Selasa, 27 Maret 2012

Hukum ABORTUS


Oleh : Syaikh Abdul Qadim Zallum
Abortus (al ijhadl) merupakan salah satu problem masya­rakat Dunia Barat yang muncul akibat kebejatan moral masya­rakatnya, banyaknya kelahiran ilegal karena perbuatan zina yang tak terhitung lagi, serta membudayanya pergaulan bebas di luar nikah. Prosentase kelahiran ilegal tersebut –menu­rut data yang dipublikasikan oleh mass media Barat– bahkan telah mencapai 45 % dari seluruh kelahiran. Prosentase ini terkadang naik dan terkadang turun. Di beberapa negara Barat prosentasenya bahkan telah mencapai 70 %.
Kelahiran ilegal ini adalah akibat keliaran seksual pada masyarakat Barat, yang terjadi karena pengadopsian mereka terhadap ide pemisahan agama dari kehidupan (sekula­risme) dan ide kebebasan individu –di antaranya ide kebeba­san bertingkah laku– yang telah memperbolehkan manusia untuk bersenang-senang dalam hidupnya dengan segala cara. Perzinaan dan pergaulan bebas di luar nikah telah menjadi perkara yang lumrah dan ditolerir oleh undang-undang, se­hingga masyarakat Barat tak ubahnya bagaikan sekawanan binatang, karena dianutnya ide kebebasan dan keliaran seksu­al tersebut.
Banyaknya kelahiran ilegal tersebut –yang membuat hampir setengah anak-anak di Barat menjadi anak zina– telah mendorong banyak negara Barat untuk menetapkan undang-undang yang membolehkan seorang wanita yang ingin menghentikan kehamilannya –terutama jika terjadi karena zina atau per­gaulan bebas di luar nikah– untuk menggugurkan kandungan­nya. Ini karena di berbagai masyarakat Barat, pihak ibulah yang akan memikul tanggung jawab pendidikan anak-anak yang lahir karena zina dan pergaulan bebas di luar nikah.
Negara-negara kafir Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat telah mempromosikan kepada kita ide pembolehan abortus tersebut –sebagai bagian dari propaganda budaya mereka kepada kita– dengan tujuan menyebarluaskan kebejatan moral di kalangan kaum muslimin, menghancurkan institusi keluarga mereka, dan memusnahkan nilai-nilai akhlak Islam yang tersisa dalam masyarakat Dunia Islam.
Demikianlah realitas kontemporer masyarakat Dunia Barat. Adapun realitas masyarakat Dunia Islam, maka abortus dapat dikatakan masih sedikit terjadi, dikarenakan sedikit­nya zina dan pergaulan bebas di luar nikah. Jika toh terjadi abortus, maka itu pada umumnya dilakukan sebagai terapi untuk menyelamatkan jiwa sang ibu.
Adapun mengenai fakta abortus dan hukum syara’ mengenai abortus tersebut adalah sebagai berikut :
Al ijhadl (abortus) dalam bahasa Arab artinya pengguguran janin dari rahim. Jika dikatakan,“ajhadltu an naaqah” (aku telah melakukan ijhadl pada seekor onta), maka artinya“alaqtu waladaha qabla tamaam” (aku membunuh anak onta sebelum dia sempurna).
Para fuqaha mendefinisikan al ijhadl (abortus) sebagai gugurnya janin sebelum dia menyempurnakan masa kehamilannya. Definisi ini dalam bahasa Arab diungkapkan dengan beberapa istilah yang inti maksudnya sama. Di antaranya ialah al imlaash, al isqaath, al ilqaa’,dan al ikhraaj.
Abortus dapat terjadi dengan sengaja (abortus provoca­tus) akibat upaya tertentu dari pihak perempuan dengan meminum obat-obatan tertentu, atau dengan memikul suatu beban yang berat, atau dengan membuat gerakan-gerakan ter­tentu yang kasar. Termasuk pula di sini abortus yang terjadi atas permintaan pihak perempuan kepada seorang dokter untuk menggugurkan kandungannya, dan abortus yang terjadi karena tindak penganiayaan orang lain atas perempuan (imlash). Selain yang disengaja, ada pula abortus yang terjadi tanpa disengaja (spontaneus abortus).
Abortus dapat terjadi sesudah ataupun sebelum peniupan ruh ke dalam janin. Jika abortus terjadi setelah peniupan ruh (120 hari), maka dalam hal ini seluruh fuqaha telah sepakat mengenai keharamannya, baik yang menggugurkan itu ibu si janin, bapaknya, dokter, maupun dari seseorang yang menganiaya pihak perempuan. Abortus ini haram karena merupa­kan penganiayaan terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam), dan merupakan suatu tindak krimi­nal yang mewajibkan diyat (tebusan), yang ukurannya adalah satughurrah (seorang budak laki-laki atau perempuan), dan nilainya adalah sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta, karena diyat manusia sempurna = 100 ekor onta). Allah SWT berfirman :
“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…”
Ciri-ciri minimal janin yang mengharuskan diyat satu ghurrah, ialah bahwa bentuknya sudah mempunyai bentuk tubuh manusia normal secara jelas, seperti adanya jari, tangan, kaki, kuku, atau mata.
Demikianlah. Jadi pengguguran janin setelah ditiupkan­nya ruh ke dalamnya, adalah haram menurut seluruh fuqaha tanpa ada perbedaan pendapat lagi.
Sedangkan pengguguran janin sebelum ditiupkannya ruh ke dalamnya, maka dalam hal ini para fuqaha telah berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang membolehkannya, dan ada pula yang mengharamkannya sesuai dengan rincian tahapan penciptaan janin.
Adapun hukum syara’ yang menjadi dugaan kuat kami, ialah bila abortus dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Jadi hukumnya sama dengan hukum keharaman abortus setelah peniu­pan ruh ke dalam janin, dan dalam hal ini wajib membayar diyat, yang besarnya sepersepuluh diyat manusia sempurna. Ini dikarenakan jika janin telah memasuki fase penciptaan, dan nampak padanya beberapa organ tubuh, seperti tangan, kaki, mata, kuku, dan lain-lain, maka dapat dipastikan pada saat itu janin sedang berproses untuk menjadi manusia sem­purna. Dengan demikian, hadits mengenai keharaman penggugu­ran kandungan di atas dapat diterapkan pada fakta tersebut. Hadits tersebut adalah riwayat Imam Bukhrari dari Abu Hurai­rah RA, dia berkata :
“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…”
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat  itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…”
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete­lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda kehidupan yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya. Padahal Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan seperti itu tatkala Dia berfirman :
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dita­nya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At Takwiir : 8-9)
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut.
Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia  masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), sehingga hadits mengenai penggugu­ran janin di atas (HR. Bukhari dan Muslim) tidak cocok untuk diterapkan pada fakta tersebut.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem­puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah SAW telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin­kan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepa­danya :
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka !”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi SAW, lalu dia berkata,“Saya punya seorang budak perempuan yang menjadi pelayan kami dan penyiram pohon korma kami. Aku sering menggaulinya, sedang aku tidak suka kalau dia hamil.”  Lalu Nabi bersabda kepadanya :
‘Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka, sebab apa yang telah ditakdirkan (Allah) bagi perempuan itu (kehamilan), pasti akan tetap terjadi (jika Allah berkehendak).”
Rasulullah SAW telah menamai ‘azl –dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jadamah– sebagai “pembunuhan yang samar” (al wa’dul khafi). Imam Muslim dan Imam Ahmad merway­atkan dari Jadamah binti Wahab Al Asadiyah RA, dia berkata.“Aku pernah hadir ketika Rasulullah SAW  sedang ada di tengah-tengah kerumunan orang…Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ‘azl. Maka Rasulullah menjawab :
‘Yang demikian itu (‘azl) adalah pembunuhan yang samar/tidak kentara (al wa’dul khafi), dan itulah (apa yang dinyatakan dalam firman Allah sebagai) ‘apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya’.”
Dalam kitab Lisanul ‘Arab karya Imam Ibnu Manzhur, terdapat penjelasan hadits di atas sebagai berikut :
” Dalam satu hadits Rasulullah SAW telah melarang ‘wa’dul banaat’, yaitu membunuh anak-anak perempuan. Dalam hadits tentang ‘azl, beliau bersabda,’Yang demikian itu (‘azl) adalah pembunuhan yang samar (al wa’dul khafi).’ Dan dalam hadits lain beliau bersabda, ‘Itu (‘azl) adalah pembunuhan kecil (al ma’udatush shughra).’ Jadi Rasulullah telah mene­tapkan bahwa ‘azl pada seorang wanita kedudukannya sama dengan suatu pembunuhan, hanya saja hal ini adalah ‘pembunu­han kecil’. Sebab seorang laki-laki yang melakukan ‘azl pada isterinya sesungguhnya telah menolak kelahiran anak, maka ‘azl dinamakan sebagai ‘pembunuhan kecil’, sebab yang dina­makan ‘pembunuhan besar’  adalah mengubur anak-anak perem­puan hidup-hidup.”
Dahulu para shahabat pada masa Nabi SAW telah melakukan ‘azl ketika mereka tidak menghendaki kehamilan isterinya/budak perempuannya. Namun meskipun Rasulullah SAW mengetahui hal tersebut, beliau tidak pernah melarang mereka untuk melakukannya. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata :
“Dahulu kami melakukan ‘azl pada masa Rasulullah, sementara Al Qur’an masih turun.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam riwayat lain menurut Imam Muslim :
Dahulu kami melakukan ‘azl pada masa Rasulullah. Kemudian hal itu disampaikan kepada beliau dan beliau ternyata tidak melarangnya.”
Kapan Dibolehkan Melakukan Abortus ?
Dibolehkan melakukan abortus baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan abortus dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, dan di samping itu abortus dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasu­lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat.
Imlash
Imlash adalah pengguguran kandungan dengan melakukan penganiayaan terhadap perempuan. Tindakan ini adalah suatu dosa dan merupakan perbuatan kriminal.
Dalam hal ini pelakunya wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, dan nilainya sebesar sepersepuluh diyat manusia sempurna. Dalam Shahihain terda­pat keterangan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah meminta pendapat kepada para shahabat mengenai kasus seorang wanita yang gugur kandungannya karena perutnya dipukul. Kemudian Mughirah RA berkata kepada Umar,“Rasulullah SAW pernah memutuskan dalam masalah seperti ini dengan mewajibkan diyat satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan.”Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian terhadap pemberi­taan Mughirah tersebut (Muttafaq ‘alaih).
Penulis : Abdul Qadim Zallum
Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut
Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon, Cetakan I, 1418/1997, 48 hal.
Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Tidak ada komentar: