Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’
berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian;
karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri.
Allah SWT berfirman,”Mereka
itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187).
Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang
suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya.
Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) (Fiqhus
Sunnah II:253, Manarus Sabil II:226 dan Fathul Bari IX:395).
Persyaratan Khulu’
Jika persengketaan antara suami isteri kian parah dan tidak mungkin lagi diambil
langkah-langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri
sudah menggebu-gebu untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus
dirinya dari kekuasaan suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai
ganti dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai dengannya,
Allah SWT berfirman, ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari
sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami
isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata,
Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya
Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena
perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah
saw. bersabda, ”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau
menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036
dan Fathul Bari IX:395 no:5276).
Peringatan Keras Terhadap Masalah Khulu’
Dari Tsauban r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita
yang mau talak kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram
baginya mencium seberbak surga.” (Shahih: Shahihul Ibnu Majah
no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah I:662 no:20555 dan Tirmidzi
II:329 no:1199).
“Darinya (Tsauban) r.a. dari
Nabi saw. beliau bersabda, “Wanita-wanita yang
melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329
no:1198).
Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar
Tidak Mempersulit Isterinya
Manakala seorang suami tidak
senang kepada isterinya dan benci kepadanya karena suatu hal, maka hendaklah
mentalaknya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Ia tidak boleh manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman, ”Dan
apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri.
Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat
Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan
al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:231).
Dan, Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagai dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.” (An-Nisaa’:19).
Khulu’
Adalah Fasakh, Bukan Talak
Jika seorang isteri telah
menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya
sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan
ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan
redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang
isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis
sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah
SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri)
yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga.
Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.
Pertama:
Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.
Kedua:
Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak
halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah
bercampur dengannya.
Ketiga:
Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari
iddah).
Sementara itu, telah sah
berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya
tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.
Dan, sudah sah berdasar sunnah
Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali
haidh.
Demikian pula telah sah juga
berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak
ketiga.
Ini jelas sekali menunjukkan
bahwa khulu’ bukanlah talak.
Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak
(yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi
wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang
dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum,
yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan
dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan
sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian
Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya.” (Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi
perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang
disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke
dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli
tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah
mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala
hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka
hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan
ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul
Ma’ad V:199).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.
636 - 641.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar