Menurut JJ Connor dan EF Robertson, sang penguasa mendukung
penuh al-Khujandi dalam mengembangkan bidang astronomi. Berbekal restu tersebut
al-Khujandi lantas membangun fasilitas observatorium pribadi yang cukup besar
di Kota Rey.
Setelah
itu, ia melengkapi observatoriumnya dengan sebuah peralatan hebat. Al-Khujandi
menyebut temuannya itu sebagai al-suds al-Fakhr atau al-Fakhri sextant. Ini
merupakan instrumen astronomi yang dimensinya cukup besar dan berat.
Berbeda
dengan teropong bintang yang fungsinya untuk mengamati benda-benda langit,
sextant hasil inovasi al-Khujandi digunakan untuk menentukan posisi atau
menghitung jarak. Peralatan yang sama juga kerap dipakai dalam dunia pelayaran.
Instrumen terbesar
Dikatakan lebih jauh oleh JJ Connor dan EF Robertson, sextant dinding buatan al-Khujandi termasuk instrumen astronomi terbesar yang pernah ada di dunia Islam abad pertengahan. “Akurasi perhitungannya juga sangat hebat,” kata keduanya.
Dikatakan lebih jauh oleh JJ Connor dan EF Robertson, sextant dinding buatan al-Khujandi termasuk instrumen astronomi terbesar yang pernah ada di dunia Islam abad pertengahan. “Akurasi perhitungannya juga sangat hebat,” kata keduanya.
Sextant
dinding (mural sextant) milik al-Khujandi telah sanggup membuat rincian secara
per detik. Padahal sebelumnya, peralatan hitung jarak serupa hanya bisa
memaparkan perhitungan dalam skala derajat dan menit. Hal ini dikonfirmasi oleh
sejumlah ilmuwan dan astronom Muslim terkemuka semisal al-Biruni, al-Marakushi,
hingga al-Kashi.
Instrumen
ini diletakkan miring sekitar enam derajat di antara dua dinding, mengikuti
garis meridian utara-selatan. Laman wikipedia mengungkap, radius sextant
dinding ini mencapai jarak 20 meter, dan menjadi yang terpanjang sebelum
dikembangkan oleh Ulugh Beg dengan radius 40,4 meter pada abad ke-16.
Alat
itu dibangun menggunakan rangka kayu dikombinasi dengan bahan kuningan. Karena
cukup berat, fondasinya harus kuat sehingga harus memakai bahan besi. Hal ini
terutama agar dudukan sextant tidak mudah bergeser saat digunakan yang bisa
memengaruhi hasil perhitungan. Sextant bisa diatur posisinya disesuaikan dengan
objek yang menjadi sasaran. Biasanya, pengerjaan perhitungan dengan sextant
dinding melibatkan dua orang. Yang seorang bertindak sebagai na vigator dan
lainnya adalah asisten.
Dijelaskan
JJ Connor dan EF Robertson lagi, navigator mengarahkan posisi sextant ke arah
matahari, bintang atau bulan, dan melihat benda angkasa itu lewat kaca
pembesar. Kemudian disesuaikan dengan garis horizontal serta memperkirakan
ketinggian objek. Karena memakai kaca pembesar, dari hitungan al-Khujandi,
sudut hitung dua kali lebih besar dari ukuran sextant. Maka, navigator pun
harus menentukan posisi busur 120 derajat serta sudut 60 derajat.
Al-Khujandi
meneliti serangkaian perubahan garis meridian balik matahari pada 994. Ia ingin
menghitung ketepatan sudut ekliptik (garis bintang yang terpancar hingga
setahun penuh) dan ketinggian dari wilayah Rey. Hasil perhitungannya dicatat
pada artikelnya mengenai posisi lintang dan bujur tempat-tempat di ber bagai
wilayah.
Al-Khujandi
memaparkan, peradaban India menetapkan garis ekliptik sekitar 24 derajat dan
Ptolemeus, ilmuwan Yunani, sebesar 23 derajat dan 51 menit. Sedang -kan, ia
punya hitungan 23 derajat, 32 menit, 19 detik. Perbedaan itu, kata dia, bukan
disebabkan faktor instrumen yang dipakai. “Tapi karena garis edar ekliptik
memang senantiasa berubah, menyesuaikan dengan penurunan kuantitas,” kata
al-Khujandi.
Di
antara karya paling terkenal milik ilmuwan ini adalah buku berjudul Risala fi
A’mal al-Amma (Buku Petunjuk Konstruksi Instrumen Bintang). Ia tak hanya
membahas sextant dinding ciptaannya, tapi juga alat observasi lain yang
dibuatnya, semisal astrolabe atau shamila.
Helaine
Slaine melalui bukunya Encyclopedia of the History of Science, Technology, and
Medicine mengatakan, al-Khujandi membuktikan kapasitas dirinya sebagai
perancang instrumen astronomi yang mumpuni. Astrolabe miliknya tidak terlalu
besar sehingga bisa dibawa-bawa.
Astrolabe
sangat penting untuk menghitung ketinggian matahari. Alat ini juga mampu
menunjukkan posisi benda-benda angkasa secara tepat. Keunggulan astrolabe
kreasi al-Khujandi adalah dapat digunakan di wilayah yang lebih luas dari
astrolabe yang ada sebelumnya.ed: wachidah handasah
Dipuji Para Astronom Besar
Meski
tidak setenar astronom terkemuka seperti al-Battani, al-Biruni, Jabir ibn
Aflah, dan lainnya, nama al-Khujandi cukup diperhitungkan di ranah astronomi
Islam pada abad pertengahan. Para astronom besar memberikan komentar terhadap
karya dan pemikiran tokoh tersebut.
Inovasi
al-Khujandi berupa instrumen sextant mendapat banyak pujian. Salah satunya dari
al-Biruni yang tertera pada risalahnya yang berjudul Geodesy. Kata al-Biruni,
“Alat itu ditempatkan di Gunung Tabarak di Rey dan sangat penting untuk
mengukur perkiraan jarak matahari dan garis ekliptik.”
Perhitungan
ekliptik yang dilakukan al-Khujandi berhasil mencatat angka 23 derajat, 32
menit, 19 detik. Di sini, ada perbedaan dengan pengukuran dari ilmuwan
Hindustan maupun Ptolemeus.
Hal
itu tidak luput dari perhatian sejumlah astronom. Melalui karyanya bertajuk
Tahdid, al-Biruni melihat perkiraan dari al-Khujandi lebih rendah sekitar dua
menit. Al-Biruni menduga posisi sextant sempat bergeser beberapa inci karena
dimensinya yang cukup berat. Namun, al-Biruni yang juga menguasai ilmu
matematika, kedokteran, sejarah, geografi, dan bahasa itu memuji keakuratan
perhitungan posisi Kota Rey, yakni 35 derajat, 34 menit, dan 38 detik.
Tak
hanya ilmuwan klasik, para sejarawan kontemporer masih mengagumi teknologi yang
terdapat pada alat sextant itu. CE Bosworth melalui bukunya History of
Civilization of Central Asia mengatakan, instrumen ini mengusung prinsip kerja
yang sama sekali baru. Dijelaskan, objek matahari tidak diamati secara langsung
dengan mata, namun menggunakan kaca dioptik. Penempatan alat itu berada di
bagian teratas dari kotak gelap pada sextant sehingga matahari lantas ditangkap
dalam wujud bayangan yang disesuaikan dengan skala ukur sextant.
Kegemilangan
alat buatan al-Khujandi bertahan hingga beberapa abad kemudian. Ilmuwan besar
Ulugh Beg pada 1420 mengembangkan sextant itu sehingga menjamin keakuratannya.
Ia membangun sextant yang serupa dengan karya milik al-Khujandi di Gunung
Kuhak, Samarkand.
Ulugh Beg membuat instrumen yang lebih besar. Dimensinya
mencapai 84 meter. Selain itu, sextant ini juga mengusung fungsi sebagai
kuadran. Beberapa alat lain yang diaplikasikan pada observatorium Ulugh Beg
antara lain sinus kuadran, lensa dioptik, dan kuadran azimut.[republika]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar