DUA hal penting yang sering diingatkan Islam kepada
kita-manusia- adalah menjaga dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku.
Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua yaitu,\"Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau diam.\"
Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan
hal yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan
membawa kepada krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.
Maka
dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya
kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang
masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan
tingkah laku agar tidak mengganggu dan melampaui batas atau menyentuh hak dan
maruah orang lain.
Inilah nilai keadaban yang tinggi yang amat dibutuhkan masyarakat kini. Disaat pengaruh kebendaan dimana nafsu manusia semakin meluap dan telah meminggirkan sifat santun dan adab bertutur. Perbuatan mereka tampak semakin masa bodoh, ganas dan tanpa tedeng aling-aling menghamburkan kata-kata kotor, jijik berupa umpatan ataupun celaan.
Orang-orang tertentu kini kelihatan tidak lagi menjunjung tinggi adab sopan dalam berbicara. Seakan yang mereka kedepankan saat ini hanyalah memenangkan persaingan hidup. Di bidang ekonomi manusia berlomba-lomba mencari peluang untung diri sendiri. Di bidang politik juga tidak kalah hebatnya demi mendapatkan kekuasaan, demikian juga di dalam bidang kehidupan yang lain, manusia sering melupakan diri dan martabatnya, semata-mata karena mengejar sesuatu kemudian merebutnya untuk dirinya sendiri.
Lihat saja ketika ‘musim kampanye', saban waktu dan saban hari, siang dan malam, kita mendengar ceramah dan ucapan yang dipenuhi dengan kata-kata liar, kasar dan amat menyakitkan telinga. Tuduhan dan hasutan yang tidak mengandung kebenaran. Kata-kata dalam bentuk fitnah, makian yang biadab, dan berbagai ‘kalimat sampah' kerap dijelmakan dalam kesempatan berbicara dan dimainkan oleh orang-orang yang pandai bersilat dengan kata-kata dan retorika.
Masyarakat tidak terkecuali senang mendengar dan menelannya mentah-mentah. Kadang-kadang dalam bentuk lucu dan humor, tetapi penuh kepedihan dan kepalsuan. Unsur lucu atau jenaka yang diselipkan dalam ceramah dan pidato politik amat menarik perhatian orang yang mendengarnya, tapi amat memalukan bahwa objek lucu itu kadang-kadang ditujukan kepada musuh politiknya secara amat sinis dan hina, malah menyentuh keturunan dan nenek moyang seseorang yang tidak ada kaitan dengan sesuatu yang diutarakan dalam lawak jenakanya yang menyakitkan itu.
Di parlemen, agenda pertama yang dilihat dalam persidangan ialah ‘medan laga mulut' yang tidak mengikuti adab kesopanan dan adab Islam atau bahkan aturan moral sekalipun. Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi medan laga yang penuh permusuhan seolah-olah manusia sekarang sudah kembali ke zaman yang tidak beradab.
Harus diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat pentafsiran terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga mempunyai akal dan pertimbangan secara etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada hal itu , maka selanjutnya kita selalu dalam petaka.
Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus ‘gosip' pernah merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering blong.
Bila menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw, Al-Husain ra mungkin bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita, "Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di hadapanmu, boleh jadi dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."
Inilah nilai keadaban yang tinggi yang amat dibutuhkan masyarakat kini. Disaat pengaruh kebendaan dimana nafsu manusia semakin meluap dan telah meminggirkan sifat santun dan adab bertutur. Perbuatan mereka tampak semakin masa bodoh, ganas dan tanpa tedeng aling-aling menghamburkan kata-kata kotor, jijik berupa umpatan ataupun celaan.
Orang-orang tertentu kini kelihatan tidak lagi menjunjung tinggi adab sopan dalam berbicara. Seakan yang mereka kedepankan saat ini hanyalah memenangkan persaingan hidup. Di bidang ekonomi manusia berlomba-lomba mencari peluang untung diri sendiri. Di bidang politik juga tidak kalah hebatnya demi mendapatkan kekuasaan, demikian juga di dalam bidang kehidupan yang lain, manusia sering melupakan diri dan martabatnya, semata-mata karena mengejar sesuatu kemudian merebutnya untuk dirinya sendiri.
Lihat saja ketika ‘musim kampanye', saban waktu dan saban hari, siang dan malam, kita mendengar ceramah dan ucapan yang dipenuhi dengan kata-kata liar, kasar dan amat menyakitkan telinga. Tuduhan dan hasutan yang tidak mengandung kebenaran. Kata-kata dalam bentuk fitnah, makian yang biadab, dan berbagai ‘kalimat sampah' kerap dijelmakan dalam kesempatan berbicara dan dimainkan oleh orang-orang yang pandai bersilat dengan kata-kata dan retorika.
Masyarakat tidak terkecuali senang mendengar dan menelannya mentah-mentah. Kadang-kadang dalam bentuk lucu dan humor, tetapi penuh kepedihan dan kepalsuan. Unsur lucu atau jenaka yang diselipkan dalam ceramah dan pidato politik amat menarik perhatian orang yang mendengarnya, tapi amat memalukan bahwa objek lucu itu kadang-kadang ditujukan kepada musuh politiknya secara amat sinis dan hina, malah menyentuh keturunan dan nenek moyang seseorang yang tidak ada kaitan dengan sesuatu yang diutarakan dalam lawak jenakanya yang menyakitkan itu.
Di parlemen, agenda pertama yang dilihat dalam persidangan ialah ‘medan laga mulut' yang tidak mengikuti adab kesopanan dan adab Islam atau bahkan aturan moral sekalipun. Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi medan laga yang penuh permusuhan seolah-olah manusia sekarang sudah kembali ke zaman yang tidak beradab.
Harus diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat pentafsiran terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga mempunyai akal dan pertimbangan secara etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada hal itu , maka selanjutnya kita selalu dalam petaka.
Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus ‘gosip' pernah merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering blong.
Bila menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw, Al-Husain ra mungkin bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita, "Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di hadapanmu, boleh jadi dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."
***
Dalam
sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang
yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan
Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak
melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw.
Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur,
pasti surutlah sumurnya."
Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan kalian memakan daging orang mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."
Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang."
Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan kalian memakan daging orang mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."
Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang."
***
Imam
Sya'bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau
berceramah di hadapan murid²nya, tersebutlah seorang murid duduk disampingnya,
yang mulai sejak awal Imam Sya'bi berbicara tidak pernah ia bertanya atau
berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti murid-muridnya yang lain, maka
bertanyalah Imam Sya'bi kepada muridnya yang satu ini ;
"Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"
Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."
Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari mana Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan seringkas itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.
Inilah Bencana Lidah itu
"Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"
Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."
Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari mana Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan seringkas itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.
Inilah Bencana Lidah itu
Lidah adalah salah satu ayat Allah, juga salah satu nikmat-Nya. Maka wajiblah manusia memeliharanya dari dosa dan kemaksiatan, serta menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat. "Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 24:24)
Lidah termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan manusia.
1. Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda: "Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa'ad)
Kadang seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.
"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman: "Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid." (QS.Qoof: 18)
2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring' kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya."
Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (Annisa:114)
3. Al khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)
Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu menegur, "Apakah engkau tidak malu? "Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, "Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. "Wanita itu menjawab, "Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati "
Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah saw. mengingatkan, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja".
Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik. contohnya tentang minum arak dan sebagainya.
4. Al Miraa' wal jadaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jadaal adalah menentang ucapan orang lain gunanya untuk menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadat tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, hormat-menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.
Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub yang sangat berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.
Sehubungan dengan ini Allah berfirman: "Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik" (al-Nahl: 125). Ayat ini meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab dan aturannya.
Mungkin banyak orang bersedia debat, tetapi tidak banyak yang bersedia patuh kepada akhlak dan adabnya. Perhatikan ayat di atas, ada dua perkataan yang disebut tatkala memperkatakan uslub atau gaya dakwah, iaitu mawizah (nasihat) dan jidal (debat). Kedua-duanya hendaklah dengan cara yang baik, malah jidal dikehendaki dengan cara terbaik.
Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya' apabila lawan berkata ‘tidak' dan berkata ‘tidak' apabila lawan berkata ‘ya'.
Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter' yang tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.
Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘menskor' pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua-dua pihak. Kurangi usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.
Debat al-Quran yang berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba' yang bermaksud:
"Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan akan menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang benar."
Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para da'i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.
5. Al Khushumah à Istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan) ingin mendapatkan haknya.
"Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong." (al hadits) Mulutmu Harimaumu, seyogyanya setiap pemimpin menjaga ucapannya. Sebab, salah-salah mulutnya bisa menjadi sumber malapetaka. Pepatah di atas mengingatkan kita semua agar lebih hati-hati dalam berucap dan mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada bencana alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada mulut kita sendiri.
Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga, lubang hidung, bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.
Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah sebabnya, ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan satu pertanyaan yang tidak perlu lagi disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah memberi jawaban singkat: Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya, dengan cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.
Islam
itu bukan terletak pada simbol-simbol, seperti kiai, haji, tuan guru, syekh,
atau habib. Letak Islam itu pada tampilan akhlaqnya, terutama pada kemampuannya
untuk menjaga mulutnya.
Pertama, menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram. Kedua, menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan. Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia, dunia dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di atas.
Pertama, menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram. Kedua, menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan. Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia, dunia dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di atas.
Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di mulutnya untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: "Inilah yang dapat mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari batas-batas kebenaran)."
Sebagai khalifah, Abu Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk menjadi khalifah, ia hanya berpidato sebentar.
Meskipun pidatonya sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin hingga sekarang. Singkat, tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan, itulah yang ada di dalam pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya tidak terdapat perbedaan. Antara ucapannya hari ini dan besok tidak saling bertentangan.
Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal yang bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi, bukan dengan kata-kata, tapi tindakan. Bukan dengan lelucon, humor, apalagi gaya ketoprakan.
Pemimpin model Abu Bakar inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa Indonesia menuju gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung fitnah, dan adu domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah orang yang hemat berbicara, sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya saja.
Abu Bakar bin `Iyasy mengatakan, ada empat orang pembesar kerajaan, yaitu raja India, raja Cina, kaisar dan Sultan, berkumpul dalam suatu majelis. Salah seorang di antara mereka berkata, "Aku menyesal atas apa yang pernah aku katakan dan aku tidak menyesal atas apa yang belum aku katakan." Yang kedua menyahut, "Jika aku berkata dengan sepatah kata, sesungguhnya perkataan itu menguasaiku, sementara aku tidak menguasainya. Tetapi jika aku tidak mengatakannya, aku dapat menguasai kata itu dan dia tidak dapat menguasaiku."
Yang lain kemudian menyampaikan pendapatnya tentang perkataan juga, "Sangat aneh orang yang berbicara, terkadang perkataannya membahayakannya, terkadang pula mendatangkan manfaat baginya." Sedangkan yang keempat mengakhiri pembicaraan dengan satu pendapat, "Aku dapat menyangkal apa yang belum aku ucapkan. Aku lebih mampu untuk melakukan itu daripada menyangkal apa yang telah aku ucapkan."
Sayang, masih banyak pemimpin kita yang memble, kata-katanya sulit dipegang. Hari ini berkata A, besok sudah berkata B. Jika A dan B itu merupakan kelanjutan, tak ada soal. Yang menjadi masalah, bahwa B itu merupakan penyangkalan terhadap A. Karenanya, rakyat bingung mana yang harus dipegang. Apalagi kata-katanya sering ditafsirkan lain oleh para punggawanya sendiri, sehingga rakyat harus berpikir seratus kali untuk memahami ucapan pemimpinnya sendiri.
Inilah kenyataan yang kita hadapi sekarang, di mana para pemimpin bangsa berkata semaunya sendiri tanpa memperhitungkan risiko yang bakal terjadi. Tidak disadari bahwa tiap kata yang keluar dari mulutnya mengandung konsekuensi-konsekuensi. Salah ucap sedikit saja bisa mendatangkan bencana, baik bagi dirinya maupun kepada orang lain. Itulah sebabnya, kenapa Rasulullah memberi teladan kepada ummatnya agar berkata yang benar dan baik atau diam. Jika tidak bisa berkata yang benar dan baik, lebih baik diam. Diam itu emas.
Tentang hal ini, Allah swt mengingatkan kita: "Tiada satu ucapan yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya para malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaaf: 18)
Pemimpin yang ideal adalah mereka yang sibuk dengan kerja dan kerja. Seluruh alam pikirannya hanya dipenuhi dua hal, yaitu tanggung jawab kepada Allah swt, dan rakyat yang menjadi tanggungannya. Karenanya, ia selalu sibuk bekerja dan bekerja, berpikir dan berpikir. Matanya terbuka, telinga terbuka, pikirannya terbuka, dan hatinya juga terbuka. Satu yang lebih banyak tertutup, yaitu mulutnya. Ia gunakan mulutnya untuk berdzikir, memuji Asma Allah, memberi nasehat seperlunya, dan membimbing bangsa menuju pulau cita-cita.
Sayang, pemimpin kita masih jauh dari harapan. Begitu terpilih menjadi pemimpin, maka program utamanya bukan pemulihan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menyelesaikan berbagai problem masa lalu, tapi yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana mengamankan posisi dan melanggengkan kekuasaan. Kesibukannya bukan mengurus rakyat, tapi memperbesar dukungan dan menghabisi lawan politiknya. Oleh karenanya, jangan bertanya soal visi, missi, dan prioritas program kepada pemimpin model ini. Tidak ada dan tak akan pernah ada. Yang ada di otak kepalanya hanya satu, yaitu bagaimana mengamankan kekuasaan.
6. Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)
Becanda yang benar sajalah yang dibenarkan dalam Islam. Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. bersabda: "Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka juga bersedagurau dan saya tidak akan mengatakan kecuali yang benar-benar." Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang menanyakan apakah si dia(nenek) tsb akan masuk syurga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang muda saja penghuni syurga. Si nenek pun terkejut, dan akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa biarpun orang tua akan menjadi muda kembali bila masuk syurga.
Rasullullah saw. berkata: "Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-bangka pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung ". Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis. "Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan"
Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah saw. bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa dai banyak yang menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya, terkadang sudah keterlaluan. Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan tertawaan. Masyarakat yang mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya saja, sedangkan ilmunya hilang terbawa gelak tawanya. Dan sesungguh Allah sangat murka pada sesuatu yang berlebihan, termasuk ketawa. Padahal dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya bercanda itu menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa Rasullulllah tak pernah terlihat palate (langit2 pada tenggorokan)-nya bila beliau sedang ketawa, hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi beliau saw.
7. Bidza'atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan (nyelekit), kata-kata jorok dan caci maki.
Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina, merendah-rendahkan, mengejek-ngejek dan mempermain-mainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan oleh rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala perkara dari ‘alim ulama' dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.
Misalnya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:
(1) "Hukum apa ini?"
(2) "Hukum ini sudah usang."
(3) "Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan."
(4) "Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus."
(5) "Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?"
(6) "Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah salahnya?"
(7) "Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?"
(8) "Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju."
(9) "Ini perbuatan tidak beradab' - diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah makan: menjilat sisa makanan di jarinya.
Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak dibelakang akalnya. Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal bermanfaat baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan dirinya, ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak dibelakang lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja diucapkannya. "Apalagi mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati dan keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat dikelabui, tetapi apakah Allah swt. dapat ditipu?
8. Al La'nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)
Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orang tuanya dengan mengatakan, "Terlaknatlah kedua orang tuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini. Pent)." Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan ridha Allah , seperti dalam firman-Nya: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaaf: 8) Dalam ayat lain Allah berfirman, "Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." (al-Fajr : 14) "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka."
Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak berbunyi: Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya." (Mutafaqun ‘alaihi) Hadits Abu Hurairah berbunyi,"Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat." (HR Muslim) ; Hadits Abu Darda' berbunyi,"Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat." (HR Muslim)
Hadits Abdullah bin Mas'ud berbunyi, "Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor." (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami' Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi "Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya."
Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah Hadits Shahih no 1269: Dari ‘Imran bin Hushain ia berkata, "Ketika Rasulullah berada dalam sebuah lawatan, tiba-tiba seorang wanita dari kalangan Anshar mengutuk onta yang ditungganginya karena jengkel. Rasulullah yang mendengar ucapannya itu lantas bersabda: "Ambilah barang-barang yang ada di atas punggung onta itu dan lepaskanlah onta itu sebab onta itu dilaknat."
‘Imran berkata, "Sekarang aku melihat wanita itu berjalan di tengah keramaian, namun tidak ada satu orang pun yang menegurnya." (HR Muslim) . Dalam riwayat lain dari Abu Barzah berbunyi: "Janganlah menyertai kami onta yang telah dilaknat." (HR Muslim) Maksudnya adalah teguran keras kepada wanita yang melaknat ontanya tadi karena onta tersebut bertasbih kepada Allah dan tidak berhak dilaknat. Maka, sebagai teguran keras kepadanya, Rasulullah melarangnya menyertai rombongan dengan menunggang onta tersebut. Bukan berarti Rasulullah membenarkan perbuatan wanita itu yang mengatakan bahwa onta itu terkutuk sebab beliau tidak melarang menyembelih atau menjual onta tersebut. Demikian penjelasan Imam Nawawi.
Hakekat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,
"Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!' Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.' Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku?' Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.' Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, ‘Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku?' Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.' Dan Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke neraka!'"
Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya." (HR Abu Dawud dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya.
Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun ‘alaihi
Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang melaknat langsung kedua orang tuanya seperti realita yang ada, padahal menjadi penyebab kedua orang tuanya dilaknat saja ia berdosa. ! innalillahi wa inna ilaihi raaji'un
Nasehat kami kepada segenap kaum muslimin adalah agar mereka bertaqwa kepada Allah serta memelihara lisan mereka dari melaknat, dan hendaklah mereka menggantinya dengan doa keberkahan dan kebaikan bagi seluruh kaum muslimin. Hanya Allah sajalah yang diminta agar memberi taufiq bagi kaum muslimin, untuk menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Ibnu Assikit berkata, "Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya. "
Imam Sya'bi: " Aku diam, maka aku selamat, aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untukya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain ".
9. Al Ghina' wasy-syi'r (Bernyanyi dan bersyair)
"Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan." (Luqman: 6)
Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti "Nyanyian". Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu Abbas r.a adalah seorang sahabat yang mendapat do'a dari Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam: "Ya Allah anugrahkanlah kefakihan kepadanya dalam agama ini dan ilmu ta' wil."
Dengan do'a dari Rasulullah tersebut para sahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas r.a dengan gelar "Turjumanul Qur'an" (Penafsir Al-Qur'an). Ibnu Mas'ud r.a menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina (nyanyian). Demi Allah yang tiada sesembahan selain Dia, 3x. Pernyataan Rasulullah mengenai Ibnu Mas'ud adalah "Sesungguhnya ia adalah pentalkin yang mudah difahami." Dalam ayat yang lain Allah berfirman kepada setan: "Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." (Al-Isra': 64)
Ibnu Abbas r.a mengatakan,"Suaramu" dalam ayat ini adalah segala yang membawa kepada kemaksiatan. Mujahid, pemimpin para ahli tafsir (murid Ibnu Abbas r.a) menyatakan bahwa "Suaramu" disini artinya "Al-Ghina" (nyanyian) dan Al-Bathil. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat ini turun dalam masalah musik dan lagu. Ibnu Qayyim menambahkan keterangan dari Hasan Al-Basri bahwa "suaramu" dalam ayat ini adalah duff (rebana).
Kemudian ayat yang ketiga dalam surat An-Najm: 59-60, Allah berfirman: "Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang kamu bernyanyi-nyanyi." Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata "As-Sumud" dalam akhir ayat ini berarti Al-Ghina menurut dialek Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Al-Qur'an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.
Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al Asy'ari Rasulullah saw bersabda: "Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik." (lihat Fatul Bari, 10/51).
Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa. Kaitannya dengan hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Diantara tipu daya setan - musuh Allah - dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit ilmu, akal dan agamanya, sehingga orang yang bersangkutan tersebut terjebak kedalamnya untuk mendengarkan kidung dan nyanyian yang diiringi musik yang diharamkan. Satu hal yang mengherankan adalah sebagian manusia yang mengaku memiliki konsentrasi untuk ibadah justru telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-lagu lain sebagai wahana untuk beribadah sehingga mereka meninggalkan Al-Qur'an. Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Ighatsatul-Lahfan min Mashayidisy-Syaithan" menamai nyanyian seperti itu dengan sepuluh nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur (kebathilan), muka (siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam perzinahan), pedomannya setan, penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang penuh dosa, suara setan atau seruling setan.
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A'isyah: "Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)
Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: "Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." Seketika kaum
Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: "Kita telah membai'at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad." Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya'ir Ibnu Rawahah yang lain: "Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya." Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung "Kami menolaknya, ... kami menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)
Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, tolong menolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.
Di antara beberapa langkah yang dianjurkan adalah: Jauhilah dari mendengarnya baik dari radio, televisi atau lainnya, apalagi jika berupa lagu-lagu yang tak sesuai dengan nilai-nilai akhlak dan diiringi dengan musik. Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah dan membaca Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Ta'ala telah berfirman:
"Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman."(Yunus: 57)
"Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah." (HR. Muslim)
Membaca sirah nabawiyah (riwayat hidup Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam), demikian pula sejarah hidup para sahabat beliau.
Sering kita saksikan, sebagian para pengikut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit ilmunya manakala mendengar perkara-perkara yang diharamkan secara berturut-turut ia berkeluh kesah sambil berujar: Segalanya haram, tidak ada sesuatu apapun kecuali kamu mengharamkannya, kamu telah menyuramkan kehidupan kami, kamu membuat gelisah hidup kami, menyempitkan dada, kamu tidak memiliki selain haram dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Untuk menjawab ucapan mereka, kita katakan sebagai berikut: Sesungguhnya Allah Subhanallahu Wata'ala menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, maka Ia menghalalkan apa yang Ia kehendaki dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula dan diantara pilar kehambaan kita kepada Allah Azza Wajalla adalah hendaknya kita ridha dengan apa yang ditetapkan olehnya, pasrah dan berserah diri kepada-Nya secara total. Wallahu a'lam.
10. Attaqo'ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)
Salah satu modal untuk dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah menarik perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang lain. Namun kadang orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering dijuluki over acting, sok gagah-gaha, sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan aksen Inggris untuk menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan aksen Arab untuk menunjukkan dia dapat berbahasa Arab, walaupun pada kenyataannya tidak. Pernah dalam kampanye Pemilu seorang jurkam sebuah parpol besar (dengan penuh semangat berpidato di hadapan massanya) berkata," Saudara-saudara parpol kami sangat berempati dan antonius dengan nasib rakyat jelata..." (Maksudnya mungkin antusias).
11. Insyaa'ussirri (Membocorkan rahasia)
Dari hadits itu dapat kita ketahui bahwa para sahabat lebih suka bila hubungan antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak diketahui orang banyak. Mereka tidak suka orang lain mengetahui apa yang mereka amalkan. Mudrik bin 'Aun Al-Ahmas berkata: "Ketika aku berada di sisi Umar radhiyallahu 'anhu, datanglah utusan An-Nu'man. Umar radhiyallahu 'anhu pun menanyakannya tentang keadaan pasukan. Utusan itu menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia berkata: "Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal. Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui mereka." Dalam riwayat lain disebutkan: "Akan tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati syahid) mengetahui wajah dan nasab mereka."
Dalam kisah yang lain disebutkan ketika Maslamah bin Abdulmalik kesulitan merebut sebuah benteng yang tengah dikepungnya. Benteng itu sangat kokoh sehingga sulit ditaklukkan. Maslamah berkata kepada pasukannya: "Siapakah yang berani masuk menerobos lewat jendela itu (ternyata pada benteng itu ada sebuah jendela), untuk membuka pintu benteng dari dalam?" Maka majulah seorang yang bertutup muka, ia segera menerobos jendela itu dan membuka pintu benteng dari dalam. Begitu pintu terbuka pasukan kaum muslimin segera menyerbu masuk ke dalam benteng, dan terja-dilah pertempuran yang sengit. Akhirnya pasukan kaum muslimin dapat menaklukkan musuh. Selesai peperangan, Maslamah duduk-duduk bersama segenap pasukannya. Ia berkata: "Siapakah engkau wahai orang yang bertutup muka?" Namun segenap pasukan diam membisu! Masla-mah berseru sekali lagi: "Siapakah engkau wahai orang yang bertutup muka?" Namun mereka masih saja diam. Akhirnya Maslamah berkata: "Demi Allah, wahai orang yang bertutup muka, silakan datang menemuiku siang atau malam hari!" Pada malam harinya tiba-tiba ada orang yang menggerak-gerakkan tenda Maslamah, Maslamah bertanya: "Apakah engkau orang yang bertutup muka itu?" Orang itu menjawab: "Orang yang bertutup muka itu membuat beberapa persyaratan kepada kalian." "Apa itu?" tanya Maslamah. "Ia mensyaratkan agar kalian tidak bertanya tentang namanya dan nama ayahnya, dan kalian jangan memberinya hadiah serta jangan laporkan namanya kepada khalifah" jawab orang itu. "Kami penuhi syarat-syaratnya!" balas Maslamah. Orang itu berkata: "Akulah orang yang bertutup muka itu!"
Hubungan istri adalah hubungan yang khas, dimana keduanya bisa saling meleburkan diri menjadi satu kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan suami istri pasti terjadi hubungan intim yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua. Saat-saat itu suami mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istri, demikian juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah mensakralkannya. Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah seorang di antaranya, baik suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua kepada orang lain. Baik karena ingin mengungapkan rasa bahagianya maupun karena rasa kecewa.
Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, justru bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu pihak merasa tersinggung dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan tidak tertutup kemungkinan jika kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi perceraian.
Orang yang tersinggung sulit diobati. Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan tetapi jika hati yang terluka bisa dibawa sampai mati. Hari ini bisa ditekan, tapi besok bisa muncul kembali. Itulah sebabnya kenapa kita harus menjaga rahasia istri atau suami.
Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejelek-jelek orang di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih sayangnya kepadanya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan istrinya membuka rahasia suaminya). (HR. Muslim)
12. Alkadzabu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
Allah berfirman dalam surah al-Hajj ayat 30 bermaksud: "Hendaklah kita menjauhi perkataan-perkataan dusta." Dalam peribahasa mengatakan, "kerana lidah (mulut) badan binasa" ini mengingatkan kita untuk hidup dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.
Suka berbohong bukan sahaja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda bermaksud: "Tidak beriman seseorang itu dengan sempurna sehingga ditinggalkan pembohongan sama ada semasa senda gurau atau semasa bersengketa atau perbalahan."
Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa-dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah) dan durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w.: "Mahukah kamu aku tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mahu wahai Rasulullah. Rasulullah menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Oh ya, (ada lagi) Iaitu perkataan dusta." (Riwayat Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): "Ketahuilah! Sesungguhnya menurut madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan (dusta itu) dengan sengaja atau karena kebodohanmu (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja". (baca juga syarah Muslim 1/69). Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (1/211): Artinya : "Sesungguhnya dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan dengan keadaannya".
13. Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
Dari Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Nawfali, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah (r.a) berkata: Rasulullah SAAW bersabda: Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah (mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.
Diriwayatkan Abu Dzarr berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab: Itu adalah menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik. Aku berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya.Abu Dzarr berkata: Nabi SAAW bersabda: Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? (Rasul menjawab): Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.
Dari Nawfal Al-Bakali, Ali (karramallahu wajhah) berkata: Janganlah berbuat ghibah, sebab itu adalah makanan anjing-anjing neraka. Ishaq bin ibn Ammr meriwayatkan dari Ja'far as Shadiq (R.a) Rasulullah SAW bersabda: Wahai yang telah memeluk Islam dengan lidah, namun iman belum masuk ke hatinya, janganlah menghina orang-orang muslim dan janganlah membuka cacat-cacat mereka. Sesungguhnya Allah akan membuka cacat-cacat mereka, dan barangsiapa yang dibukakan cacatnya oleh Allah, maka ia akan senantiasa terhina, walaupun dirumahnya sendiri.
Ngomongin orang memang enak, lain dengan sebaliknya yaitu diam, memang emas;. Tabiat manusia bila diomongin jadi sesak dada, apalagi dijelek-jelekkan orang lain, pasti emosi, marah-marah, atau setidaknya muncul rasa benci kepada yang menjelekkan.
Perkecualian barangkali berlaku pada seorang ulama saleh yang arif bijaksana seperti Hasan Basri. Konon ia pernah diberitahu oleh seseorang bahwa dirinya dijelek-jelekkan (si Fulan), lalu ia melakukan pembalasan pula. Harap jangan salah praduga, sebab pembalasan Hasan Basri bukan dengan omelan, apalagi tindakan fisik.
Tak seorang pun tahu. Secara diam-diam dia menghadiahkan makanan lezat kesukaan si Fulan yang nakal tadi berupa kurma dengan kualitas paling istimewa (ruthab) seraya berkata, "Aku dengar Engkau telah memberikan amal baikmu kepadaku, lalu aku pun ingin membalas pemberianmu itu, sekalipun mungkin terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan apa yang Engkau berikan," ujarnya tulus. Akhlak mulia Hasan Basri menjadi teladan bagi si Fulan. Ia lantas bertobat kepada Allah atas kekhilafannya tersebut.
14. Al-madzhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
Imam Ats-Tsauri menuturkan: "Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang." Maksudnya bukan orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta pujian dari orang lain. Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan selalu mengingatnya-pent). Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun menimbulkan kemarahan manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meridhainya dan akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari kesenangan manusia, hingga membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka terhadapnya." (HR. At-Tirmidzi).
Dan dalam suatu riwayat: Dua orang yang memujinya akan balik mencelanya. Ats-Tsauri berkata: Dalam kategori ini: Engkau menginginkan mereka memuliakanmu dan senang jika engkau mendapat kehormatan dan kedudukan di hati mereka. Dan banyak orang ingin membaca kehebatan balaghoh orang yang memujinya sampai-sampai ada yang menunjukkan bahwa pujian-pujian itu adalah memang bukti nyata keadaan orang yang dipujinya seolah-olah dia mengatakan seperti apa yang dikatakan seorang laki-laki yang berdiri di depan Musailamah Alkadzab yang mengaku-aku sebagai nabi, Musailamah berkata kepadanya: "Aku lebih tahu apa yang ada dalam hatimu!" Orang itu berkata kepadanya: "Aku juga tahu apa yang ada di dalam hatimu!" "Apa itu!" sergah Musailamah. Orang itu menjawab: "Demi Allah, aku tahu sebenarnya engkau menyadari bahwa sesungguhnya aku mengetahui engkau adalah seorang pendusta!"
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang menyederhanakan bahasa dan tutur katanya. Jangan sampai lisannya menjadi batu sandungan bagi dirinya, sebab dosa yang dituai lisan pada umumnya dari hal semacam ini. Seandainya orang yang senang dipuji selalu ingat (bahaya yang timbul dibalik pujian), niscaya ia menyadari bahwa dialah yang paling mengetahui akan kelemahan dirinya sendiri. Namun manusia itu selalu lupa, mudah terpedaya dan suka berpaling dari nasihat orang lain yang mengajarkan kepadanya etika pergaulan dan nilai-nilai agama. Seorang ahli hikmah bertutur dalam syairnya:
Hai orang jahil yang terbuai dengan sanjungan menghanyutkan
Kejahilan orang yang menyanjungmu jangan sampai menguasai kesadaranmu akan kadar dirimu. Pujian dan sanjungan itu ia ucapkan tanpa sepengetahuannya tentang hakikat dirimu
Dirimulah yang lebih mengetahui tentang baik buruknya dirimu
Jenis pujian lainnya adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk rekomen-dasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang banyak. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci" (An-Najm: 32).
Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya: "Apakah yang dapat merusak amalan seseorang?" Beliau menjawab: "Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberi nikmat"
Seorang penyair berkata:
Sungguh aneh orang yang memuji dirinya sendiri
Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan yang ada padanya,
menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya
Pujian sekali-sekali perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik lagi. Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa kata-kata pujian.
Rasulullah saw. memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad Bin Abi Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti dikabulkan Allah dan kalau memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi persahabatan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah. Lain lagi dengan ‘sanjungan-sanjungan yang palsu' yang selalu keluar dari mulut orang-orang yang ‘mencari muka'.
Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya ‘Asal Bapat Senang'; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan sebagai tanda loyalnya bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri, Bapak Pembangunan dan banyak bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan menghancurkan orang tersebut. Seperti Firaun yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya dan pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dan kita tahu bagaimana akhir dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan mengenaskan. Dan hanya Allah yang pantas mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.
15. Assukhriyah wal istihza' (Menyebutkan hal yang bikin malu - kejelekan diceritakan untuk ditertawakan)
Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, "Hai Musa, janganlah terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga jangan mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah kamu perbuat, hai putra Ali 'Imran." (Tanbighul Ghafilin: 192-193).
Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.
Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi, tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli apalagi mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya. Tertawa dengan cara seperti itu yang disuruh dihindari oleh Nabi Khidir as.
Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah tertawa. Allah swt berfirman, "Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah:82).
Dalam salah satu haditsnya beliau saw bersabda, "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, ...." (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah saw tidak pernah tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh (maksudnya: tidak melirik). (Ja'far Auf, Mas'ud dari Auf Abdillah)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang tertawa terbahak-bahak dihukumi makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya, seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata Al-Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan gemar tertawa-tawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti membuka pintu bagi syetan untuk masuknya godaan. Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan, "Apakah dengan ajaran ini, kalian ta'ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis. Sedangkan kalian terlengah."
Ibnu Abbas ra berkata, "Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di neraka." Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum lapar sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna). Terkadang kita mendapati seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa.
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan, "Celakalah orang yang berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!" (HR. Tirmidzi)
Orang yang terbiasa tertawa-tawa mendapati suasana yang sepi menjadi sunyi, bila tidak kunjung diobati. Sedangkan menurut Yahya Mu'adz Razy sebagaimana dikutip al-Faqih ada empat hal yang dapat menjadi obat bagi mereka yang terkena "penyakit" seperti ini, yaitu:
1. Ingat akan dosa-dosa yang telah diperbuat selama ini.
2. Sibuk dengan bekerja (memenuhi nafkah) untuk diri dan keluarga.
3. Ingat bahwa jatah umur yang ada tinggal sedikit, dan akan datang kehidupan baru diakhirat.
4. Memperhatikan setiap musibah yang menimpa, baik diri keluarga maupun orang lain.
16. An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini merupakan sifat yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh diremehkan, karena diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia bisa memisahkan seseorang dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan dirinya dengan anggota saudaranya sendiri.
Diantara kisah yang menggambarkan sensitifnya sifat ini adalah sebagaimana disebutkan Syeikh Ibnu Qudamah di dalam kitabnya "Mukhtashar Minhajul Qashidin" bahwa seseorang menjual budak. Dia berkata kepada pembelinya, budak ini tidak mempunyai satu aibpun hanya saja dia suka mengadu domba, tidak menjadi soal bagiku kata pembeli.
Setelah beberapa hari budak itu berada dirumah pembeli, dia menghampiri tuannya seraya berkata, "Sebenarnya tuanku tidak mencintai nyonya.
Meskipun begitu, dia tetap ingin menikahi nyonya. Jika nyonya menghendaki, saya bisa membujuknya agar dia tidak menceraikan nyonya, lalu ambillah pisau untuk mencukur rambutnya tatkala dia tidur. Hal ini bisa menyihirnya, sehingga dia senantiasa mencintai nyonya."
Lalu budak itu berkata kepada tuannya, "istri tuan berkomplot dengan seseorang dan ingin membunuh tuan selagi tuan sedang tidur." Maka sang tuan pura-pura tidur, lalu sang istri menghampirinya pelan-pelan sambil membawa pisau. Dia mengira istrinya benar-benar akan membunuhnya.
Maka dia segera bangkit dan membunuh istrinya. Keluarga sang istri mendatanginya, lalu membunuhnya. Bahkan permusuhan merembet antara kabilah suami dan istri.
Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah. Di dalam masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat yang ditimbulkan adu domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam menghadapi adu domba sesuai dengan hukum syari'at tentang adu domba, bahwa,
"tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba." (muttafaq alaihi).
Jika ada seseorang wanita yang menghampirinya dan mengucapkan perkataan yang buruk, dan hal ini seringkali terjadi, maka dia tidak mau mendengarkannya dan tidak memperdulikannya. Bahkan kalau perlu dia membungkam mulut wanita tersebut dan menimpukkan batu kepadanya, sekedar untuk mengajarkan haramnya adu domba.
Ada kalanya seseorang berkata padanya, "Suamimu telah berbuat begini dan begitu", atau "Dia merasa respek terhadap masakan wanita lain", atau "Dia hendak menikah lagi". Tetapi dalam kondisi seperti apapun istri yang solehah dan ideal bisa keluar dari setiap cobaan dengan mendapat kemenangan, rumah tangganya tetap utuh karena memang dia sudah dipersiapkan sebagai istri yang ideal. An-Nawawy rahimahullah menyebutkan bahwa wanita yang menerima kedatangan orang lain yang hendak mengadu domba dan mengatakan begini dan begitu padanya, harus bersikap sebagai berikut:
1. Tidak membenarkan perkataannya, karena dia orang yang suka
mengadu domba dan fasik.
2. Melarang tindakannya, menasihatinya dan menunjukkan sisi
keburukan perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah, karena dia adalah orang yang dibenci
di sisi Allah. Kita harus membenci orang yang dibenci Allah.
17. Al khotho' fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga
memberatkan orang yang menjawab)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau. Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.
Banyak hadits-hadits lain yang senada dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri seperti pertanyaan seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di neraka atau di surga? Atau yang bertanya tentang nasabnya, dan lain-lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan maksud mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang juga dilarang adalah mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar menunjukkan kekerasan hati dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrikun dan Ahlul Kitab.
Begitu juga larangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bertanya tentang kapan saat kiamat terjadi dan tentang ruh.
Hadits-Hadits tersebut juga berbicara tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak seputar hal yang berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar hal yang belum terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi terhadap keluarganya padahal masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat dugaan/perandaian.
Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya adalah : barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya tentang hal-hal yang tidak terdapat semisalnya dalam Al-Quran ataupun as-Sunnah tetapi justeru kesibukannya hanya dalam memahami firman Allah dan Sabda Rasul-Nya yang tujuannya semata-mata hanya agar dapat menjalankan segala yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits di atas dengan orang yang mendatangkan/melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.
Sedangkan orang yang tidak memberikan perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa tidak, dan mencari-cari jawabannya berdasarkan pertimbangan logika semata, maka orang semacam ini dikhawatirkan termasuk orang yang telah melanggar hadits tersebut di atas yaitu melakukan larangan dan meniggalkan perintah yang ada.
Sesungguhnya banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan pekerjaan tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga dia bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan Al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena sudah terlalu jauh dari keduanya.
Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja, terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
(Dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar